Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menguak Tabir Warisan Tak Benda

6 November 2023   18:27 Diperbarui: 7 November 2023   09:53 198
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi warisan tak benda. Sumber gambar dari RC/KOMPAS/NASIONAL.KOMPAS.COM

Bukan kebetulan saya lahir di keluarga muslim, maka agama saya bukan kebetulan Islam. Bagi saya, tidak ada kalimat seandainya saya lahir di Swedia atau Israel dari keluarga Kristen atau Yahudi lalu bertanya tentang jamin-menjamin apakah saya akan tetap beragama Islam.

Seandainya berandai-andai itu bisa mengubah situasi, kondisi atau keadaan berputar kembali atas kemauan yang bisa kita putuskan sendiri, sepertinya bumi, tanah, air dan segenap manusia yang terkandung dipermukaannnya cenderung akan baik-baik saja. Mengapa bisa begitu?

Sebab kata seandainya pada konteks 'agama warisan' sebagai salah satu bentuk warisan tak benda adalah ruang nol, hampa, pepesan kosong atau khayalan bentuk lampau. Sesuatu yang bukan kebetulan kita terima lalu kita ikuti, dan faktanya saya lahir di Jakarta, bukan Swedia atau Israel.  

Saya tidak bisa memilih dari rahim ibu dan benih ayah yang mana serta di mana saya akan tinggal setelah dilahirkan. Kewarganegaraan saya hasil registrasi, nama saya pemberian atas harapan dan doa orang tua, Islam saya keturunan.

Seandainya saya seorang Presiden yang sebentar lagi akan lepas masa jabatan setelah tahu tidak bisa diperpanjang lagi, apakah ada jaminan bahwa saya tidak akan meloloskan anak saya yang belum memenuhi batas syarat usia capres cawapres untuk maju ikut pemilihan? Tidak. Mengapa?

Karena kata seandainya pada konteks yang mengarah ke 'warisan tak benda' dalam konteks kekuasaan (Presiden) merupakan bentuk khayal masa ke depan. 

Sebuah ruang kosong yang masih dapat diisi meskipun dengan persentase kemungkinan yang sangat kecil, yang ketika itu terjadi bisa saja saya akan mengikuti jejak pemimpin sekarang dengan mengundang makan siang istana sebagai jamuan terakhir untuk mengukuhkan pembagian warisan tak benda kepada anak saya. Tetapi apakah cara saya bijak dan bertanggungjawab?

Buntungnya, jangankan posisi Presiden, jadi pengajar, guru atau dosen saja tidak. Padahal orang tua saya profesinya guru, mengapa profesi orang tua tak diwariskan kepada saya? Apa yang sebenarnya harus diwariskan oleh orang tua pada anak-anaknya?

Warisan adalah sesuatu yang diwariskan, seperti harta, nama baik, harta pusaka. Beranjak dari definisi tersebut warisan berarti bisa terdiri dari benda berwujud dan tidak berwujud (tak benda). Nama baik dari makna tersebut kita garis bawahi sebagai segala warisan tak benda yang ditujukan untuk kebaikan-kebaikan.  

Warisan tak benda bukan dalam kontek 'warisan budaya tak benda', bisa merujuk apa saja. Mulai dari orang tua pedagang gerobak atau kaki lima (bakso, mie ayam, ketoprak, gado-gado atau lainnya) yang anaknya ternyata berprofesi sama. Artis anaknya jadi artis, pengacara anaknya pengacara, dokter anaknya juga dokter dan lain sebagainya.

UNESO menyebutkan bahwa warisan budaya tak benda merupakan berbagai praktik representasi, ekspresi, pengetahuan, keterampilan---serta instrumen, objek, artefak dan ruang budaya yang terkait dengannya.

Setelah mengetahui ragam warisan budaya tak benda lalu merujuk dan mengkorelasikannya ke dalam konteks warisan, warisan tak benda berarti segala hal di luar konteks harta benda atau aset yang bisa diuangkan. Apa saja?

Berbagai koneksi atas nama orang tua termasuk istilah nepotisme, genetika, golongan darah, penyakit, kecerdasan, perilaku identik, bakat keterampilan, profesi, kedudukan, jabatan, agama dan rangkaian unsur yang memudahkan dan mengaitkan seorang anak mengikuti jejak orang tuanya bisa terkategori dalam warisan tak benda.

Tetapi percayalah bahwa semua bentuk warisan, baik yang berwujud maupun warisan tak berwujud (tak benda), sependek kata 'seandainya' diungkapkan pada maksud dan dalam konteks ke masa depan, selama kita punya tenaga, pikiran, terutama nyawa dan kemauan, masih dapat diubah serta dibela mati-matian atas apa yang sudah bisa kita putuskan sendiri.

Bahkan kita berhak mencegah tentang segala hal warisan berwujud maupun warisan tak benda yang hendak diwariskan oleh orang-orang kepada anak keturunannya dengan cara-cara yang batil atau tidak bertanggung jawab. Dan apa yang kita yakini benar berdasar norma atau nilai-nilai kebaikan tidak memerlukan belas kasihan.

Kebenaran yang kita yakini bukan warisan, meskipun salah satu sumber kedatangannya bisa saja berasal dari sana. Sementara kekeliruan tentang kebenaran yang kita yakini bukanlah doktrinisasi, melainkan bentuk kebodohan.

Maka bayangkan jika kita hanya diam pada cara-cara batil atau cara-cara tidak bertanggung jawab yang dilakukan orang-orang yang berupaya mewariskan warisan tak benda pada anak keturunannya.

Bayangkan jika masing-masing orang tak berani dengan lantang mengatakan bahwa kebenaran harus ditegakkan hanya karena berharap adanya titik temu yang memang nyata-nyata tidak bisa dipertemukan.

Mengklaim kebenaran bukanlah karakteristik yang timbul karena kebencian, dia berangkat dari adanya ketidakadilan, kesewenangan, kezaliman, angkara murka, adu domba, fitnah dan banyak penyebab buruk lainnya.

Siapa bilang iman tak butuh pembuktian? Segala sesuatu yang tak butuh pembuktian adalah ketika ia tak ada, nihil, kosong. Iman bukan sesuatu yang didefinisi sebagai kosongan. Ia isi hanya tak perlu mengumbar, sesumbar atau diumbar. Apa salahnya melabeli orang masuk surga atau neraka sebagai dakwah di kalangan sendiri dan merupakan bagian dari memotivasi kebaikan dengan konsekuensi berupa janji ganjaran yang baik pula.

Latar belakang dari semua perselisihan di muka bumi ini sesungguhnya cenderung karena warisan diwariskan dengan cara-cara yang batil, tidak bertanggungjawab, keliru, manipulasi, serakah, korupsi, kolusi, nepotisme, atau dengan cara-cara yang melawan norma dan nilai kebaikan lainnya. 

Maka bicaralah, tegakkan atau diam  dalam sepakat kebenaran! Sebab Tuhan meminta agar manusia jangan menyembunyikan kebenaran padahal menyadarinya.

Lantas buat apa mempertanyakan siapa yang menciptakan agama-agama yang diwariskan, yang justru bisa menjadi kalimat tanya provokatif saat dipertanyakan. Bukankah yang seharusnya dipertanyakan adalah mengapa segala bentuk warisan tak benda disalaharti dan disalahgunakan?

Tuhan tidak menciptakan manusia sama, serupa, seagama, sebangsa, setanah air agar manusia berpikir. Kemudian hasil proses berpikirnya direalisasikan dalam segala tindakan positif, yang baik dan benar agar setiap perbedaan yang ada dipertemukan dalam wujud kedamaian. Ingat kedamaian!

Sebab selama bentuk kerukunan yang dibungkus oleh bahasa apapun dinarasikan atau digaungkan oleh kepentingan tertentu selain kedamaian untuk mensejahterakan, maka norma atau nilai-nilai kebaikan yang datangnya dari warisan terlebih warisan tak benda akan ditunjuk hidung sebagai biang kerok cerai berainya persatuan dan kesatuan.

Tengok saja kebijakan-kebijakan yang diambil dalam bidang penanaman modal asing, ekonomi, kemanusiaan, sosial, budaya, hukum, politik atau bidang lainnya oleh Negara, yang tentunya bersumber dari Undang-Undang, Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945 dan sumber konstitusi lainnya, apakah sudah menghasilkan kedamaian (keadilan) atau kesejahteraan serentak? Tidak.

Dalam perspektif warisan tak benda, yang seharusnya disepakati adalah kesamaan kebaikannya, keserupaan akan wujud kedamaian dan kemampuannya menghasilkan kesejahteraan merata yang serentak, tapi faktanya seringkali dimanfaatkan oleh berbagai kepentingan sebagai kambing hitam.

Ketika negara lain sudah mulai menabung atau menginvestasi untuk bekal memajukan peradaban dengan kemampuan dari dan/atau kantong sendiri, kita masih berkutat di bantuan, impor dan warisan hutang. Lalu lagi-lagi menyalahkan kambing hitam warisan tak benda sebagai sumber kegagalan.          

Tidak ada yang salah dengan warisan. Untuk hal tertentu terutama kedamaian dan kesejahteraan, warisan tak benda adalah penyumbang terbaik negara ini. Kita hanya butuh berpikiran sama tentangnya. Berpikir dan kemudian bertindak untuk menggunakannya dengan cara-cara yang benar, bijak dan bertanggungjawab, tidak serakah, adil, tidak sewenang-wenang, untuk menuju kedamaian dan kesejahteraan.  

Kelak di masa depan bahkan sejak ribuan tahun lalu selama cara-cara batil dan tidak bertanggungjawab, serakah, tidak adil, sewenang-wenang, zalim masih digunakan, termasuk menyalaharti dan menyalahgunakan warisan tak benda---pasukan perang, pedang, busur panah, bom, senjata, peluru atau rudal sepertinya tak akan berhenti jadi pilihan terakhir bagi rakyat dalam upaya membela diri dari penindasan yang berkuasa.  

Mau damai? Jas Biru! JAngan Sekali-kali BIkin seteRU!

Referensi

https://warisanbudaya.kemdikbud.go.id/?tentang&active=pengertian%20dan%20domain%20warisan%20budaya%20takbenda

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun