Mohon tunggu...
Thea Arabella
Thea Arabella Mohon Tunggu... profesional -

I'm just a Summiter.

Selanjutnya

Tutup

Money

Surya Ibrahim Dompas, Permata yang Hilang

30 Januari 2012   11:27 Diperbarui: 12 Januari 2019   08:08 2072
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak kelas 1 SMP, Surya sudah mengenal olahraga bela diri, ia mengawalinya dengan bela diri Judo, bakat bela diri sudah terlihat sejak pertama kali bergabung, sehingga dia menjadi anggota Klub JUDO RBC Jakarta Raya (Remaja Bhayangkara Club). Setelah mengikuti beberapa kali pertandingan dan sempat memperoleh Juara Yunior di kelasnya yaitu 60 kg kebawah, Surya menjadi atlet Training Centre yang dapat berlatih di banyak tempat, termasuk berlatih di Klub Judo Cempaka Putih. Surya pernah juga mengikuti Pemusatan Latihan Yunior di Ciloto – Jawa Barat dan Latih Tanding di Taiwan selama kurang lebih satu bulan atas biaya Persatuan Judo Seluruh Indonesia (PJSI), yang dilakukannya pada saat liburan SMA kenaikan kelas 2 ke kelas 3 pada bulan Juni tahun 1989. Walaupun sedang berlatih bela diri di Ciloto – Jawa Barat, Surya masih tetap taat menjalankan ibadah puasa.“Prestasi tertinggi seingat saya adalah Juara 1 Yunior Nasional dan Juara 1 DKI Jakarta.” ujar Norick, saudara sepupu yang memperkenalkan olahraga bela diri pada Surya. Pejudo idola Surya adalah Yasuhiro Yamashita, berasal dari Jepang. Qoute yang bisa menggambarkan perilaku Surya adalah, Judo is training not only a person’s body, but his heart and his feelings. A really strong person never shows that kind of behavior”. Atau mungkin dalam kalimat Bahasa Indonesia berbunyi, “Judo adalah latihan bukan hanya untuk tubuh seseorang, tapi hati dan perasaannya. Seseorang yang benar-benar kuat tidak pernah menunjukkan perilaku seperti itu”. Di antara teman-temannya, Surya mendapat julukan ‘banteng’, terlihat dari perawakannya yang agak lebih besar dibandingkan anak seusianya dan kekar karena giat berlatih bela diri. Memang bakat Surya ada pada olahraga bela diri karena dalam olahraga ketangkasan dia tidak berbakat sama sekali, berikut penuturan Norick sambil mengenang kembali saat-saat menyenangkan bersama Surya, “Kalau diajak main volley, dia memalukan, tangannya tidak bisa rapat kalau passing…. Basket juga tidak bisa, kalau mau merebut bola, bolanya dibawa kabur.. Bermain bola plastik, dia tidak bisa menendang bola dengan benar, senengannya nabrak orang terus, dia pantas main rugby kayanya.. Apalagi kalau jadi kiper, seringnya yang ditangkap malah orang yang mau nyetak gol.. Pokonya lucu deh.. Orang gak marah sama dia karena memang melakukannya dengan gaya yang tidak mengesalkan..”. Menurut penuturan Olvida, teman seperkumpulan Judo dengan Surya, “Surya adalah orang yang mempunyai disiplin tinggi dan fokus pada kegiatan yang dijalaninya, dia tidak pernah setengah-setengah sehingga banyak mendapatkan prestasi. Dia salah satu atlet yang diandalkan dalam setiap event kompetisi, mulai dari Kejurda (Kejuaraan tingkat daerah), Kejurnas (Kejuaraan tingkat nasional), PON (Pekan Olahraga Nasional) sampai event International lainnya. Makanya pada saat Surya hilang, olahraga Indonesia khususnya Judo sangat terkejut dan kehilangan satu atlet yang diandalkan untuk mengharum nama Bangsa. Di usianya yang masih muda, sudah banyak prestasi yang dia ukir baik untuk kebanggaan dia sendiri, keluarga, club, daerah dan tentu saja untuk Tanah Air kita…”. Di dalam keluarga, Surya lebih dekat dengan adik kandungnya yang paling muda, Adzani atau lebih akrab dipanggil Sani dibandingkan dengan saudara kandung lainnya, mereka berbeda 5 tahun. Sedari kecil, Surya dan Sani mendapatkan didikan menjadi individu yang tidak manja, berani berbuat, berani bertanggung jawab.. Bisa dikatakan Surya bukan berasal dari keluarga yang mapan dalam banyak sisi, sehingga kepribadian seorang Surya tumbuh dalam suatu proses yang penuh dengan usaha untuk menentukan bagaimana bersikap dalam menjalani hidup, tidak ada yang membimbing atau mensupport dirinya.. Berikut gambaran yang dapat dituturkan oleh Sani, “Surya menang emas di kejuaraan tapi tidak mendapatkan apresiasi sebagaimana seorang juara, dia menang emas lho.. Surya seperti mau menyalurkan kemarahan-kemarahan dia pada semua hal yang terjadi ke hal-hal yang positif, seperti olahraga bela diri dan naik gunung..”.

Surya di SMA N 82 Jakarta…

Semasa SMA, Surya aktif dalam kegiatan organisasi antara lain, menjadi anggota Pencinta Alam, anggota aktif seksi Majalah Dinding. Dia sering membuat puisi dan komik di Majalah Dinding SMA N 82 dengan nama panggung “Mount Boy” dan pernah juga menjadi Ketua Keamanan Sekolah dalam struktur organisasi OSIS SMA N 82 tahun 1989-1990. Sebagai murid, Surya dikenal cukup disayang oleh guru-gurunya karena dia tidak pernah menganggap remeh mereka. Guru kesayangannya adalah Bu Aisyah (Guru Matematika) dan Bu Yenita (Guru Drama). Di SMA juga Surya kembali mengikuti organisasi bela diri, kali ini ia bergabung dalam perkumpulan Merpati Putih. Di kalangan siswa-siswi SMA, Surya lumayan dikenal sebagai laki-laki yang sering berusaha mencuri perhatian pada siswi juniornya, tetapi tidak ditekuni secara serius. Dia melakukannya semata-mata hanya karena tidak mempunyai saudara perempuan. Banyak yang mengaku dekat dengannya tetapi Surya hanya menganggapnya sebagai kakak atau adik, tidak hanya kepada perempuan tetapi laki-laki juga dia perlakukan demikian. Rutinitas Surya saat SMA antara lain menjemput adiknya, Sani saat pulang sekolah, pada waktu itu Sani masih bersekolah di SMP N XII – Jakarta. “Kalau saya pulang, biasanya Surya jemput saya.. Kalau dia kebetulan lagi naik gunung, saya dijemput sama mama.. Pernah waktu dia jemput saya, lagi jalan mau naik bus di blok M, kebiasaan Surya adalah dia selalu gandeng saya kalau jalan berdua, tiba-tiba ada 9 orang anak SMA lain kelilingin Surya ngajak ribut, “Anak mana niy? Anak mana?”, Surya tidak mau bilang dia anak mana, padahal setau saya 82 saat itu tidak ada masalah dengan sekolah lain, dia hanya minta saya agak menjauh sambil berkata, “De.. Bentar yah..” mendadak Surya mengeluarkan jurus-jurus bela diri yang buat anak-anak SMA itu cukup takut, sambil tanya “Mau sendiri apa rame-rame?”, setelah mereka lumayan takut, Surya bilang, dia anak 82.. Oke, pada saat itu tidak terjadi keributan.. tapi pada saat mau naik bus, Surya masih merasa ganjil, “Bentar De, gw masih belum puas..”, eh anak-anak SMA yang tadi dikejar, malah digodain, “Ayo dong.. tadi kan mau ribut..”, yang ada mereka jadinya temenan..”. Sifat yang menonjol dari Surya adalah solidaritasnya yang tinggi dan sangat peduli dengan teman-temannya, baik 1 angkatan maupun angkatan diatas dan dibawahnya. Sebagai junior yang berada 2 tahun dibawah Surya, Boy Syabana (Bayu Buana) menuturkan, “Surya anaknya tidak pernah merasa kalau dia senior, dia menghormati dan menghargai rekan-rekannya, bahkan kepada juniornya juga dia perlakukan seperti itu.. Dia salah satu senior yang sangat saya segani..”. Berikut juga penuturan Norick, sebagai sepupu terdekat, “Pada prinsipnya, Surya tidak menyukai One Day (perploncoan terhadap adik kelas), bahkan dia menentang adanya One Day. Surya sampai menantang saya untuk sama-sama berkelahi dengan sekolahan lain daripada One Day adik kelas..”.

Surya dengan dunia Pencinta Alam..

Sejak kelas 1 SMA, Surya memutuskan untuk bergabung dalam WerdiBhuwana (WB), organisasi Pencinta Alam di SMA N 82 Jakarta yang mempunyai arti “Melestarikan Kehidupan di Bumi, Gunung dan Hutan”. Berdiri sejak 26 April 1987, pengukuhan organisasi WerdiBhuwana sendiri dilakukan pada pendakian Tim Tujuh di Puncak Gunung Ciremai – Jawa Barat. Surya menjadi angkatan ke 3 (1990) di WerdiBhuwana dan mempunyai nama angkatan Tapak Rimba, yang mempunyai arti Jejak Rimba, diketuai oleh Ardan Ardiansyah. Motivasi Surya bergabung dalam organisasi Pencinta Alam pada saat itu, selain ia mengidolakan Heru Banu Wahono (Putra Rimba) – yang merupakan senior 2 tahun diatasnya dan salah satu pendiri WerdiBhuwana -, dia menyukai unsur dari petualang itu sendiri, test to the limit. Selama mengikuti Pendidikan dan Latihan Pencinta Alam, Surya dibekali berbagai pengetahuan dasar agar dapat meminimalkan resiko-resiko yang mungkin terjadi di alam bebas, antara lain Navigasi Darat, Evacuation Search And Rescue, Survival di Alam Bebas, Pertolongan Pertama Pada Kecelakaan, Tali Temali, Mountaineering, P2M – Perlengkapan, Perbekalan dan Makanan. Fisik dan mental juga ditempa disana, ditambah dengan pengalaman Surya mengikuti banyak pertandingan bela diri sekaligus meraih gelar juara di kelasnya, sepertinya untuk kesiapan fisik dan mental hampir sudah tidak diragukan lagi. Sifat Surya yang paling membekas adalah dia sangat memegang teguh prinsipnya, tidak ada yang dapat memerintah atau mengatur dirinya kecuali keluarga dan teman terdekatnya,“Ngimpi kalo teman seangkatan atau juniornya mau ngatur-ngatur dia, Surya itu gak bisa diatur anaknya..” tandas Pusakawanto (Werdi Paksi), anggota WB 1 tahun di atas Surya. Dijelaskan kembali oleh Norick, saudara sepupu Surya, “Itu memang sudah prinsipnya Surya, keras, tidak mau nurut kalau orang tersebut tidak bisa menjadi panutan yang baik.. Bagus, tetapi dia menjalankan prinsipnya dalam tingkat toleransi yang sangat sulit”. Dan ditambahkan juga oleh adik kandung Surya, Kakak saya itu.. dia akan melakukan sesuatu kalau dia yakin bisa, dan memang dia bisa. Makanya kebanyakan orang mau nasihatin dia juga gak didengar karena sudah tahu kalau Surya udah yakin bisa, dia akan melakukannya… Dia pernah free climbing di wall 82, dia yakin bisa memanjat sampai atas tanpa pengaman sama sekali (wall climbing setinggi 23 meter dengan horizontal overhang sekitar 2 meter sebelum top), pada saat sudah sampai top, dia melambai-lambai kebawah dengan senangnya sedangkan semua orang yang menyaksikan dia manjat sudah ngeri takut dia jatuh.. tapi itulah kakak saya..”. Pada libur kenaikan kelas 1 ke kelas 2, WB mengadakan kegiatan Pendakian Pencar, dimana hampir seluruh anggota WB secara serentak berpencar untuk mendaki gunung di daerah Sumatera, Jawa dan Lombok. Gunung yang masuk dalam daftar antara lain, Kerinci di Jambi, Rinjani di Lombok – NTB, Sundoro di Jawa Tengah, Ciremai di Cirebon – Jawa Barat dan Semeru di Jawa Timur. Surya mendaki Gunung Rinjani bersama Pusakawanto (Werdi Paksi), Baharudin (Werdi Paksi) dan Rudi (simpatisan WB dan tergabung dalam Merpati Putih). Gunung Rinjani, gunung berapi tertinggi kedua di Indonesia yang terletak di Lombok – Nusa Tenggara Barat, merupakan perwakilan tipe ekosistem hutan hujan pegunungan rendah hingga pegunungan tinggi dan savana di Nusa Tenggara. Jalur menuju puncak Rinjani hampir menyerupai bulan sabit, dimana sebelumnya pendaki harus melalui jalur yang didominasi oleh batuan kerikil sampai butiran pasir dan kemiringan jalur hampir 50º sehingga agak sedikit menyulitkan pendaki untuk berdiri tegak. Pemandangan yang tidak asing terlihat dari puncak Rinjani adalah Danau Segara Anakan, yang merupakan Danau di ketinggian 2.010 mdpl dan Gunung Baru Jari dengan ketinggian 2.376 mdpl. Tingkat kesulitan pada gunung ini beraneka ragam karena hampir semua jenis jalur terdapat disini, mulai dari padang Savana yang luas, jalur tanah, batuan kerikil hingga berpasir dalam perjalanan dari dan menuju puncak Rinjani. Surya memilih Gunung Rinjani karena menurutnya, Gunung Rinjani adalah gunung tertinggi dalam ekspedisi Pendakian Pencar, sehingga ia harus kesana. Dilihat dari ketinggian diatas permukaan laut, Kerinci adalah gunung tertinggi dalam Pendakian Pencar tetapi Surya mengambil kesimpulan bahwa tinggi gunung tersebut diambil dari seberapa jauh ia akan mendaki. Ketinggian desa Kresik Tuo sebagai desa terakhir di Gunung Kerinci berada pada ketinggian sekitar 1.500 mdpl dan puncak tertinggi berada pada 3.805 mdpl, jadi pendakian akan menempuh ketinggian sekitar 2.305 meter, sedangkan kaki Gunung Rinjani dengan desa Sembalun sebagai desa terakhir berada pada ketinggian sekitar 1.300 mdpl dan puncak tertingginya berada pada 3.726 mdpl, jadi pendakian akan menempuh ketinggian 2.426 meter. Kejadian selama pendakian yang membuat Pusakawanto kagum dengan fisik Surya salah satunya adalah “Waktu dalam perjalanan menuju Plawangan Sembalun, Surya udah jauh di depan, dia kayanya udah sampe di Plawangan.. Gw di belakang, udah cape.. Surya teriak nanyain gw dimana, gak lama Surya turun, dia turun sambil lari, ngambil tas yang gw pake, terus jalan lagi ke atas.. Gw aja yang udah gak bawa tas, masih gak bisa ngimbangin dia.. Fisik Surya memang luar biasa..”. Program lainnya sudah disusun, antara lain akan diadakannya Pendakian Bersama WerdiBhuwana ke Gunung Gede – Jawa Barat pada bulan November 1989. Tepatnya 2 minggu sebelum Ujian Tengah Semester, pada saat itu Surya berada di kelas III A12 (Setara dengan kelas III IPA2). Pendakian diikuti 17 orang, antara lain Ardan Ardiansyah (Tapak Rimba), Hendra Utama (Wana Padri), Hary Judianto (Wana Padri), Surya Ibrahim Dompas (Tapak Rimba), Boy Syabana (Bayu Buana), Alm. Julini (Tapak Rimba) dan 11 anggota WerdiBhuwana lainnya. Pendakian Gede ini juga merupakan janji Surya kepada angkatan kelas 1 yang baru saja dilantik pada akhir Oktober 1989, angkatan Bayu Buana 1992. Berikut penuturan Boy Syabana (Bayu Buana) mengenai pendakian ke Gede, Surya minta maaf, dia tidak bisa ikut dalam acara pelantikan WB angkatan gw, karena kebetulan tanggalnya bentrok dengan acara pelantikan keamanan, dia ketua keamanan saat itu dan pas pelantikannya juga berbarengan dengan proses regenerasi, Hary Judianto menggantikan Surya jadi ketua keamanan untuk periode 1990-1991.. Tapi Surya janji akan ajak angkatan gw naik gunung, dan dia menepati janjinya…”. Gunung Gede berada di kawasan Taman Nasional Gunung Gede Pangrango – Cianjur, Jawa Barat, merupakan gunung dengan 2 puncak tertinggi dan masing-masing didampingi oleh alun-alun luas yang dipenuhi oleh hamparan padang bunga edelweiss. Salah satu puncak tertingginya, Gunung Gede dengan ketinggian 2.958 mpdl mempunyai alun-alun yang dinamakan Surya Kencana pada ketinggian 2.750 mdpl dengan luas hampir sekitar 50 hektar. Pendakian dapat dilakukan melalui jalur Gunung Putri, Cibodas dan Salabintana. Jalur yang sering dilewati oleh pendaki adalah jalur Gunung Putri dan Cibodas. Jalur Gunung Putri memiliki karakteristik terjal hampir 45º tetapi lama perjalanan naik dari Pos Pendaftaran hingga puncak Gede dapat ditempuh hanya dalam waktu 5-6 jam dan perjalanan turun dapat ditempuh dalam waktu 2-3 jam. Lain dengan jalur Cibodas, yang mempunyai tingkat kesulitan lebih rendah karena tidak terlalu terjal tetapi jarak tempuh dari Pos Pendaftaran menuju Puncak Gede bisa mencapai 8-9 jam dan perjalanan turun bisa ditempuh selama 4-5 jam.

25 November 1989

Semua anggota tim pendakian sudah berkumpul di SMA N 82 Jakarta dan sebelum memulai perjalanan, diawali dengan doa, Surya yang memimpin doa untuk keselamatan selama perjalanan. Ketika sudah berangkat dari sekolah sekitar magrib di kawasan Blok M, Surya yang menjadi bagian dokumentasi pada saat itu, tidak mempunyai kamera, sehingga ia meminta tim untuk tetap melanjutkan perjalanan ke Gunung Gede sementara ia akan meminjam kamera Norick, sepupunya yang tinggal tidak begitu jauh dari Blok M. Saat berada di tempat Norick, Surya masih berusaha mengajak Norick untuk ikut dalam pendakian, sejak pagi di sekolah Surya sudah mengajaknya tetapi karena keadaan yang tidak memungkinkan, Norick hanya meminjamkan kameranya dan pada saat itu Surya berjanji, bahwa ini adalah pendakian terakhirnya karena ia ingin fokus belajar untuk Ujian Akhir Semester di sekolah. Rencana awal pendakian akan dimulai dari jalur Cibodas dan akan turun melalui jalur Gunung Putri. Tidak ada rencana untuk bermalam di gunung, sehingga perlengkapan yang dibawa bisa dikatakan minim. Jam 22.00 tim sudah berada di Cibodas dan langsung menuju Information Centre untuk melapor dan mengurus ijin pendaftaran kepada petugas PHPA.

26 November 1989

Setelah mendapatkan ijin pendakian, tim bergerak menuju Pos Kandang Badak jam 00.30. Tim beristirahat sejenak di Pos Panyangcangan, lalu Surya Ibrahim, Hary Judianto, Hendra Utama dan (alm.) Julini memutuskan untuk beristirahat di pos sambil menunggu pagi hari sedangkan tim lainnya melanjutkan pendakian menuju Puncak Gede. Menurut pandangan Hary Judianto, “Waktu naik gak keliatan kaya Surya yang biasa naik gunung sama gw, dia lebih sering cape, banyak berhenti.. Mungkin juga karena dia masih engkel akibat latihan di Taiwan, tapi herannya dia masih maksain untuk naik dengan kondisi seperti itu..”. Bisa dikatakan Surya dan yang lainnya tertinggal hampir 6 jam, karena tim sudah mencapai Puncak Gede jam 05.30 subuh, sebelum sunrise tetapi sekitar jam 12.00 Surya dan yang lainnya masih belum sampai Puncak Gede. Ketika tim memutuskan untuk kembali melalui Pos Kandang Badak, Surya dan yang lainnya sudah melewati Pos Kandang Badak tetapi masih dalam perjalanan menuju Puncak Gede, sempat berpapasan di Tanjakan Setan jam 13.30. Saat berpapasan, tim mengajak Surya dan yang lainnya untuk ikut turun sebelum kena hujan dan gelapnya malam karena kondisi saat itu sudah mendung, yang mengikuti ajakan turun hanya (alm.) Julini. Surya Ibrahim, Hary Judianto dan Hendra Utama masih tetap melanjutkan pendakian menuju Puncak Gede. Menurut penuturan Hendra Utama, pada waktu muncak sudah sekitar jam 14.00, dia dan Hary memutuskan untuk ikut dengan rombongan lain yaitu turun melalui Cibodas tetapi Surya masih ingin melewati alun-alun Surya Kencana dan pada akhirnya turun melewati Gunung Putri. Hendra dan Hary mengetahui Surya sudah beberapa kali melalui jalur Gunung Putri, sehingga mereka tidak khawatir untuk melepasnya melewati jalur Gunung Putri seorang diri walaupun kondisi Surya tidak sehat dan perbekalan yang sangat minim. “Waktu sampai puncak kita gak ada makanan, sampai dikasih sama pendaki lain yang ada di puncak. Perbekalan minim, Surya hanya memakai daypack..”. Keterangan lain yang dapat dirangkum dari Hary Judianto adalah, “Waktu muncak, fisik gua emang udah gak kuat lagi, gw gak mau maksain lewat Putri karena tau jalurnya kaya gimana kalo hujan, tapi Surya masih maksain mau lewat Putri.. Dan pada saat itu gw memutuskan untuk menjadi follower, mengikuti rombongan yang lain.. Emod (Hendra) turun duluan, waktu gw sama Surya mulai jalan menjauh, disana kita tatap muka untuk yang terakhir kalinya… Dan sampai sekarang, gw masih nyesel karena dari awal gw udah janji mau naik gunung bareng dia..”. Sekitar jam 14.40, Hary Judianto dan Hendra Utama mulai bergerak turun kembali menuju Cibodas. Pada saat turun ini, Hary dan Hendra sempat diantar oleh Surya Ibrahim sampai pada pohon pertama dari puncak. Setelah mengantar Hary dan Hendra, kemudian Surya melanjutkan perjalanan menuju puncak Gunung Gede, Hary masih sempat melihat Surya sedang bergerak menuju puncak. Dan disinilah saat terakhir Hary melihat Surya Ibrahim. Ditambahkan oleh Ardan Ardiansyah, “Keputusan untuk turun lewat Cibodas diambil karena saya bawa anak-anak kelas 1 dan kondisi sudah mulai mendung, kasihan kalau mereka kena malem dan lewat jalur Putri.. Sewaktu turun ke Pos Kandang Badak, kami papasan dengan Surya tepat setelah tanjakan setan, Surya mengalami engkel, memang sebelum pendakian juga dia sudah engkel. Itu terakhir saya ketemu dengan Surya. Kami sampai di Cibodas sekitar jam 17.30, masih menunggu Surya dan yang lain di warung pasar bawah, cuaca pada waktu itu sudah hujan deras.. Ketika kami mau menyusul keatas sekitar jam 19.00, dari kejauhan Hendra dan Hary datang, tanpa Surya.. Memang kemauan Surya sulit digoyahkan, kalau dari awal dia mau turun lewat Putri, dia pasti akan lewat Putri.. Pada waktu itu kami tidak lapor ke petugas, karena di pos pendaftaran tidak ada yang jaga.”.

27 November 1989

Satu tim pendakian sudah kembali ke sekolah untuk persiapan Ujian Tengah Semester. Tetapi di antara mereka, tidak terlihat sosok Surya Ibrahim. Ibunda Surya mulai menanyakan dimana keberadaan Surya, pihak sekolahpun diberitahu oleh Norick, sepupu Surya dan mulai dilakukan pencarian di beberapa lokasi dimana Surya mungkin berada, tetapi tetap saja tidak ditemukan sosok dirinya. Pada Selasa 28 November 1989, Surya dilaporkan hilang ke pihak Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Surya Ibrahim Dompas dinyatakan hilang sejak 26 November 1989, tanggal dimana terakhir kalinya Hary dan Hendra berpisah dengannya. Pencarian sosok Surya di Gunung Gede – Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, Cianjur – Jawa Barat segera dilakukan bersama 30 tim yang tercatat dalam Laporan SAR, dibuat oleh Herry ‘Macan’ Heryanto selaku SMC (SAR Mission Coordinator) pada pencarian itu, berasal dari masyarakat sekitar Cibodas, perkumpulan Pencinta Alam, Instansi terkait dan Swasta yang berjumlah hampir lebih dari 160 orang personil.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun