Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

"Magical Mirroring Chamber", Ruang Imitasi Ajaib yang Bisa Hadirkan Sukseskadabra atau Balakazam

20 Oktober 2023   13:48 Diperbarui: 28 Oktober 2023   19:51 778
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi viral. (Sumber: Shutterstock via kompas.com)

Sebelum mengenal ruang pencerminan, ruang peniruan atau ruang imitasi ajaib (magical mirroring chamber) ada baiknya terlebih dahulu kita berkenalan dengan filter bubble dan echo chamber. 

Suatu ketika saya pernah Googling obat herbal untuk keperluan mencari alternatif pengobatan yang tepat untuk penyakit saya yang tak kunjung sembuh. 

Hasil pencarian lewat search engine itu memunculkan banyak tautan ke artikel pengobatan herbal atau alami, dan tentu saja ke berbagai penjual obat herbal.

Tetapi dalam pencarian tersebut tanpa sengaja sentuhan jari saya menekan lebih keras pada sebuah gambar wanita muda seksi dengan sebaris kalimat menggoda. Sehingga tanpa bisa dicegah, dalam hitungan detik monitor smartphone saya tiba-tiba menampilkan iklan obat kuat pria dengan segala daya tariknya.

Rupanya sentuhan ketidaksengajaan tekanan jari membawa saya tersesat ke alam digital marketing, yang ditujukan pada pria-pria lemah atau pria-pria yang ingin mendapat kepuasan dalam urusan seks.

Ajaibnya, saat saya berselancar di beberapa platform digital di lain waktu, tawaran obat-obatan herbal untuk beraneka jenis penyakit, dan obat kuat pria mulai dari produk medis maupun herbal, bentuk tablet maupun cair hingga minyak oles, muncul di setiap platform digital yang saya kunjungi. Sederhananya, begitulah cara kerja algoritma digital yang didasari oleh filter bubble. 

Pada platform digital, setiap pengunjung seperti nyaris "tanpa privasi".  Hal ini tak lain karena platform digital melalui sistem kerja algoritmanya dapat mengenali profil dan jejak digital yang disebut footprint atau digital track kita. Dan itulah yang kemudian dikelola untuk kepentingan iklan. Apa hubungan algoritma digital dengan filter bubble dan echo chamber? 

Istilah filter bubble yang juga disebut sebagai sebuah personal ecosystem of information diperkenalkan pertama kali oleh seorang aktivis, penulis dan pengusaha bernama Eli Pariser. Ia menulis sebuah buku berjudul The Filter Bubble How The New Personalized Web Is Changing What We Read and How We Think, dan menjadi New York Times Best Seler.      

Algoritma digital sangat terkait dengan filter bubble dan echo chamber. Bila filter bubble merupakan algoritma yang membentuk personal ecosystem of information, maka echo chamber masuk kategori grup ecosysistem of information karena algoritmanya terbentuk melalui polarisasi komunitas atau kelompok.  

Hal tersebut merujuk pula pada pendapat Laura Garcia dari First Draft, filter bubble adalah ruang di mana perilaku online kita sebelumnya (riwayat pencarian, suka, berbagi dan kebiasaan berbelanja) memengaruhi apa yang kita lihat online dan di feed media sosial kita, serta dalam urutan apa. Sedangkan echo chamber adalah cara di mana kita hanya menemukan informasi dari orang-orang yang berpikiran sama.

Bagi Eli Pariser, filter bubble akan memperkuat bias setiap orang. Sementara echo chamber, yang menurut Laura Garcia adalah lingkungan di mana kita hanya menemukan informasi atau opini yang mencerminkan dan memperkuat informasi atau opini kita sendiri, menunjukkan bahwa echo chamber juga menguatkan bias konfirmasi.

Dengan kecenderungan demikian, baik filter bubble (gelembung saring) maupun echo chamber (ruang gema), keduanya memungkinkan cerita palsu atau postingan konten berjenis apapun mengganda, ditiru dan menyebar dengan cepat. 

Inilah salah satu penyebab mendasar mengapa berita palsu atau bohong (hoax) terus bermunculan tanpa bisa dihentikan. Sekarang, apa hubungan filter bubble, echo chamber dan ruang pencerminan, ruang peniruan atau ruang imitasi ajaib (magical mirroring chamber)? 

Sumber gambar: foto dan gambar diolah dari berbagai flatform media digital dan wallpaper pixabay.com
Sumber gambar: foto dan gambar diolah dari berbagai flatform media digital dan wallpaper pixabay.com

Baru-baru ini ada sosok mahasiswi sebuah universitas ternama yang viral karena kata 'Bercyandya'. Nama mahasiswi tersebut Abigail Manurung. 

Ketika ia diwawancara oleh satu youtuber terkait pengalamannya masuk Universitas Gadjah Mada, mahasiswi yang berkuliah di Jurusan Psikologi ini mengucapkan kata bercanda dengan intonasi agak mengayun dan terkesan manja sehingga kata bercanda jadi terdengar 'bercyandya',

Jauh sebelum kata 'bercyandya' viral, pernah ada kata 'gelay' yang juga sempat viral ketika diucapkan oleh Nissa Sabyan dengan aksen manja. 

Saat itu lewat sebuah video berdurasi singkat, Nissa berkata "Assalamualaikum, kalian nungguin aku nggak?", beberapa saat kemudian datang seseorang yang menyenggolnya. Lalu Nissa bereaksi  manja seraya berkata, "Nggak mau. Nggak suka. Gelay"

Konon gelay adalah salah satu kata yang berasal dari kamus gaul, sebuah kata pelesetan dari kata geli yang berarti perasaan seperti ketika dikitik-kitik (digelitik). 

Namun dalam suatu acara talk show, Nissa memberikan konfirmasinya bahwa kata gelay yang dimaksud adalah 'nggak like' (nggak suka) yang diucapkan untuk tujuan seru-seruan sehingga ketika diucapkan dengan aksen manja yang disengaja akan terdengar seperti 'gelay'.

Lain lagi kisah viral sebuah frasa 'kamu nanyea' yang dipopulerkan oleh Dilan tiruan alias Alif Cepmek. Dalam suatu unggahan tiktoknya, ia mengucapkan dalam bicaranya yang seolah-olah ditanya kamu selama ini kemana saja? 

Lalu dengan spontan Alif menjawab balik "Kamu nanyea?". Setelah itu frasa 'kamu nanyea' yang sering diucapkan Alif dengan aksen dan gaya meniru tokoh film Dilan menjadi candu, sindrom hingga trauma bagi sebagian orang yang tidak ingin mendengarnya.

Di waktu lainnya, lebih dari sekadar kata atau frasa, ada lirik lagu yang dipelesetkan oleh seseorang yang kemudian menuai viral di media sosial. 

Sebuah lagu berjudul 'Cukup Dikenang Saja' yang dinyanyikan oleh grup band The Junas feat Yasmin Napper, dipelesetkan jadi "Begitu Sulit Lupakan Rehan' oleh Intan Lembata. 

Tapi sebagai catatan, dari keseluruhan lirik yang dinyanyikan, Intan hanya mengganti (memelesetkan) kata kamu menjadi Rehan.

Abigail Manurung dengan kata 'bercyandya', Nissa Sabyan melalui kata 'gelay', Alif Cepmek lewat frasa 'kamu nanyea', dan Intan Lembata via lirik lagu yang salah satu katanya diganti dengan nama Rehan--- kecuali Nissa Sabyan yang sebelumnya sudah memiliki popularitas.

Abigail Manurung, Alif Cepmek dan Intan Lembata mendapatkan sukseskadabra karena celetukan kata, frasa atau modifikasi kata dalam lantunan, yang cenderung masuk dalam konten berkarakter sepele atau sembarang. Lalu apa yang membuat mereka mencapai fase viral yang menjadi faktor penentu sukseskadabranya?  

Peneliti Amerika telah menemukan bahwa otak manusia meniru pola bicara orang lain, bahkan orang asing, tanpa sengaja. 

Para ilmuwan dari University of Carolina, Riverside, menemukan bahwa penyalinan aksen secara bawah sadar berasal dari dorongan bawaan otak untuk "berempati dan berafiliasi". Prof. Lawrence Rosenblum, psikolog yang memimpin penelitian berkata, "Manusia adalah peniru yang tiada hentinya".

Pada tahun 1990-an, ahli saraf Giacomo Rizzolati, MD bersama rekan-rekannya di Universitas Parma Italia, pertama kali mengidentifikasi keberadaan mirror neurons. Yaitu jenis sel otak yang memberikan respons yang sama ketika kita melakukan suatu tindakan dan ketika kita menyaksikan orang lain melakukan tindakan yang sama.

Seorang Profesor emeritus of health economics of addiction, University of Illinois di Springfield, Shahram Heshmat secara lebih mendetail menulis, melalui pemograman biologis kita meniru tampilan emosi orang lain---ekspresi wajah, gerak tubuh dan dengan melakukan itu kita mengadopsi perasaaan interal mereka. Mekanisme biologisnya adalah sistem neuron cermin di otak manusia.

Berdasarkan hasil penelitian peniruan pola bicara dan temuan mirror neurons, maka apa yang membuat konten berkarakter sepele atau sembarang dapat mencapai fase viral bisa dijelaskan melalui ruang pencerminan, ruang peniruan atau ruang imitasi (mirroring chamber).

Dan salah satu alasan kuat dalam pencapaiannya adalah bahwa di saat ruang gema (echo chamber) dan filter bubble sedang memperlihatkan eksistensinya, menyusun dan/atau menunjukkan algoritmanya, disitu mirroring chamber sedang membentuk dirinya menjadi magical mirroring chamber.

Magical mirroring chamber yang merupakan ruang pencerminan, ruang peniruan atau ruang imitasi ajaib adalah momentum terhimpunnya dorongan yang kuat dari mirror neurons setiap orang untuk menirukan kata, frasa, kalimat, lantunan, suara, gerak dan/atau perilaku karena pengaruh daya tarik (magnetisme) digital terhadap indra manusia atas apa yang telah disaksikannya di ruang pencerminan, ruang peniruan atau ruang imitasi (mirroring chamber).

Keberadaan filter bubble, echo chamber dan mirroring chamber di ranah digital selain dapat dimanfaatkan oleh generasi topping atau ngonten untuk menemukan atau meraih sukseskadabranya, juga bisa menerima atau mendapatkan apa yang disebut balakazam.

Dijelang pemilu pilpres 2024, kemanfaatan filter bubble, echo chamber dan mirroring chamber di ruang digital dapat menjadi potensi besar bagi para pengusung capres cawapres setelah melewati fase tebak capres cawapres 2024 dan syarat usia capres cawapres hingga muncul nama-nama capres cawapres dalam bursa pendaftaran pilpres 2024.

Potensi tersebut berwujud magical mirroring chamber yang harus dibentuk atau diciptakan di ruang-ruang digital oleh tim sukses masing-masing dengan cara memproduksi konten-konten cerdas dengan memanfaatkan filter bubble, echo chamber dan mirroring chamber untuk mempromosikan capres cawapres andalan masing-masing koalisi.  

Setelah mengenal apa itu magical mirroring chamber, apakah masih sulit untuk menemukan alasan mengapa sebuah konten bisa viral dibanding konten lainnya? 

Apakah mudah bagi tim sukses menciptakan magical mirroring chamber agar konten promosi atau kampanye digitalnya viral? Apakah konten-konten promo politik yang viral akan meraih sukseskadabra dan mengantarkan capres cawapresnya ke kursi RI-1 atau malah akan menerima balakazam?   

Referensi

Garcia, Laura. 2020. "Now We're in Lockdown, Our Phones Are Becoming Even More of a BFF Than They Were Already", https://www.bbc.co.uk/bitesize/articles/zd7f382, diakses pada 07 Agustus 2023.

Heshmat, Shahram. 2016. "Why We Copy Each Other, and 5 Way It Can Change Us", https://www.psychologytoday.com/gb/blog/science-choice/201601/why-we-copy-each-other-and-5-ways-it-can-change-us, diakses pada 08 Agustus 2023.

Hough, Andrew. 2010. "Human Subconsciously mimic other accents', psychologist claim", https://www.telegraph.co.uk/news/science/science-news/7931299/Humans-subconsciously-mimic-other-accents-psychologists-claim.html, diakses pada 08 Agustus 2023.

Ramli, Ahmad. M. 2022. "Filter Bubble, Echo Chamber dan Ruang Digital Sehat Keluarga", https://www.kompas.com/tren/read/2022/11/04/135403465/filter-bubble-echo-chamber-dan-ruang-digital-sehat-keluarga?page=all, diakses pada 07 Agustus 2023.

Winerman, Lea. 2005. Vol 36, No.9. "The Mind's Mirror", https://www.apa.org/monitor/oct05/mirror, diakses pada 08 Agustus 2023.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun