Mohon tunggu...
Sunan Amiruddin D Falah
Sunan Amiruddin D Falah Mohon Tunggu... Administrasi - Staf Administrasi

NEOLOGISME

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Soliderit

7 Desember 2022   12:33 Diperbarui: 17 April 2023   17:31 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejauh ini kita mengenal solidaritas dalam lingkaran atau jalinan pertemanan sebagai istilah yang padanya melekat arti, sifat, sikap dan perilaku positif. Perasaan setiakawan, sifat satu rasa, senasib, seperjuangan, sepenanggungan, setujuan dan lainnya yang setara dengan itu, dipandang mewakili kesamaan-kesamaan rasa yang layak dipertahankan atau diperjuangkan dalam lingkup suatu hubungan pertemanan.

Selama masih dalam konteks moralitas, arti, sifat, sikap atau perilaku yang telah melekat padanya akan tetap seperti itu, bernilai positif. Tetapi lain jadinya, ketika pertemanan mulai diracuni oleh teman toxic. Lebih parah ketika diracuni dengan menggunakan konsep soliderit. Sebab toksisitas yang terkandung dalam soliderit memiliki daya rusak tinggi.

Ketika saya berusia remaja, problematika pergaulan pada masa itu tidak jauh berbeda dengan masa sekarang. Hubungan pertemanan di lingkungan tempat tinggal saya diwarnai gejolak kawula muda, yang lagi-lagi tidak jauh berbeda dengan generasi remaja di tiap masa. Semua tidak lepas dari masalah kenalan remaja. Perkelahian, tawuran, narkoba, pornografi, judi dan masalah sosial remaja lainnya turut mengintai sosok-sosok remaja yang diharapkan menjadi generus penerus bangsa.

Suatu malam pada sebuah kesempatan kongko bersama, seorang teman saya bercerita. Ia menuturkan bahwa ada seorang temannya membuat pengakuan sekaligus permintaan maaf. Sang teman mengaku bahwa keributan yang mengakibatkan pengeroyokan yang sering kali terjadi di wilayahnya pada suatu masa tertentu adalah murni akibat ulahnya.

Sang teman memiliki postur tubuh kurus dan pendek. Ia mendeskripsikan dirinya sebagai objek yang senantiasa mendapat perisakan. Pada masa tertentu itu ia kerap mengundang atau mengajak teman-temannya untuk ikut mengeroyok seseorang yang disebutnya telah melecehkan, mengejek, mencari perkara, menghina atau lainnya sampai orang tersebut babak belur dan kadang masuk rumah sakit.

Padahal nyatanya perbuatan itu hanya kejahilan atau keisengan semata. Dirinyalah yang selalu memulai perkara dengan cara menginjak kaki, memukul kepala dengan telapak tangan, memelototi wajah, menimpuk kepala orang lain dengan batu kerikil atau lainnya, yang dilakukan dengan sengaja dan tanpa alasan apapun selain untuk memancing keributan. Semua itu dilalukan dengan alasan untuk bersenang-senang selain menguji kesetiakawanan atau seberapa besar nyali teman-teman kongkonya.

Ulah sang teman baru terhenti ketika mendapati seorang korbannya merupakan anggota keluarga dari seorang aparat berpangkat, yang memberikan dua pilihan: memberikan kompensasi ganti rugi atau dijebloskan ke penjara. Tetapi yang jadi masalah, teman-teman lain yang ikut menganiaya juga terseret tuntutan yang sama. Di kasus ini, soliderit terbukti mengantarkan jalinan pertemanan ke jurang masalah.  

Melangkah ke tahun-tahun berikutnya, lingkungan tempat tinggal saya sempat diramaikan oleh peredaran narkoba. Aksi para pengedar seperti tak kenal takut. Mereka mengedarkan barang haram itu dengan terbuka. Tingginya mobilitas peredaran turut meningkatkan pertumbuhan pemakai atau penggunanya. Hal itu sekaligus berpengaruh pada hampir semua pertemanan yang terjalin.

Dalam masa-masa itu, seorang teman toxic yang sudah adiksi akan menunjukkan solideritnya dengan mengajak teman lainnya, terutama teman yang sedang dilanda masalah. Biasanya teman toxic mengawalinya dengan bujuk rayu lewat kata-kata manis berdalih untuk melupakan masalah, demi menghargai pertemanan dan sebagainya.

Kemudian memberikan barang untuk dikonsumsi secara cuma-cuma. Lama-kelamaan mulai diminta patungan. Setelah ikut adiksi tentu saja ujung-ujungnya beli sendiri dan diminta mentraktir sesekali. Risikonya bukan saja merusak badan, mental, tapi juga masa depan. Sebab orang yang adiksi hampir tidak punya pilihan lain selain harus mengonsumsi ketika sakau. Jika bukan dari kalangan mampu maka risikonya adalah berutang, berbuat kriminal (mencuri, merampok, menodong, menjambret, menjual barang milik keluarga dan sebagainya) atau turut serta mengedarkan.  Soliderit lagi-lagi terbukti menyesatkan.      

Seorang teman lain pernah berkisah. Suatu hari ia diajak ke sebuah klub malam atau diskotik oleh temannya lalu disuguhi  minum-minuman beralkohol sepuasnya, ditawari wanita-wanita cantik sesukanya, disodori narkoba sekuatnya atau bermain judi jenis apapun di dalamnya. Semua gratis tanpa keluar uang sedikitpun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun