Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Meretas Minat dan Bakat di Merdeka Belajar untuk Menolak Gagal Berkualitas

1 April 2023   15:19 Diperbarui: 1 April 2023   15:24 1210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tahun 1900. Seorang psikolog dari Perancis, Alfred Binet menemukan metode "tes kecerdasan" IQ atau Intelligence Quotient yang dapat diukur dengan cara usia mental dibagi usia kronologis dan dikali dengan 100. Metode tersebut dirancang untuk memprediksi mana anak yang akan sukses dan mana yang akan gagal di sekolah.

Metode tes kecerdasan IQ selanjutnya telah digunakan untuk menguji anak didik di sekolah-sekolah di banyak negara. Tes tersebut juga pernah dilakukan di sekolah-sekolah di tanah air. Selain untuk mengetahui tingkat kecerdasan anak didik, hasil tes juga digunakan sebagai tolak ukur untuk tujuan-tujuan tertentu. Bagaimana hasilnya?

Salah satu tujuan tes IQ pernah digunakan sebagai sebuah variabel di antara variabel lainnya dalam menentukan penjurusan di Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat. Terutama di sekolah-sekolah non kejuruan. Seperti pengalaman saya di sekira tahun 1993, tes IQ dilakukan saat saya masih duduk di bangku kelas satu sekolah Madrasah Aliyah (MA).

Awalnya, hasil tes IQ menempatkan saya pada posisi 'bangga diri' lantaran hasil yang saya dapat masuk klasifikasi di atas normal di bawah cerdas. Kemudian hasil tes IQ yang saya dapat dijadikan variabel terkuat yang akan menempatkan saya pada penjurusan kelas IPA-Fisika. Kelas penjurusan yang pada masanya dianggap paling bergengsi. Walaupun faktanya, minat dan bakat saya tidak di sana bahkan tidak terfasilitasi oleh sekolah.

Permasalahan saya bagi dunia pendidikan saat itu cenderung disederhanakan; saya dinilai keliru memilih sekolah. Padahal semestinya tidak sepesimis itu menyikapi permasalahan tiap peserta didik. Bukankah dunia pendidikan dengan kurikulum, sistem dan berbagai program yang sudah dirancang seharusnya mampu bertanggungjawab untuk mendukung dan memfasilitasi setiap permasalahan perserta didiknya?

Di tengah ketidakmampuan kurikulum, sistem dan berbagai program pendidikan kala itu dalam menyikapi permasalahan saya dan yakin menjadi masalah yang sama bagi banyak peserta didik lainnya terkait minat dan bakat, saya coba ajukan diri kepada guru wali kelas agar saya ditempatkan pada penjurusan kelas IPS-Sosial saja.

Setidaknya saya yakini bahwa jurusan IPS-Sosial lebih bisa dan mampu saya ikuti daripada jurusan IPA-Fisika yang direkomendasikan atau dua jurusan lain yang tersedia, jurusan IPA-Biologi dan Agama.

Namun pengajuan saya ditolak. Guru wali kelas tetap meyakinkan bahwa saya murid cerdas dan akan mampu mengikuti semua pelajaran di kelas IPA-Fisika. Sampai di titik ini, hasil tes IQ temuan Alfred Binet belum saya ketahui korelasi capaian akhirnya.

Sementara di awal tahun 1980-an, Horward Gardner telah memperkenalkan teori kecerdasan majemuk (MI). Menurut Gardner kecerdasan manusia bukan merupakan sebuah konsep tunggal atau bersifat umum. Gardner percaya bahwa kompetensi kognitif manusia akan lebih baik jika dideskripsikan dalam hal rangkaian keahlian, bakat, atau kemampuan mental, yang disebut sebagai kecerdasan (Multiple Intelligences).

Tetapi pada masa yang sama tidak ditemukan upaya yang sama terhadap Multiple Intelligences seperti upaya yang pernah dilakukan terhadap tes IQ ke dalam dunia pendidikan kita. Lantas apa hubungan permasalahan peserta didik terkait minat dan bakat dengan kecerdasan majemuk?

Minat dan bakat adalah dua hal berbeda yang tak terpisahkan antara satu dan lainnya. Minat tercipta karena adanya ketertarikan kuat atas sesuatu. Sedangkan bakat merupakan potensi bawaan yang dimiliki manusia. Minat dan bakat seringkali dikaitkan dengan faktor kecerdasan dan kesuksesan seseorang.

Ironinya, dunia pendidikan kita sebagai salah satu wadah yang paling krusial bagi pengembangan minat dan bakat peserta didik sepertinya belum mampu membaca bahwa arah temuan teori Howard Gardner tentang kecerdasan majemuk yang terdiri dari 8 (delapan) jenis kecerdasan merupakan representasi dari minat dan bakat. Hingga dunia pendidikan kita masih identik dengan pendidikan berkonsep tunggal seumpama konsep kecerdasan IQ.

Oleh karenanya, dunia pendidikan belum menempatkan posisi minat dan bakat sejajar dengan IQ sehingga proses dan hasil yang dicapai sangat cenderung masih berkonsep tunggal. Apakah Kurikulum Merdeka yang diluncurkan oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi akan mampu menjawab permasalahan yang selama ini terjadi di dunia pendidikan kita?

Sebelumnya, mundur jauh ke belakang, ada sebuah informasi terkait dunia pendidikan yang berkorelasi dengan konsep merdeka belajar yang secara faktual telah berjalan dan menunjukkan hasil positif. 

Informasi tentang salah seorang murid Tino Sidin, yakni Djaduk Ferianto. Seorang seniman yang pernah berguru pada Tino Sidin itu mengatakan, cara mengajar gurunya persis seperti gaya mengajar ala Perguruan Taman Siswa. Djaduk mengungkapkan, dengan melakukan pendampingan pada anak, Tino mendorong mereka untuk menemukan kebebasan dalam berimajinasi dan berekspresi.

Ungkapan Djaduk dalam mendeskripsikan Tino Sidin dalam informasi itu memberikan beberapa temuan sekaligus. Pertama, bahwa Tino Sidin atau Pak Tino Sidin, seorang pelukis dan guru gambar yang dikenal lewat sebuah acara "Gemar Menggambar" di stasiun TVRI era 80-an adalah guru yang memiliki jiwa pamong (ngemong). Kedua, Perguruan Taman Siswa merupakan wadah pendidikan yang memberikan kebebasan pada murid dan memiliki pengajar (guru) pamong. Ketiga, Djaduk Ferianto adalah bagian dari Perguruan Taman Siswa.

Untuk diketahui, Djaduk Ferianto adalah seorang aktor, sutradara dan musikus. Ia adalah adik dari Butet Kartaredjasa yang juga dikenal sebagai aktor. Pendidikan pria kelahiran Yogyakarta 16 Juli 1964 itu, turut mempersiapkannya sebagai seniman. Dari SMP hingga SMA ia bersekolah di sebuah institusi pendidikan yang menaruh perhatian besar dalam dunia kebudayaan dan budi pekerti yaitu Taman Siswa.

Informasi berikutnya datang dari sebuah webinar yang membahas tentang Kurikulum Merdeka. Seorang pengamat pendidikan dan pengarang buku "Pendidikan Rusak-Rusakan", Darmaningtyas, ditanya dan diminta berbagi tentang sedikit konsep Merdeka Belajar yang asli dari Ki Hajar Dewantara oleh Indra Charismiadji sang pembawa acara.

Dirangkum dari paparan jawaban Darmaningtyas, didapat informasi bahwa substansi konsep Merdeka Belajar dari Ki Hajar Dewantara adalah pendidikan harus memberikan kebebasan kepada minat dan bakat murid. Katanya, dulu, paling tidak sampai dengan generasi terakhir yang merasakan konsep merdeka belajar yang mungkin waktu itu, Djaduk Ferianto dan Butet Kartaredjasa adalah produk keluaran Perguruan Taman Siswa.

Tetapi konsep Merdeka Belajar Ki Hajar Dewantara yang demikian, yang terasa sekali merdeka belajarnya hanya masih terasa sampai tahun 80-an. Setelah tahun 80-an konsep Merdeka Belajar di Taman Siswa tidak terasa lagi. Sudah tidak ada bedanya bahkan tertinggal. Urai Darmaningtyas.

Informasi tentang seniman (Alm) Djaduk Ferianto di atas, seperti hendak menunjukkan bahwa secara generik, konsep Merdeka Belajar yang telah digunakan di Perguruan Taman Siswa sampai tahun 1980-an telah mampu merepresentasikan minat dan bakat sebagai bagian dari hasil capaian dunia pendidikan yang bukan merupakan konsep tunggal.

Informasi itu juga menunjukkan bahwa konsep Merdeka Belajar telah menempatkan minat dan bakat sejajar dengan kecerdasan IQ dalam konteks kecerdasan majemuk.

Jika dibandingkan dengan apa yang saya alami di era 90-an ketika minat dan bakat tidak memiliki tempat untuk menentukan kebebasan memilih arah, tentu saja kesempatan untuk mengembangkan minat dan bakat seperti apa yang telah diterima (Alm) Djaduk Ferianto di Perguruan Taman Siswa tidak bisa terwujud.

Tidak sampai di situ, hasil tes IQ yang menjadi salah satu dari sekian alasan yang menempatkan saya di jurusan IPA-Fisika nyatanya gagal memprediksi. Di kelas, saya tidak pernah masuk sepuluh besar. Nilai mata pelajaran IPA-Fisika dan pengembangan keilmuan (penjurusan) saya hanya terhitung kategori cukup. Nilai akhirnya terbilang kurang. Setelah lulus, saya gagal di berbagai tes masuk perguruan tinggi dan di beberapa tes masuk CPNS.

Tanpa wadah yang tepat, minat dan bakat saya telah terhambat dan perlahan terkubur. Minat saya di bidang seni karya dan salah satu bakat saya, menggambar, sama sekali tidak dapat berkembang.  

Kurikulum, sistem pendidikan dan berbagai program yang saya terima selama 12 tahun bersekolah tidak mengarahkan minat dan bakat saya ke arah yang tepat. Saya gagal. Tapi apakah kegagalan saya juga mewakili berbagai kegagalan yang dialami perserta didik lain di masa itu?

Kegagalan tentu tidak diinginkan oleh semua pihak pemangku pendidikan. Apalagi oleh peserta didik. Oleh karena itu tes minat dan bakat seharusnya menjadi penting untuk dijadikan tolak ukur lainnya setelah IQ.

Selain tes minat dan bakat, dunia pendidikan seharusnya mempunyai kewajiban untuk menyediakan fasilitas terhadap segala sesuatu yang bisa mengarahkan minat dan bakat setiap peserta didik untuk dapat mengoptimalkannya.

Sumber gambar : diolah dari kurikulum.kemdikbud.go.id
Sumber gambar : diolah dari kurikulum.kemdikbud.go.id

Akhirnya, pada 11 Februari 2022. Menteri Kemdikbudristek, Nadiem Anwar Makarim meluncurkan Kurikulum Merdeka secara daring. Terlepas dari polemik asal-usul konsep Merdeka Belajar dengan segala perdebatannya, Kurikulum Merdeka ternyata menawarkan keunggulan dan karakteristik yang seidentik dengan konsep Merdeka Belajar yang pernah diterapkan oleh Perguruan Taman Siswa.

Salah satu tujuan dibuatnya konsep Kurikulum Merdeka Belajar adalah agar siswa bisa mendalami minat dan bakatnya masing-masing. Kurikulum Merdeka memberi keleluasaan dan memudahkan pendidikan menerapkan pembelajaran yang lebih mendalam, sesuai dengan kebutuhan peserta didik, dan fokus pada penguatan karakter.

Kehadiran Kurikulum Merdeka Belajar di sekolah-sekolah merupakan kabar baik sekaligus jawaban untuk pemecahan masalah terkait wadah pengembangan minat dan bakat bagi banyak peserta didik.

Keunggulan dan karakteristik yang dimiliki serta tujuan Kurikulum Merdeka Belajar terkait minat dan bakat menjadikan dunia pendidikan memiliki wadah untuk meretas minat dan bakat bagi para peserta didik. Kurikulum Merdeka Belajar tengah berupaya menciptakan pendidikan berkonsep majemuk.

Sekolah-sekolah akan menjadi tempat yang tepat dalam meretas asa untuk mengembangkan minat dan bakat secara optimal guna meraih cita-cita. Dunia pendidikan akan mampu meminimalkan kegagalan akibat pendidikan berkonsep tunggal yang selama ini berjalan.

Melalui terciptanya pendidikan berkonsep majemuk, Merdeka Belajar menolak gagal. Sebab pendidikan berkonsep majemuk akan mampu menempatkan, memaksimalkan, mengoptimalkan dan menghasilkan setiap peserta didik berada tepat di jalur kecerdasannya masing-masing.

Sehingga dunia pendidikan tidak hanya akan melahirkan keluaran (lulusan) dengan kecerdasan berkonsep tunggal yang berkualitas, melainkan juga melahirkan keluaran (lulusan) dengan kecerdasan berkonsep majemuk dengan kemampuan, keahlian, bakat dan kecerdasan yang berkualitas pula.

Dengan demikian, pendidikan berkonsep majemuk yang diciptakan oleh Kurikulum Merdeka dengan konsep Belajar Merdeka berarti hendak menolak gagal berkualitas.

Referensi

Disarikan dari channel Youtube Vox Populi Institute Indonesia dengan judul "Merdeka Belajar: Konsep Pendidikan atau Merk Dagang", https://www.youtube.com/watch?v=T4lMtbfBTYo

Gardner, Howard. 2013. "Multiple Intlligences Memaksimalkan Potensi & Kecerdasan Individu dari Masa Kanak-kanak Hingga Dewasa",  Jakarta: Daras Books.

Gudeg.net. Seniman&Budayawan. "Djaduk Ferianto", https://www.gudeg.net/direktori/1039/djaduk-ferianto.html#:~:text=Dari%20SMP%20hingga%20SMA%20dia,Seni%20Rupa%20namun%20tidak%20selesai.

https://kurikulum.kemdikbud.go.id/

Rasyid, Shani. 2021. "Kisah Hidup Tino Sidin, Guru Gambar Legendaris Asal Jogja", https://www.merdeka.com/jateng/kisal-hidup-tino-sidin-guru-gambar-legendaris-asal-jogja.html, diakses pada tanggal 27 Maret 2023 pukul 18.01

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun