Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Politik

5 Permintaan Titipan "Raje" pada Balon Raja dan Presiden 2024

1 Maret 2023   14:03 Diperbarui: 1 Maret 2023   14:07 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Bukan kebetulan saya lahir di Indonesia dari pasangan bersuku Jawa-Sunda yang muslim, maka saya berkewarganegaraan dan berkebangsaan Indonesia serta beragama Islam. Berkulit sawo matang, berambut hitam, berhidung pesek dan bertumbuh agak pendek, yang mencirikan bahwa fisik saya juga Indonesia. Jikalau saya lahir di Paris-Perancis, di New York-Amerika, di Dubai-UEA atau di Perth-Australia dengan ciri fisik tetap demikian apakah saya masih Indonesia?

Saya tidak bisa memilih dilahirkan di mana, dari orang tua yang mana dan ditumbuhkembangkan di mana? Nama saya bukan warisan tapi dipilihkan dengan titipan doa terkandung di maknanya. Agama saya bukan warisan tapi dipilihkan dengan titipan pesan agar menetap dan menguatkan keimanan serta ketakwaan dalam menjalaninya. Begitupun kewarganegaraan bukan warisan, hak pilih saya masih prematur ketika data diri dititipkan orang tua ke instansi keadministrasian kependudukan sebagai kewajiban berbangsa dan bernegara dengan harapan kelak menjadi warga negara yang berguna bagi Indonesia.

Setelah bertumbuh dan dewasa, saya menyadari bahwa nama, agama atau jiwa nasionalis setiap orang bisa bersitegang dengan situasi dan kondisi yang berada di luar kendalinya. Sehingga pada masa-masa ketegangan itu terjadi, nama dipertanyakan, agama (Tuhan) bisa dihianati dan besarnya jiwa nasionalis seorang warga negara terhadap bangsa dan negaranya diuji.

Orang bisa saja merasa lelah, salah atau kalah dengan situasi dan kondisinya sehingga memutuskan untuk berganti nama, beralih agama atau berpindah kewarganegaraan. Tetapi jika kemudian keputusan tersebut yang diambil, muncul pertanyaan, apakah seorang warga yang berganti nama, beralih agama atau berpindah kewarganegaraan akan kehilangan jiwa nasionalisnya?

Sepemahaman saya nasionalis merupakan orang yang melaksanakan atau mengimplementasikan paham nasionalisme dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Menurut kbbi.kemdikbud.go.id, nasionalis (n) pencinta nusa dan bangsa sendiri; (n) orang yang memperjuangkan kepentingan bangsanya; patriot; (a) nasional.  Sementara nasionalisme (n) paham (ajaran) untuk mencintai bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan; (n) kesadaran keanggotaan dalam suatu bangsa yang secara potensial atau aktual bersama-sama mencapai, mempertahankan, dan mengabadikan identitas, integritas, kemakmuran, dan kekuatan bangsa itu; semangat kebangsaan.   

Baca juga: Sosialaba

Saya adalah seorang raje (RAkyat JElata; rakyat biasa, bukan bangsawan, bukan hartawan atau orang kebanyakan). Bila saya punya kesempatan bertanya pada sesi tanya jawab yang dibuka Presiden Jokowi lewat facebook dan youtube sekira 5 atau 6 tahun lalu, saya akan bertanya, apa ukuran seorang warga negara disebut nasionalis?

Jika seorang warga negara sudah memenuhi ukuran nasionalis hari ini---tapi esok misalnya, namanya diganti Makar, agamanya beralih paham radikal karena terjebak doktrinisasi, atau pindah kewarganegaraan, masihkah dia nasionalis? Apakah raja dan presiden juga punya ukuran nasionalis? Bukankah berjiwa nasionalis adalah pilihan? Atau jangan-jangan nasionalis hanya titipan! Barangkali juga dianggap warisan.   

Dalam setiap program acara talk show di televisi atau konten talk show di berbagai platform media sosial yang membahas berbagai permasalahan pemerintah (bangsa dan negara), saya sering menyaksikan debat tak tuntas antara pemerintah (bangsa dan negara) dan para raja yang sesekali melibatkan raje dalam program acara atau kontennya. Tetapi raja yang saya maksud di sini adalah orang yang besar kekuasaannya atau pengaruhnya dalam suatu lingkungan, orang yang memiliki keistimewaan khusus---yang dalam program acara atau konten adalah orang-orang yang diundang sebagai eksekutif, legislatif, yudikatif, pimpinan suatu kelompok, profesi ahli, pengusaha atau pebisnis sukses, budayawan, pengamat atau pihak berwenang di bidang bahasan yang sesuai dengan tema program atau kontennya.

Setiap bahasan permasalahan pemerintah (bangsa dan negara) dalam beragam program acara atau konten yang dipublikasi, kerap didapati talk show berisi diskusi tak berujung, debat kusir tak bersolusi, masuk telinga kiri keluar kanan.

Seringkali dua kubu saling ngotot hingga nyaris adu otot. Saling cemooh, tuding, tuduh, hujat, salah-menyalahkan, klaim prestasi, tolak kegagalan atau lainnya sampai sesekali ada unjuk kekuataan atau kuasa dengan saling lapor pakai jerat hukum di luar acara atau konten. Tidak jarang ada raja yang diundang agar menjadi penengah atau penetralisir malah cenderung mendukung salah satu kubu atau turut memperkeruh jalannya talk show. Apakah semua argumentasi dengan berbagai teknik pertahanan diri yang mereka ungkapkan, didasarkan atas jiwa nasionalisnya?

Seorang budayawan kesohor, Sujiwo Tejo pada salah satu talk show di ILC pernah mengingatkan dan bahkan mengajukan permintaan tolong, "...banyak kalimat yang hancur di dunia ini. Banyak alinea-alinea yang hancur karena sudah nggak ada faktanya, antara lain demi  bangsa dan negara itu sudah hancur...Ingat demi bangsa dan negara sudah hancur. Tolong jangan ngomong itu lagi!...".

Pernyataan pengingat dan permintaan budayawan kesohor tersebut menunjukkan ketajaman analisa akan fakta yang berkembang terkait argumentasi-argumentasi para raja yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Argumentasi-argumentasi yang kerap bertolak belakang dengan nasionalisme dan adanya kecenderungan membela kepentingan lembaga, kelompok, keprofesian, usaha, bisnis atau kewenangannya.             

Indonesia adalah negara demokrasi. Jiwa nasionalis terbangun dan dibangun berlandaskan prinsip demokrasi. Suatu prinsip yang membentuk pemerintahan, bangsa dan negara berdasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari masyarakat dewasa. Demokrasi adalah pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.

Bukti normatif bahwa Indonesia adalah negara demokrasi adalah pada dasar konstitusi yaitu Undang-undang Dasar Negara Republik 1945. Dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia, semua konstitusi yang pernah berlaku menganut prinsip demokrasi. Bukti normatif dalam UUD 1945 berisi tentang kedaulatan rakyat, yang artinya kekuasaan tertinggi dalam suatu pemerintahan, bangsa dan negara ada di tangan rakyat.

Sementara bukti empiris Indonesia adalah negara demokrasi dapat dilihat dari alur sejarah politik di Indonesia yaitu pada pemerintahan masa revolusi kemerdekaan Indonesia (1945-1949), pemerintahan parlementer (1949-1959), pemerintah demokrasi terpimpin (1959-1965), pemerintahan orde baru (1965-1998), dan pemerintahan orde reformasi (1998-sekarang).

Artinya, sejauh bangsa dan negara ini berdiri sejak hari kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 hingga sekarang, proses perjalanannya diiringi prinsip demokrasi atau sistem politik demokrasi. Proses perjalanan tersebut merupakan bukti normatif dan empiris bahwa bangsa dan negara (pemerintahan) ini terselenggara atas pilihan rakyatnya, dan dijalankan dalam waktu tertentu (lima tahun). Bukti tersebut jika dikoneksikan pada bunyi kutipan seorang pendiri bangsa dan negara, Ir. Soekarno, "Kutitipkan bangsa dan negara ini kepadamu"---menimbulkan korelasi pertanyaan, apakah nasionalis raje, raja dan presiden dengan penyelenggaraan pemerintahan (bangsa dan negara) merupakan hasil pilihan, titipan atau warisan?

Bangsa dan negara Indonesia terselenggara dan diselenggarakan oleh demokrasi. Bangsa dan negara Indonesia bukan kerajaan. Karenanya bangsa dan negara Indonesia bukan warisan.  Melainkan pilihan atas hasil perjuangan rakyat dalam meraih kemerdekaan, dan penyelenggarannya juga berjalan atas pilihan rakyat yang diamanahkan (dititipkan) kepada perwakilannya lewat pemilu---dengan harapan dapat memberikan kesejahteraan, kemakmuran, keadilan, kenyamanan dan kedamaian selama periode terpilih (masa tertentu atau lima tahun), dan harusnya dikembalikan dengan pertanggungjawaban hasil lebih baik dari setiap masa tertentu  atau lima tahun sebelumnya. 

Demikianlah korelasi antara jiwa nasionalis terhadap terselenggaranya kehidupan berbangsa dan bernegara atas prinsip demokrasi dengan kutipan salah seorang pendiri bangsa dan negara yang menunjukkan bahwa penggunaan kata 'kutitipkan' sudah tepat.

Oleh karena 'kutitipkan bangsa dan negara ini kepadamu' merupakan pesan harapan yang diamanahkan (dititipkan) ke setiap generasi muda agar mempersiapkan bekal kemampuan untuk meneruskan, mempertahankan, mengelola dan memajukan bangsa dan negara Indonesia dengan segenap semangat dan cinta bangsa dan negara ketika menerimanya.

Maka bila ukuran nasionalis adalah melaksanakan demokrasi sebaik-baiknya dengan kerja keras dan usaha cerdas dalam mengemban amanah (titipan) dengan semangat dan rasa cinta berbangsa dan bernegara---dari periode masa pemerintahan sebelumnya ke masa periode pemerintahan yang akan berjalan dan kelak ke periode masa pemerintahan berikutnya, cukuplah bagi raje melengkapi jiwa nasionalisnya dengan memenuhi kewajiban dan mentaati segala peraturan perundang-undangan sebagai warga negara.  Tapi bagaimana dengan nasionalis para raja dan presiden?

Jelang pemilu 2024, ada pesan permintaan terkait nasionalisme untuk para balon (bakal calon) raja dan presiden yang kelak akan menerima titipan (amanah) pengelolaan penyelenggaraan bangsa dan negara ini. Lima permintaan itu sebagai berikut :

1. Biarkan para raje memilih dengan hati nuraninya atas dasar semangat dan cinta dengan melihat gagasan, rencana program, visi dan misi sang balon

2. Hentikan saling mengklaim prestasi atau saling tunjuk kegagalan suatu masa periode pemerintahan tertentu sebab yang dilepaskan atau akan diterima adalah titipan yang sama-sama harus dijaga, dirawat, diperbaiki dan disempurnakan.

3. Sudahi pengerahan buzzer, influencer atau yang setara dengannya, yang justru memiliki indikasi memecah belah kedamaian berpolitik.

4. Hadirkan sebanyak-banyaknya netralisator atau netralizen demi terciptanya ketentraman berpolitik.

5. Tunjukkan jiwa nasionalis dengan keberanian berkomitmen untuk meraih pencapaian KVI (Key Value Indicator), bukan sekadar KPI (Key Performance Indicator). 

Atas lima permintaan ini, apakah para balon raja dan presiden 2024 berani menerima titipan pesan nasionalis ini?  

Referensi

Putri, Arum Sutrisni. 2020. "Bukti Normatif dan Empirik Indonesia Negara Demokrasi". https://www.kompas.com/skola/read/2020/02/12/130000069/bukti-normatif-dan-empirik-indonesia-negara-demokrasi?page=all, diakses pada 25 Oktober 2022 pukul 17.12

Reload, Talk Show tvOne. 2018. "Pilpres 2019: Kembali Mega VS SBY | Indonesia Lawyers Club 31/7/2018 Youtube, diunggah oleh Talk Show tvOne Reload, 2018, https://www.youtube.com/watch?v=VWe9-SLJeoo

Kamus. 2022. Pada KBBI Daring. Diambil 24 Oktober 2022, dari kbbi.kemdikbud.go.id/entri/kamus

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun