Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Syarat Batas Usia Capres-Cawapres, Mengapa Tidak Dilakukan Sejak Dulu lewat "Legislatif Review"?

13 Oktober 2023   11:27 Diperbarui: 17 Oktober 2023   23:48 2099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi: Pemilu 2024. (Sumber Gambar: CHY/KOMPAS.ID)

Lucu sekaligus memalukan, saya baru mengetahui kalau huruf 'U' di depan angka dalam kompetisi besar sepakbola dalam kategori level usia, seperti sebut saja U-23, U-19, U-16 dalam piala AFF misalnya, adalah 'under'. 

Under yang dimaksud berarti 'di bawah angka' yang dipakai. Artinya, para pemain yang ikut berpartisipasi adalah pemain yang berusia di bawah angka atau maksimal sesuai dengan angka di belakang 'U' atau 'under'. 

Diberlakukannya kategori level usia dalam kompetisi besar semacam piala AFF, selain bertujuan untuk memunculkan bibit-bibit pesepakbola di masa depan melalui seleksi batas usia, tentunya tidak terlepas dari berbagai pertimbangan atau tujuan lain. 

Salah satunya adalah bahwa di dunia olahraga, konon kabarnya, seorang atlet dengan usia di atas 30 tahun sudah dianggap tua.

Otak saya selama ini ternyata tersegel oleh persepsi 'U' di depan angka adalah 'usia'. Karena tersegel maka saya tidak pernah mengaktivasi nalar kritis logika yang seharusnya.

Seperti misalnya bila U-19 adalah usia 19 maka para pemain yang ikut berpartisipasi adalah mereka yang usianya genap 19 tahun pada saat pertandingan berlangsung, dan ini sangat tidak logis. 

Sebab dalam setiap kompetisi, setiap tim akan bermain lebih dari satu kali pertandingan. Maka U untuk 'under'lah yang logis.

Berkaitan dengan kompetisi berbatas usia, suatu ketika pada sebuah kompetisi sepak bola kampung di sekitar wilayah saya, diberlakukan syarat batas usia pemain yang boleh ikut minimal usia 16 tahun dan maksimal usia 19 tahun. 

Untuk pembuktian dan pengecekkan, seluruh tim harus menunjukkan akte kelahiran atau Kartu Tanda Penduduk (KTP) asli para pemainnya setiap akan mulai bertanding.

Tetapi faktanya, selalu ada saja informasi tentang manipulasi usia dari beberapa tim yang cepat tersebar. Mereka merekayasa tahun kelahiran yang tercantum di akte kelahiran atau KTP.

Pada masa itu entah bagaimana caranya, rekayasa cenderung berhasil. Hanya saja semua itu sebatas informasi yang tersebar tanpa diketahui kebenarannya. Yang pasti, ada sebuah cerita menarik dari tim daerah saya saat itu.

Ada seorang pemain posisi striker yang sangat diandalkan oleh tim. Ia hebat dalam individu juga dalam kerja sama tim. Ia juga memiliki tendangan dengan tingkat akurasi tinggi. Cuma masalahnya, ia masih berusia 14 tahun lebih, belum genap 15 tahun.

Seorang lagi dengan masalah yang sama, juga sangat diandalkan untuk posisi penjaga gawang. Bagaimana caranya agar kedua pemain yang tidak memenuhi syarat usia itu tetap bisa bermain?

Kilas cerita, keduanya tetap bisa bermain dalam tim pada kompetisi tersebut. Keduanya memang sudah beberapa kali ikut kompetisi di batas usia yang memenuhi syarat dan keduanya seringkali mendapat pujian dari penonton juga oleh tim lawan.

Bahkan keduanya pernah membawa dua kali kemenangan hingga meraih piala untuk timnya. Apakah kala itu keduanya mampu menunjukkan performa dan prestasi yang sama dengan yang sebelumnya pernah ditunjukkan? 

Jawabnya tidak. Tim tersebut malah kalah di dua pertandingan awal dan satu kali seri di babak penyisihan hingga harus tersingkir dari kompetisi.

Pelajaran yang dapat diambil adalah biarkan kompetisi berjalan apa adanya, termasuk para pemain yang memang seharusnya bermain di dalamnya. Jangan paksakan sesuatu yang tidak memenuhi kategori atau syaratnya. 

Usia memang tidak mencerminkan kemampuan, keterampilan, keahlian, kematangan atau kedewasaan seseorang, tetapi ketika semua itu sudah bersentuhan dengan jam terbang dan pengalaman,hasilnya pasti akan berbeda.

Kisah di atas mungkin tidak setara jika dibandingkan dengan polemik yang sedang terjadi sekarang terkait dengan syarat usia capres cawapres yang sedang diajukan ke MK untuk uji materi atau judicial review, sebab keduanya memang dunia yang berbeda. Satu dunia olahraga, satunya lagi dunia politik.

Akan tetapi keduanya dibangun dari sebuah konstruksi yang sama mengenai bagaimana caranya untuk tetap bisa mengambil peran pada sebuah momentum agar memiliki kesempatan di dalamnya.

Sebuah konstruksi dengan kecenderungan beranjak dari keyakinan yang sama bahwa sosok yang akan mengambil peran di momentum tersebut memiliki potensi dan kemampuan, terutama untuk meraih atensi publik atau mengambil respon kolektif maysarakat jika tidak boleh dibilang euphoria sosok---akan mampu memenangkan kompetisi.

Cara yang ditempuh sosok pesebakbola dalam cerita ketika diupayakan agar memenuhi syarat usia sehingga tetap bisa bertanding dalam kompetisi, pastinya bukan jalur yang benar.

Sedangkan syarat usia capres cawapres meskipun ditempuh lewat jalur hukum agar sosok yang diajukan memenuhi syarat batas minimal usia hingga nantinya bisa ikut pemilihan capres cawapres, memunculkan banyak pertanyaan di benak publik. 

Salah satunya, mengapa itu tidak dilakukan sejak dulu lewat jalur legacy policy pembuat undang-undang (legislatif review)?          

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun