Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Simpatai", Simpulan Cepat Berantai Tanpa Kemampuan Berpikir yang Bisa Menyesatkan

13 November 2023   18:35 Diperbarui: 14 November 2023   09:00 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun silam , sebuah berita duka menyebar di wilayah kecil bagian barat Jakarta, di area yang sepertinya lebih tepat disebut sebagai kampung kolam. Seorang pedagang bubur kacang hijau ketan hitam dengan kisaran usia 45 tahunan diberitakan telah meninggal dunia.

Laki-laki yang biasa menjajakan bubur kacang hijau ketan hitam di sepanjang jalan masuk kampung kolam itu dikabarkan meninggal karena sakit. Kabar tersebut tentu saja selaras dengan hitungan bulan akan ketiadaannnya dalam rutinitas berjualan di kampung kolam.

Waktu berlalu, hari berganti dan bulanpun bergulir hingga suatu saat gerobak bubur kacang hijau ketan hitam yang biasa melintas di pagi hari di kampung kolam kembali hadir dengan gerobak asongan yang sama. Siapa yang berjualan menggunakan gerobak itu? bukankah pedagangnya sudah pergi ke alam sana? Adiknya menggantikan, begitu informasi yang sempat tersiar.

Tetapi sejak gerobak asongan bubur kacang hijau ketan hitam itu kembali pada rutinitas paginya, setiap kali berangkat kerja seseorang coba memerhatikan penampilan dan gerak-gerik pedagang yang katanya adalah adik dari pedagang bubur kacang hijau ketan hitam itu. Mengapa sama persis? Benarkah itu adiknya?

Di serang rasa penasaran, suatu ketika sang pemerhati membeli semangkuk bubur dari pedagang yang disebut sebagai adik pemilik gerobak, dan bertanya langsung kepadanya. Jawaban yang diterimanya sesuai dengan dugaan dan firasat, kabar duka itu hoax. Kok bisa?

Di era informasi secepat sekarang, sepertinya sebagian besar orang lebih menyukai jika tidak boleh disebut peduli kabar duka orang lain ketimbang kabar suka. Sehingga berita duka jauh lebih cepat direspon dan disebarkan bahkan tanpa melakukan verifikasi atau validasi terlebih dahulu. Apa yang menjadi penyebab kabar duka itu keliru?

Berkaca dari informasi tentang kematian pedagang bubur kacang hijau ketan hitam, didapat keterangan akan adanya kecenderungan bahwa tersebarnya berita itu adalah akibat dari kesimpulan cepat atau simpulan cepat tanpa kemampuan berpikir.

Dari keterangan pedagang tersebut, kejadiannya berawal ketika suatu hari pedagang bubur kacang hijau ketan hitam mengeluh dan merasakan sakit luar biasa hingga harus pulang dari rutinitasnya berjualan. Sakit yang teramat sangat akhirnya membuat ia tidak mampu melanjutkan berjualan lalu pulang ke rumah dan memutuskan kembali ke kampung untuk waktu yang lama.

Kejadian di hari itu katanya disaksikan oleh orang lain yang sudah mengenal sosoknya sebagai seorang pedagang bubur kacang hijau ketan hitam di kampung kolam, tetapi bagaimana proses kejadian sakit dirinya saat berdagang berubah jadi berita kematian ia tak mengerti.

Berdasarkan gambaran kronologi kejadian yang diceritakan oleh pedagang bubur kacang hijau ketan hitam yang diberitakan meninggal dunia, fakta kejadian dimulai dari mengeluh dan merasakan sakit yang tak tertahankan hingga membuat dirinya memutuskan membawa pulang gerobak dagangannya ke rumah, dan ketika itu disaksikan oleh orang lain.

Kemudian fakta selanjutnya setelah kejadian, pedagang bubur kacang hijau dan ketan hitam ternyata memutuskan pulang kampung, menjalankan proses pengobatan sekaligus beristirahat untuk waktu yang cukup lama di kampungnya.

Fakta lainnya, selama proses penyembuhan dan istirahat di kampung, pedagang bubur kacang hijau ketan hitam pernah sempat digantikan berjualan oleh kerabatnya (adiknya). 

Kesemua fakta yang ada merupakan kondisi logis dan menjadi bagian dari kronologis yang bisa disimpulkan secara cepat melalui konsekuensi logis atas akibat yang mungkin dialami oleh pedagang bubur kacang hijau ketan hitam.

Simpulan cepat yang diambil berdasar fakta atau kondisi logis yang terdiri dari; terlihat sakit tak tertahankan oleh saksi, pulang membawa barang dagangan, tak terlihat lagi untuk waktu yang lama, dan pernah digantikan oleh kerabat, dengan kemungkinan konsekuensi logis; sembuh dan selamat, tidak berjualan dan tak kembali lagi ke Jakarta atau sakitnya makin parah, tak mampu bertahan, meninggal.

Di bawah pengaruh fakta atau kondisi logis yang masih menjadi pertanyaan, yaitu, untuk waktu yang lama dan pernah sempat digantikan berjualan oleh kerabat, dengan keberadaan konsekuensi logis sembuh dan selamat, tidak berjualan dan tak kembali lagi ke Jakarta---yang diprediksi orang-orang tidak mungkin dilakukan oleh penjual bubur kacang hijau ketan hitam bila mengingat rekam jejaknya berjualan, akhirnya muncul sebuah prediksi atau cuplikan logis cepat yang diungkapkan, 'Pedagang bubur kacang hijau ketan hitam meninggal dunia'  

Sampai di titik itu, tanpa informasi yang sebenarnya atau tanpa bukti yang jelas, kabar duka hasil simpulan cepat  yang didasari oleh konsekuensi logis, yang bisa begitu saja diprediksi atau dicuplik tanpa kemampuan berpikir karena dianggap masuk akal atau tampak logis---yang umumnya memiliki kecenderungan kuat mendapatkan respon kolektif atau reaksi serentak secara berantai sehingga memperoleh perhatian atau minat (atensi) publik, dan sejauh belum menimbulkan gelombang penolakan intuitif, untuk beberapa waktu, dipercaya serta tersebar sebagai berita yang benar.   

Konsekuensi logis adalah akibat yang timbul dari suatu perbuatan, perilaku, pendirian atau lainnya sebagai suatu fakta kondisi, yang keberadaannya merupakan hal masuk akal atas sesuatu yang sudah diketahui atau disepakati dan berkesesuaian seperti selayaknya hukum sebab akibat.

Bila diterjemahkan secara sederhana, contoh konsekuensi logis yang paling sering dialami oleh setiap orang adalah ketika kondisi biologis tubuh seseorang terutama bagian organ perut mengalami fakta kondisi lapar, maka konsekuensi logisnya adalah makan.

Tetapi sebelum sampai pada tindakan makan, seseorang yang mengalami kondisi lapar dapat membuat prediksi atau cuplikan logis seperti "Makan sepiring nasi padang lauk rendang di ujung jalan sana pasti dapat menghilangkan rasa laparku"

Prediksi atau cuplikan logis atas konsekuensi logis pada contoh lapar begitu mudah disimpulkan cepat dan ia tidak memerlukan kemampuan berpikir rumit seumpama kisah patung kouros yang membutuhkan waktu empat belas bulan melalui serangkaian proses pemeriksaan dan analisa tim pakar Museum Getty untuk menentukan keaslian patung, yang ternyata mampu dijawab oleh kemampuan yang disebut blink hanya dalam dua detik pertama, seperti dikutip dari buku berjudul 'Blink Kemampuan Berpikir Tanpa Berpikir' karya Malcolm Gladwell.  

Sementara berbeda dari blink, prediksi atau cuplikan logis atas fakta atau kondisi logis terhadap  konsekuensi logisnya, bersumber dari naluri dengan sedikit sentuhan nalar, yang juga disimpulkan cepat tanpa kemampuan berpikir bahkan tanpa intuisi apapun, sehingga tentu saja memiliki kecenderungan memunculkan informasi yang bisa menyesatkan.

Selain karena sumbernya adalah naluri dengan sedikit sentuhan nalar yang hanya terbaca melalui alur kelogisannya, prediksi atau cuplikan logis yang diambil dari simpulan cepat atas konsekuensi logis tidak selalu sesederhana contoh kondisi lapar yang pasti berkonsekuensi hanya pada satu kelogisan, yaitu makan.

Dalam fakta atau kondisi logis pada kejadian-kejadian semacam yang sama persis dialami oleh pedagang bubur kacang hijau ketan hitam, konsekuensi logisnya bersifat majemuk atau asosiatif. Tidak merujuk pada satu konsekuensi dengan kepastian logis sehingga hasilnya bisa bahkan cenderung lebih sering menghianati.

Kenyataannya sekarang, prediksi atau cuplikan logis yang disimpulkan cepat dari fakta atau kondisi logis terkait informasi serupa kejadian yang dialami oleh pedagang bubur kacang hijau ketan hitam tampak seringkali keliru.   

Maka ketika kekeliruan simpulan cepat dalam prediksi atau cuplikan logis diputuskan disebar atau dibagi untuk mendapat perhatian atau minat banyak orang seperti pada umumnya informasi semacam berita duka disebar atau dibagi untuk memperoleh atensi yang dengan cepat pula direspon atau direaksi secara berantai, kekeliruan tersebut menjadi informasi yang menyesatkan.  

Bayangkan ketika banyak informasi yang berseliweran di jagat maya adalah informasi yang eksistensinya berasal dari respon kolektif atau reaksi serentak berantai demi mendapatkan atensi publik tetapi merupakan hasil prediksi atau cuplikan logis yang keliru, sudah berapa banyak informasi  menyesatkan beredar di jagat maya?

Simpulan cepat berantai tanpa kemampuan berpikir itu, yang selanjutnya disebut sebagai simpatai, dengan prediksi atau cuplikan logis yang keliru akan menjadi salah satu penyumbang merebaknya kabar, berita atau informasi menyesatkan, yang dalam bahasa digital dikenal sebagai informasi, kabar atau berita hoax. 

Sebuah prediksi atau culipkan logis bisa benar atau bisa juga keliru, ketika disimpulkan cepat dari konsekuensi logis atas fakta atau kondisi logis, yang diungkapkan ke publik kemudian direspon kolektif atau direaksi serentak secara berantai dengan harapan mendapat perhatian atau minat (atensi) banyak orang, merupakan bagian dari proses simpulan cepat berantai tanpa kemampuan berpikir.

Berita duka, suka atau informasi lainnya tentang seseorang, sekelompok orang, peristiwa atau lainnya, yang disimpulkan cepat dalam prediksi atau cuplikan logis tanpa memastikan kebenaran faktanya dan diungkap ke publik, kemudian direspon kolektif atau direaksi serentak secara berantai,  merupakan proses penyampaian kabar, berita atau informasi untuk mendapat atensi publik, yang didefinisikan ke dalam satu kata.

Simpatai adalah kata tentang simpulan cepat berantai tanpa kemampuan berpikir yang dipublikasi dan berharap atensi itu.  

Referensi.

Gladwell, Malcolm. 2005. Blink Kemampuan Berpikir Tanpa berpikir, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun