Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengapa Celetukan "Bercyandya" Abigail Manurung Viral?

22 September 2023   10:44 Diperbarui: 22 September 2023   14:14 862
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: freepik.com

Cuma di generasi topping, hal yang tampak sepele atau sembarang dapat membentuk suatu fase yang disebut viral, trending topic, FYP, headline atau semacamnya, yang dengannya seseorang atau sekelompok orang yang berada di fase tersebut dapat memasuki kondisi suskseskadabra, dan berpotensi menerima keberhasilan atau keuntungan lanjutan lainnya.

Hanya di generasi ngonten, orang-orang yang tidak memiliki media massa bisa memiliki kanal televisi, saluran radio, dan media tulisnya sendiri, dan hebatnya mereka bisa bersaing dengan media-media besar atau media arus utama.

Generasi yang dikenal memanfaatkan berbagai platform digital terutama platform media sosial ini juga punya kesempatan menjadi aktor/artis tanpa proses rekrut, casting, audisi,  bekal bakat dan/atau pendidikan seni akting. Faktanya, sudah banyak bermunculan aktor/artis jebolan platform media sosial seperti Awkarin, Anya Geraldine, Rachel Vennya, Ria Ricis, Atta Halilintar, Bunda Corla dan masih banyak lainnya.

Mereka yang meraih posisi aktor/artis melalui platform digital atau platform media sosial kemudian dikenal sebagai selebgram, selebtwit, selebtiktok, youtuber hingga influencer, yang oleh Theresa Senft (2008) dalam studi kritis dan etnografisnya dalam buku berjudul Camgirl: Celebrity and Community in the Age of Social Network disebut sebagai microcelebrity.

Namun begitu, jangan keburu nafsu untuk mengatakan bahwa posisi yang mereka sandang sekarang hanya berasal dari fase viral, trending topic, fyp atau headline tanpa adanya konsistensi dan upaya peningkatan kreasi konten beserta inovasi yang terus mereka interaksikan di media sosial.

Terlepas dari awal mula mereka dikenal melalui konten berkarakter provokasi, kontroversi, sensasi, edukasi atau karakter lainnya, enggagement rate mereka telah membentuk dan mencapai metrik dalam kategori kinerja yang tinggi dan efektif untuk menjadi media pemasar atau pemengaruh audiens.

Selain enggagement rate, akun mereka di berbagai flatform media sosial bukan saja telah mencapai batas minimum validasi atau verifikasi yang ditandai dengan centang biru, tetapi juga sudah jauh melampaui batas tersebut seiring dengan follower, subscriber, viewer dan/atau keterlibatan audiens di dalamnya, yang terus mengalami peningkatan.

Meskipun ada kabar baik bagi para kreator konten pemula terkait adanya verifikasi berbayar untuk mendapatkan centang biru, pada kenyataannya, antara verifikasi centang biru yang didapat atas upaya konsistensi dan/atau kerja keras dan verifikasi centang biru berbayar, memiliki performa yang sangat berbeda.          

Tetapi saya tidak sepakat bila ada yang mengatakan bahwa mikro selebriti adalah orang yang mengekspos kehidupan melalui media sosial tanpa kecenderungan manipulasi dalam setiap konten yang diproduksi dan disebarkan. Sebab dasar penyampaian informasi yang tersaji di media sosial terdiri dari beragam teknik presentasi termasuk penyampaian informasi yang diolah dengan dan/atau tanpa sengaja menyisipkan unsur intermeso, manuver, improvisasi, dramatisasi dan/atau manipulasi.

Sebelum jauh membahas segala macam teknik presentasi dan unsur lainnya, saya coba mencari informasi terkait seorang youtuber yang dijuluki 'King of Youtuber Asia Tenggara', Atta Halilintar. Lewat konsistensi unggahan video dan jargon 'ashiap', sampai pertengahan tahun 2023 ternyata subscriber Atta sudah tembus di angka 30,3 juta (databoks.katadata.coid/socialblade.com:2023).

Kabarnya, jargon 'ashiap' yang bermula dari selingan keisengan (intermeso) dalam vlog Atta, dan kini mulai ditinggalkan adalah bagian dari konten-konten yang turut melambungkan namanya serta menjelmakan dirinya menjadi salah seorang mikro selebriti. Jargon 'ashiap' menurut informasi daring, dilontarkan iseng berdasar inisial nama depannya, 'A' dan kata siap. Jargon ashiap lalu ditiru oleh orang-orang di jagat maya dan dunia nyata.

Kalau dulu sebelum era internet, jargon yang mengganda, diikuti dan terus menyebar dapat diakibatkan oleh efek 'getok tular' atau 'womm' (word-of-mouth marketing) untuk merujuk pada segala bentuk strategi pemasaran kata yang dipengaruhi atau didorong secara aktif  agar mengganda, ditiru dan terus menyebar. Sekarang strategi tersebut bisa jauh lebih efektif dengan bantuan 'jempol tular' atau 'tot' (touch of thumb).

Banyak konten berisi selingan kata penggebrak, yel-yel, jargon, frasa kejut atau apapun bentuknya yang bisa disebut sebagai salam pembuka, sisipan konten dan/atau penutup yang secara sengaja diperkenalkan atau spontan diucapkan dalam konteks selingan keisengan (intermeso)---pada produk-produk konten yang dibuat. Mengapa dari sekian banyak intermeso yang bertebaran di berbagai platform digital dan media sosial, jargon 'bercyandya' dari Abigail Manurung viral?

Tidak ada formula pasti yang mampu menentukan bentuk intermeso apapun dalam sebuah konten menjadi viral, sebab banyak faktor yang memengaruhinya. Namun berbagai hasil riset bisa membantu untuk dijadikan rujukan dan mengetahui faktor apa saja yang membuat sebuah konten viral dibanding konten lainnya.

Salah satunya adalah hasil riset Profesor Jonah Berger, di Wharton School di University of Pennsylvania, seorang pakar perubahan, promosi dari mulut ke mulut, pemasaran viral, pengaruh sosial dan bagaimana produk, ide dan perilaku menarik perhatian. Melalui buku 'Contagious: Why Things Catch On'  hasil karyanya, ia menyebutkan enam prinsip pokok yang disebut STEPPS yang membuat segala sesuatu populer (viral).

Enam pinsip pokok tersebut terdiri dari Mata Uang Sosial (Sosial Currency), Pemicu (Triggers), Emosi (Emotion), Umum (Public), Nilai Praktis (Practical Value) dan Cerita (Story). Hasil riset lainnya mengatakan bahwa faktor motivasi sosial dan respon emosional bisa memengaruhi sebuah konten menjadi viral.

Sementara menurut Malcolm Gladwell penulis buku 'The Tipping Point' menyebutkan bahwa faktor yang ikut memengaruhi keberhasilan penggandaan, peniruan dan penyebaran (viralnya) sebuah konten (virus produk, ide atau perilaku) adalah para penyebar virus (konten) terdiri dari tiga kelompok penting yaitu penghubung, ahli dan tenaga penjualan.

Viral merupakan sebuah istilah yang terhubung dengan konten dan berbagai platform media daring, yang pertama kali diperkenalkan oleh Douglas Rushkoff. Bahwa virus media atau media viral yang menjelaskan sebagai salah satu jenis Kuda Troya: 'orang-orang ditipu agar meneruskan agenda tersembunyi ketika meneruskan konten menarik'.

Lebih dalam, alasan mendasar penularan produk, ide dan perilaku yang merupakan bagian dari satuan makna pranata budaya yang diteruskan dari generasi ke generasi diistilahkan sebagai meme. Sebuah istilah sosial budaya yang identik dengan gen, dan diciptakan oleh Richard Dawkins pada tahun 1976 dalam bukunya 'The Selfish Gene'. Sehingga meme merupakan unsur peniruan yang melekat pada produk, ide dan perilaku yang menempel dalam sebuah konten.

Berdasarkan semua uraian tersebut, yang dibutuhkan oleh penggandaan, peniruan dan penyebaran suatu produk, ide atau perilaku menjadi viral di platform digital atau media sosial adalah adanya ruang pencerminan, ruang peniruan, ruang imitasi yang ajaib atau magical mirroring chamber.  Dan keberadaan atau eksistensi sebuah konten itu sendiri merupakan mirroring chamber. 

Maka alasan jargon bercyandya Abigail Manurung viral adalah karena intermeso dalam konten yang dibuat oleh salah satu youtuber ketika Abigail diwawancara terkait pengalamannya masuk Universitas Gadjah Mada, mampu menjelmakan konten tersebut menjadi magical mirroring chamber. 

Suatu ruang pencerminan, ruang peniruan atau ruang imitasi yang secara ajaib memiliki kemampuan menggandakan, menularkan dan menyebarkan salah satu produk, ide atau perilaku menjadi viral, yang dalam konten wawancara youtuber dengan Abigail Manurung, konteks yang menjadi viral adalah perilaku selingan keisengan (intermeso) jargon bercyandya. Tetapi bagaimana cara sebuah konten menjelma menjadi magical mirroring chamber atau ruang pencerminan, ruang peniruan atau ruang imitasi yang ajaib?   

Referensi

Fenomena Viral. Wikipedia. Eknsiklopedia Gratis. 2023. Web. 22 September 2023, https://id.wikipedia.org/wiki/Fenomena_viral.

Jonah Berger. Wikipedia. Ensiklopedia Gratis. 2023. Web. 22 September 2023, https://en.wikipedia.org/wiki/Jonah_Berger

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun