Kalau hanya mengandalkan usia muda yang tentu saja belum memiliki pengalaman matang terkait banyak aspek kehidupan, sepertinya sebagian besar kaum muda belum layak berkiprah di dunia politik.
Sedangkan kecenderungan faktanya, banyak politis muda yang lahir tidak beranjak dari proses pembentukan mental politik, melainkan dukungan dan usungan politik jika tak boleh disebut privilese politik.
Sebut saja beberapa nama politisi muda yang disodorkan atau dihadirkan karena popularitasnya, kekuatan finansialnya, probabilitas hasil survei suara politik yang mendukungnya, keterikatan hierarki politik keluarganya, sekadar vokal tentang politik atau hal lainnya yang tidak terhubung dengan kemampuan berpolitik.
Mereka didukung dan diusung tanpa modal kekuatan mental politik, melainkan hanya berbekal kelebihan poin yang tidak mengandung unsur kekuatan kemampuan politik.Â
Kelak kepada mereka diinjeksikan keberanian berdebat dan strategi untuk menjatuhkan lawan tanpa peduli dengan etika berpolitik.Â
Maka kemudian lahirlah politisi-politisi muda karbitan yang memiliki karakter interaksi politik dengan kecenderungan mencipatakan provokasi, kontroversi dan/atau sensasi.Â
Bagi mereka prioritas politiknya yang penting mencapai target, menang atau unggul. Mereka membangun politik kuantitas tanpa memerhatikan kualitas.Â
Sehingga nantinya ketika mereka menempati posisi politik, yang mereka dahulukan adalah kepentingan kelompok atau golongan dan kepentingan pribadinya dibanding kepentingan masyarakat. Â Â Â
Ibarat buah matang emposan (karbitan), rasa manis dan tekstur kematangan daging buahnya kurang sempurna. Warna buah pun kelihatan pucat.Â
Malah seringkali demi memenuhi permintaan pasar, buah-buah emposan disuntikan pemanis dan pewarna buatan sehingga rasa buah dan warnanya jauh dari alami.Â
Itulah yang menjadi alasan mengapa buah matang di pohon meskipun harus melalui proses panjang untuk tiba di waktu panen tetap masih jauh lebih baik ketimbang buah matang emposan.Â
Perihal itu pula yang menjadi alasan pentingnya mental politik matang di pohon bagi politisi muda. Merujuk pesan menarik dari film 'Soegija'.
Pada suatu adegan Albertus Soegijapranata berpesan kepada seorang pejuang kemerdekaan, "Kalau jadi politikus, jangan haus kekuasaan! Kalau tidak, nanti jadi benalunya negara".Â
Bagi Romo Soegija, politik adalah soal melayani rakyat. Seorang politisi harus memiliki mental politik, yaitu mental melayani rakyat.Â
Berdasar pemahaman itu, ketika seseorang ingin menjadi politisi, faktor usia jelas tak jadi soal sebab dasar yang harus dipahami adalah demokrasi.Â
Tetapi tidak sekadar dipahami, setiap politisi wajib menerapkan dan merealisasikan prinsip demokrasi dalam kehidupan politiknya. Karena bekal pengetahuan dan kecakapan prinsip demokrasi ini merupakan proses awal pembentukan mental politik bagi para politisi muda. Â Â Â
Pentingnya mental politik matang di pohon adalah proses pembentukan kematangan pengetahuan, kecakapan, kemampuan dan segala cakupan wawasan politik yang wajib diketahui, dikuasai, diterapkan dan direalisasikan oleh seorang politisi dengan segenap hati dan jiwanya untuk semata-mata menuju masyarakat adil, makmur, damai, aman, nyaman dan sejahtera.Â
Mental politik matang dipohon berarti dibentuk mulai dari menyerap sumber inti sari makanan dari dalam bumi oleh akar yang kemudian ditumbuh kembangkan dan disalurkan melalui batang, cabang, dahan, ranting, daun dan buah. Sehingga kematangannya terbentuk alami dan sempurna.
Mental politik matang di pohon akan menciptakan politisi-politisi muda yang tidak saja energik, kreatif, inovatif, tetapi juga berkarakter, visioner, bermoral, beretika, berhati nurani dan terutama memprioritaskan kepentingan masyarakat, bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan kepentingan kelompok atau golongan. Â Â Â Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H