Pada masa itu entah bagaimana caranya, rekayasa cenderung berhasil. Hanya saja semua itu sebatas informasi yang tersebar tanpa diketahui kebenarannya. Yang pasti, ada sebuah cerita menarik dari tim daerah saya saat itu.
Ada seorang pemain posisi striker yang sangat diandalkan oleh tim. Ia hebat dalam individu juga dalam kerja sama tim. Ia juga memiliki tendangan dengan tingkat akurasi tinggi. Cuma masalahnya, ia masih berusia 14 tahun lebih, belum genap 15 tahun.
Seorang lagi dengan masalah yang sama, juga sangat diandalkan untuk posisi penjaga gawang. Bagaimana caranya agar kedua pemain yang tidak memenuhi syarat usia itu tetap bisa bermain?
Kilas cerita, keduanya tetap bisa bermain dalam tim pada kompetisi tersebut. Keduanya memang sudah beberapa kali ikut kompetisi di batas usia yang memenuhi syarat dan keduanya seringkali mendapat pujian dari penonton juga oleh tim lawan.
Bahkan keduanya pernah membawa dua kali kemenangan hingga meraih piala untuk timnya. Apakah kala itu keduanya mampu menunjukkan performa dan prestasi yang sama dengan yang sebelumnya pernah ditunjukkan?Â
Jawabnya tidak. Tim tersebut malah kalah di dua pertandingan awal dan satu kali seri di babak penyisihan hingga harus tersingkir dari kompetisi.
Pelajaran yang dapat diambil adalah biarkan kompetisi berjalan apa adanya, termasuk para pemain yang memang seharusnya bermain di dalamnya. Jangan paksakan sesuatu yang tidak memenuhi kategori atau syaratnya.Â
Usia memang tidak mencerminkan kemampuan, keterampilan, keahlian, kematangan atau kedewasaan seseorang, tetapi ketika semua itu sudah bersentuhan dengan jam terbang dan pengalaman,hasilnya pasti akan berbeda.
Kisah di atas mungkin tidak setara jika dibandingkan dengan polemik yang sedang terjadi sekarang terkait dengan syarat usia capres cawapres yang sedang diajukan ke MK untuk uji materi atau judicial review, sebab keduanya memang dunia yang berbeda. Satu dunia olahraga, satunya lagi dunia politik.
Akan tetapi keduanya dibangun dari sebuah konstruksi yang sama mengenai bagaimana caranya untuk tetap bisa mengambil peran pada sebuah momentum agar memiliki kesempatan di dalamnya.
Sebuah konstruksi dengan kecenderungan beranjak dari keyakinan yang sama bahwa sosok yang akan mengambil peran di momentum tersebut memiliki potensi dan kemampuan, terutama untuk meraih atensi publik atau mengambil respon kolektif maysarakat jika tidak boleh dibilang euphoria sosok---akan mampu memenangkan kompetisi.