Kalo ngeliat itungan tanggal, bulan dan tahun brojolnya, Kompasiana masih terbilang abg (abege), generasi Z, masa-masa pubertas awal.
Pada masa ini wajar kalo ada yang bilang Kompasiana baperan, bucin, dan plin-plan, maklum baru menginjak usia remaja. Tapi jangan salah, Kompasiana nggak mudah retas kayak generasi strawberry. Makanya kalo diputusin, pasti langsung move on dalam detik. Buktinya 15 Tahun Kompasiana masih tetap eksis.
Benarkah Kompasiana baperan, bucin dan plin-plan? Â Penilaian karakter baperan, bucin dan plin-plan tentu saja ditujukan untuk penilaian karakter terhadap anak-anak yang memasuki usia remaja atau abg.
Meski masih terbilang muda, Kompasiana sudah jadi tempat nongkrong para penulis lintas generasi, hampir semua generasi ada. Mulai dari generasi baby boomer, generasi X, generasi Y atau milennial, generasi Z, generasi strawberry, generasi sandwich dan generasi topping.
Generasi yang disebut terakhir itu adalah generasi ngonten. Semua orang yang suka bikin konten adalah generasi topping. Nah, begitu juga para Kners, semuanya masuk generasi ini. Kompasiana jadi menu utamanya, artikel-artikel tulisan para Kompasianer jadi toppingnya.
Jika toppingnya dinilai menarik, artikel tersebut akan dijebloskan oleh mimin Kompasiana ke Artikel Utama (AU). Hebatnya di generasi topping, dijamin nggak akan ada ageisme karena syaratnya sederhana, cuma ngonten.Â
Di generasi ini tak tampak beban tumpukan sayur, keju, daging atau telur yang dijepit potongan roti atas bawah dan lalu dioven---mengingat nggak bakal ada juga orang-orang yang mau menghabiskan waktu meneliti generasi topping yang kejepit dua lapisan roti. Paling banter makanan yang kabarnya berasal dari Inggris dan diberi nama sandwich itu, dibuat menu makanan untuk sarapan pagi. Â
Meskipun begitu, ia bisa rapuh dan mudah menyerah juga kayak strawberry. Contoh di Kompasiana, banyak loh Kompasianer yang baru menulis satu, dua atau lebih artikel lalu menghilang begitu saja tak tentu rimbanya.
Tapi jangan harap ada penulis generasi Alpha di Kompasiana. Tau dari mana? Felling aja. Setidaknya sejauh ini saya belum menemukan Kompasianer dengan tahun kelahiran di atas 2013. Paling minim usia sekolah, dan itu berarti tergolong generasi Z sebaya Kompasiana.
15 Tahun Kompasiana. Dari sekian banyak artikel yang ditulis oleh para Kompasianer, pastilah sudah banyak dampak positif yang bermanfaat praktis nyata bagi para pembacanya.
Bagi saya pribadi yang baru genap setahun menulis di Kompasiana di November nanti, dari seratus lebih artikel yang sudah tayang, rasanya belum ada satu pun artikel yang memberi manfaat praktis nyata bagi pembaca. Apalagi nyaris tak ada artikel tip, resep masakan atau pengetahuan praktis lainnya yang saya tulis.
Dua hari lalu saya coba tayangkan sebuah artikel yang menurut saya bisa menjadi informasi yang akan bermanfaat bagi orang banyak terutama para orang tua yang sedang memperjuangkan pertumbuhan dan perkembangan anak-anak tercintanya agar terbebas dari kondisi stunting. Â
Namun, artikel berjudul "Kukira Kau Stunting" yang saya posting pagi itu, ternyata turun dari "Topik Pilihan" bertopik 'Atasi Krisis Pangan dari Rumah' dalam hitungan jam. Topik tersebut merupakan"Topik Pilihan" kolaborasi Kompasiana dengan Kompasianer Repa Kustipia, yang kabarnya masuk nominasi kategori 'paling lestari'. Â
Saya sudah menduga apa alasan mimin Kompasiana menurunkan artikel "Kukira Kau Stunting" yang tadinya sempat tayang sekira 2 setengah jam di "Topik Pilihan" di bawah Artikel Kompasianer Totok Siswantara berjudul "Gendon Membawaku ke Jakarta", tiba-tiba hengkang dan menghilang.
Yang pasti, pengalaman pembatalan artikel "Kukira Kau Stunting" di Topik Pilihan" memberi petunjuk bahwa Kompasiana ternyata begitu penuh perhatian pada saya. Tapi, ini jangan-jangan saya yang dianggap baperan, bucin, gagal move on dan ...plin-plan menentukan kategori topik. Ah! Gas Pol...nulis terus. Tulis dulu aja. Â
Artikel-artikel saya sejak kurang dari setahun lalu, bulan lalu, minggu lalu, kemarin lusa, belum terdeteksi memberikan manfaat praktis nyata buat orang lain meskipun sudah ada sekira 18 kata atau istilah baru---protologisme  yang sedang berenang, mendaki dan terbang untuk meraih posisi neologisme, yang coba saya lahirkan melalui bedah caesar.
Merujuk pada proses melahirkan yang lebih penuh risiko ketimbang proses melahirkan normal, sebuah kata atau istilah baru yang dibentuk untuk menjadi bagian dari morfologi yang mestinya memiliki asal-usul, alasan, arah tujuan dan/atau seluk beluknya ketimbang kata atau istilah yang dibentuk hanya karena dipelesetkan atau sebab viral. Â
Namun begitu, ada sebuah artikel saya di Kompasiana yang berubah jadi artikelhero. Memberikan manfaat nyata tapi masih sebatas untuk diri sendiri. Saya sebut artikelhero sebab artikel tersebut menyelamatkan hidup saya. Serius? Kok bisa?
Begini ceritanya, suatu hari tetiba istri saya bertanya melalui pesan whatapps, menanyakan di mana logam mulia yang pernah diberikannya kepada saya. Masih disimpan atau sudah dijual?
Logam mulia tersebut bahkan beratnya tidak sampai 1 (satu) gram, yang rencananya akan menjadi tabungan kami dengan cara lain.
Sebab menabung dalam bentuk uang membuat kami selalu tergoda untuk mengambilnya lagi dan lagi. Terlebih ketika kebutuhan mendesak memaksa kami untuk mengambil tabungan yang tidak pernah bertahan lebih dari tiga bulan.
Tapi saya benar-benar lupa saat itu. Saya menjawab rasanya sudah dijual. Istri saya lanjut bertanya, kapan dijualnya? Kenapa tidak bilang? Uangnya buat apa?
Lalu saya menjawab, sepertinya masih disimpan tapi lupa di mana menyimpannya. Hanya saja, ingatan yang saya coba tekan tidak mengarahkan pada satu pun lokasi penyimpanan. Perasaan saya tetap mengatakan sudah dijual tetapi benar-benar lupa.
Ini petaka! Kecemasan dan kegelisahan saya tiba-tiba mencuat. Bagaimana jika logam mulia itu benar-benar tak saya simpan tapi juga tak ingat kapan, dimana dan untuk apa uang hasil jualnya? Saya sama sekali tak ingat apa-apa. Tiba-tiba semua gelap. Mengapa semengerikan ini? Â
Bagi yang sudah berkeluarga saya yakin mereka tahu mengapa pertanyaan sesederhana itu menghadirkan kecemasan, kegelisahan hingga tampak mengerikan ketika tak satupun jawaban bisa memberi keyakinan guna meredakan kecurigaan.
Ah! Kiamat ini pikir saya. Terbukti, pesan masuk di whatapps saya mulai mengeluarkan napas mendengus, ikon-ikon wajah memerah menyerbu dan mempertontonkan pertanyaan yang sama.Â
Di alam bawah sadar saya mulai terngiang-ngiang pertanyaan yang sama dan diulang-ulang, kapan, di mana, dan uangnya buat apa? Saya coba terus menekan memori ingatan, bukannya hadir, potongan-potongan gambar di kepala saya malah semakin memudar hingga memunculkan rasa nyeri dan sakit luar biasa di bagian tempurungnya.
Entah petunjuk dari mana, tangan saya bergerak meraih keyboard pc komputer dan mulai mengarahkan kursor di layar monitor ke jendela internet dan menuju ke Kompasiana, lalu sekonyong-konyong, "Eureka, bingo, yes, amazing, ketemu...", otak saya ingat ke satu artikel saya berjudul, Konsumen "Rabun" (https://www.kompasiana.com/sunanamiruddin5274/638854af4addee31fe26a538/konsumen-rabun), yang saya tayangkan pada 1 Desember 2022.
Di artikel tersebut, saya bercerita tentang keluh kesah saya menjadi seorang konsumen rabun atau konsumen raja buntung atau konsumen buta. Salah satu alasan artikel itu saya tulis adalah karena sebagai konsumen, ketika logam mulia yang tidak sampai 1 (satu) gram saya jual dengan harapan dapat untung atau setidaknya impas, malah merugi banyak alias buntung.
Nah, artikel itulah yang menyelamatkan hidup saya dari kecemasan, kegelisahan, kengerian dan pertengkaran keluarga yang bisa saja jadi tak berujung bila sungguh tak mengingat jawabannya. Itulah artikelhero penyelamat hidup. Hidup dalam makna keutuhan rumah tangga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H