Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Soliderit

7 Desember 2022   12:33 Diperbarui: 17 April 2023   17:31 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seribu teman kurang satu musuh terlalu banyak. Pepatah yang satu ini mengarahkan kita untuk hidup bersosialisasi. Menganjurkan bahkan boleh jadi meminta kita untuk mencari teman sebanyak-banyaknya dan menjauhi permusuhan sebisa-bisanya. Tapi apakah dengan memiliki banyak teman hidup kita akan baik-baik saja atau bahkan jadi lebih baik?

Ali bin Abi Thalib, khalifah keempat dari Khulafa Ar-Rasyidin pernah mengungkap nasehat terkait pertemanan. Ia mengatakan, seorang teman tidak bisa disebut sebagai teman sampai ia diuji dalam tiga kesempatan: 1) pada saat kamu membutuhkannya, 2) bagaimana sikap yang ia tunjukkan di belakangmu, 3) bagaimana sikapnya setelah kematianmu.

Sengsara Membawa Nikmat, sebuah novel sastra karya Tulis Sutan Sati yang diterbitkan pertama kali oleh Balai Pustaka pada tahun 1929, hendak menyampaikan bahwa jika penderitaan itu dapat dijalani dan diatasi dengan tabah, kita akan mendapatkan kenikmatan pada akhirnya. Apakah maksud dari novel tersebut ada korelasinya dengan pertemanan?

Tidak. Tapi alur cerita yang hendak disampaikan oleh isi novel merupakan gambaran perjalanan hidup yang tidak jauh berbeda dengan pertemanan. Akhir ceritanya menjadi hikmah atau pesan, yang diharapkan sama dialami oleh setiap jalinan pertemanan. Bahwa dalam menjalin hubungan pertemanan pasti ada sengsara; derita, duka, kesusahan, kesedihan, air mata yang dilalui bersama, dan berharap akhirnya merasakan nikmat; bahagia, suka, kesenangan, kegembiraan atau tawa.

Kesamaan yang dapat menarikan kesimpulan bahwa pembuktian dari ujian pertemanan selaras dengan alur cerita pada ujungnya, yakni sengsara membawa nikmat. Bahwa nikmat; bahagia, suka, senang, gembira atau tawa merupakan petunjuk yang menjadi bagian dari lulusnya ujian pertemanan.

Namun pernyataan tersebut tentu belum jadi kesimpulan akhir sebelum kita mengetahui proses terjadinya. Sebab nikmat; bahagia, suka, senang, gembira dan tawa tidak selalu merepresentasikan sebagai rasa yang dihadirkan atau dihasilkan oleh perjuangan atau atas upaya  perbuatan baik dan benar. Rasa itu bisa tercipta atau berasal dari sesuatu yang sebaliknya.

Punya lebih dari seribu teman adalah anugerah bila tidak satu pun dari mereka memberikan dampak buruk kepada diri kita. Terlebih apabila sebagian besar darinya adalah teman yang jujur dan dapat dipercaya, memberi kenyamanan dan pengaruh baik, pendengar yang baik, bisa diandalkan, suportif, memiliki solidaritas tinggi dan lainnya.

Seribu teman tak cukup terutama jika tak satu pun toxic. Namun satu saja teman toxic apalagi soliderit,  bayangan kesuraman masa depan sudah terpampang di sudut mata. Apa itu teman toxic atau toxic friendship? Apa pula soliderit? 

Menurut Prof. Victoria Andrea Munoz Serra, toxic friendship adalah mereka yang mengatakan jadi teman Anda, tetapi tindakannya akan menimbulkan rasa sakit karena perilaku mereka bukanlah yang Anda harapkan dari sebuah persahabatan. Singkatnya, toxic friendship adalah 'persahabatan yang beracun'.

Sebagian besar kita barangkali bisa menghindar, menjauhi atau membentengi diri dengan segenap daya yang dimiliki ketika telah telanjur punya teman toxic dalam lingkaran pertemanan. Lebih hebat lagi bila kita mampu memutus teman toxic dari rantai pertemanan dalam sekali keputusan. Tapi implementasinya tentu saja tidak semudah yang diperkirakan.

Sementara itu, diperkenalkan oleh Emile Durkheim pada 1858 sebagai konsep kesetiakawanan,  solidaritas adalah suatu hubungan antara individu atau kelompok yang terikat dengan perasaan moral dan kepercayaan yang dianut bersama dan diperkuat oleh pengalaman emosional bersama. Solidaritas juga bermakna sifat (perasaan) solider; sifat satu rasa (senasib dan sebagainya); perasaan setia kawan.

Sejauh ini kita mengenal solidaritas dalam lingkaran atau jalinan pertemanan sebagai istilah yang padanya melekat arti, sifat, sikap dan perilaku positif. Perasaan setiakawan, sifat satu rasa, senasib, seperjuangan, sepenanggungan, setujuan dan lainnya yang setara dengan itu, dipandang mewakili kesamaan-kesamaan rasa yang layak dipertahankan atau diperjuangkan dalam lingkup suatu hubungan pertemanan.

Selama masih dalam konteks moralitas, arti, sifat, sikap atau perilaku yang telah melekat padanya akan tetap seperti itu, bernilai positif. Tetapi lain jadinya, ketika pertemanan mulai diracuni oleh teman toxic. Lebih parah ketika diracuni dengan menggunakan konsep soliderit. Sebab toksisitas yang terkandung dalam soliderit memiliki daya rusak tinggi.

Ketika saya berusia remaja, problematika pergaulan pada masa itu tidak jauh berbeda dengan masa sekarang. Hubungan pertemanan di lingkungan tempat tinggal saya diwarnai gejolak kawula muda, yang lagi-lagi tidak jauh berbeda dengan generasi remaja di tiap masa. Semua tidak lepas dari masalah kenalan remaja. Perkelahian, tawuran, narkoba, pornografi, judi dan masalah sosial remaja lainnya turut mengintai sosok-sosok remaja yang diharapkan menjadi generus penerus bangsa.

Suatu malam pada sebuah kesempatan kongko bersama, seorang teman saya bercerita. Ia menuturkan bahwa ada seorang temannya membuat pengakuan sekaligus permintaan maaf. Sang teman mengaku bahwa keributan yang mengakibatkan pengeroyokan yang sering kali terjadi di wilayahnya pada suatu masa tertentu adalah murni akibat ulahnya.

Sang teman memiliki postur tubuh kurus dan pendek. Ia mendeskripsikan dirinya sebagai objek yang senantiasa mendapat perisakan. Pada masa tertentu itu ia kerap mengundang atau mengajak teman-temannya untuk ikut mengeroyok seseorang yang disebutnya telah melecehkan, mengejek, mencari perkara, menghina atau lainnya sampai orang tersebut babak belur dan kadang masuk rumah sakit.

Padahal nyatanya perbuatan itu hanya kejahilan atau keisengan semata. Dirinyalah yang selalu memulai perkara dengan cara menginjak kaki, memukul kepala dengan telapak tangan, memelototi wajah, menimpuk kepala orang lain dengan batu kerikil atau lainnya, yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa alasan apapun selain untuk memancing keributan. Semua itu dilalukan dengan alasan untuk bersenang-senang selain menguji kesetiakawanan atau seberapa besar nyali teman-teman kongkonya.

Ulah sang teman baru terhenti ketika mendapati seorang korbannya merupakan anggota keluarga dari seorang aparat berpangkat, yang memberikan dua pilihan: memberikan kompensasi ganti rugi atau dijebloskan ke penjara. Tetapi yang jadi masalah, teman-teman lain yang ikut menganiaya juga terseret tuntutan yang sama. Di kasus ini, soliderit terbukti mengantarkan jalinan pertemanan ke jurang masalah.  

Melangkah ke tahun-tahun berikutnya, lingkungan tempat tinggal saya sempat diramaikan oleh peredaran narkoba. Aksi para pengedar seperti tak kenal takut. Mereka mengedarkan barang haram itu dengan terbuka. Tingginya mobilitas peredaran turut meningkatkan pertumbuhan pemakai atau penggunanya. Hal itu sekaligus berpengaruh pada hampir semua pertemanan yang terjalin.

Dalam masa-masa itu, seorang teman toxic yang sudah adiksi akan menunjukkan solideritnya dengan mengajak teman lainnya, terutama teman yang sedang dilanda masalah. Biasanya teman toxic mengawalinya dengan bujuk rayu lewat kata-kata manis berdalih untuk melupakan masalah, demi menghargai pertemanan dan sebagainya.

Kemudian memberikan barang untuk dikonsumsi secara cuma-cuma. Lama-kelamaan mulai diminta patungan. Setelah ikut adiksi tentu saja ujung-ujungnya beli sendiri dan diminta mentraktir sesekali. Risikonya bukan saja merusak badan, mental, tapi juga masa depan. Sebab orang yang adiksi hampir tidak punya pilihan lain selain harus mengonsumsi ketika sakau. Jika bukan dari kalangan mampu maka risikonya adalah berutang, berbuat kriminal (mencuri, merampok, menodong, menjambret, menjual barang milik keluarga dan sebagainya) atau turut serta mengedarkan.  Soliderit lagi-lagi terbukti menyesatkan.      

Seorang teman lain pernah berkisah. Suatu hari ia diajak ke sebuah klub malam atau diskotik oleh temannya lalu disuguhi  minum-minuman beralkohol sepuasnya, ditawari wanita-wanita cantik sesukanya, disodori narkoba sekuatnya atau bermain judi jenis apapun di dalamnya. Semua gratis tanpa keluar uang sedikitpun.

Teman yang mengajak dirinya akan menanggung semua pembayaran. Tetapi ia tahu dalam pergaulan kesehariannya, untuk pengeluaran saat kongko bareng, temannya ini tipe nahan. Di akhir cerita ia bergumam, "Kok ada orang seperti itu ya. Pelit tapi royal untuk pengeluaran yang begitu-begituan"

Tipe teman jenis demikian merupakan teman toxic sekaligus soliderit. Teman yang menunjukkan solideritnya, cenderung mengajak kita untuk merasakan kenikmatan yang hakikinya hanya sesaat tapi sengsara atau deritanya tiada akhir. Cenderung tidak ingin sendiri dalam sesat jalan hidupnya, menarik sebanyak-banyaknya teman untuk berada di jalan yang sama agar merasakan apa yang dirasakannya.

Saat terjerat kasus hukum ia tak berkenan dijebloskan ke bui sendirian. Sederhananya, ia tak ingin sengsara atau menderita sendiri. Dalam konteks religi, ia tidak mau berkubang dosa dan masuk neraka sendirian.  

Soliderit adalah suatu hubungan antara individu atau kelompok yang terikat tanpa perasaan moral, dan kepercayaan yang dianut diterapkan hanya dalam kebersamaan atau kelompoknya saja serta diperkuat oleh kebersamaan yang emosional. Sifat satu rasa, senasib seperjuangan, sepenanggungan, setujuan, perasaan setia kawan dan lainnya tidak berangkat dari kebersamaan yang memiliki nilai positif. Singkatnya, "soliderit adalah solidaritas versi negatif"   

Merujuk novel sastra berjudul Sengsara Membawa Nikmat karya Tulis Sutan Sati, soliderit cenderung mengarahkan pertemanan kepada judul sebaliknya, yaitu nikmat membawa sengsara. Maka soliderit diambil dari padanan kata sengsara, yaitu derita. Soliderit; solidaritas membawa derita.

Akhirnya, tinggal bagaimana kita cerdas memilih mana yang hendak direncanakan dan dituju untuk masa depan. Tentunya dengan catatan, tak ada pilihan nikmat membawa nikmat.   

Referensi  

Basmatulhana, Hanindita. 2022. "Pengertian Solidaritas, Prinsip dan Bentuknya", https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-6167971/pengertian-solidaritas-prinsip-dan-bentuknya, diakses pada tanggal 6 Desember 2022 pukul

Endut, Mbak. 2020. "5 Quotes Ali Bin Abi Thalib yang Ajarkan Arti Pertemanan", https://www.idntimes.com/life/inspiration/nurkhuzaeni-azis/pertemanan-ali-bin-abi-thalib-c1c2?page=all, diakses pada tanggal 5 Desember 2022 pukul 17.41

Kamus. 2022. Pada KBBI Daring. Diakses pada tanggal 6 Desember 2022, dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/solidaritas

Reza, Iredho Fani. 2020. "Toxic Friendship in Islamic Psychology Perspective", https://psikologi.radenfatah.ac.id/berita/detail/toxic-friendship-in-islamic-psychology-perspective, diakses pada tanggal 6 Desember 2022 pukul

Sengsara Membawa Nikmat. Ensiklopedia. Ensiklopedia Sastra Indonesia. 2022. Web. 6 Desember 2022, http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Sengsara_Membawa_Nikmat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun