Hal yang lebih memprihatinkan lagi bahwa jumlah serikat pekerja masih tergolong minim. Padahal ini adalah instrument legal yang disediakan undang-undang untuk memperjuangkan hak dan kepentingan.
Berdasakan data AJI dan FSPMI hingga akhir 2017 hanya ada 25 serikat pekerja media di seluruh Indonesia. Jumlah ini tentu saja sangat minim, karena hanya sekitar 1% dari jumlah total media di Indonesia. Dalam merevisi UU Pers harus memahami konteks dari pemerintah. Di Surabaya upah sektoral untuk memastikan teman jurnalis mendapat hak yang layak.
Melihat dari isu Etika dan Profesionalisme bahwa indikator paling terang untuk melihat potret kinerja pers Indonesia adalah jumlah kasus pengaduan ke Dewan Pers. Dalam delapan tahun ini, jumlah kasus pengaduan sangat cenderung meningkat.
Sejumlah hukum positif dan regulasi di Indonesia juga masih kurang bersahabat dengan pers. Diantaranya, kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Intelijen dan Undang-Undang Pornografi, serta Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dari keempatnya Undang-undang diatas bahwa UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik yang kemudian direvisi pada 21 desember 2015 juga memberi celah yang bisa mengancam kebebasan pers. Salah satunya adalah adanya pasal yang memungkinkan pemerintah memblokir situs tanpa melalui pengadilan.
Selain UU ITE, regulasi lain yang saat ini dibahas adalah Rancangan Undang-Undang Penyiaran. AJI yang tergabung dalam koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP). Menyayangkan perkembangan pembahasannya. Salah satu hal paling krusial adalah soal penerapan pola perkembangan pembahasannya.
Salah satu hal paling krusial adalah soal penerapan pola multiplekser dalam digitalisasi. Soal inilah yang menyebabkan tertundanya kembali pengesahan RUU UU Penyiaran. Penundaan terjadi akibat terjadi kebuntuan pada rapat gabungan antara Badan Legislatif dan Pengusul (Komisi 1) DPR. 3 oktober2017. Ketidaksepakatan ini terjadi dalam penentuan penataan migrasi memasuki penyiaran digital dalam hal pemilihan penyelenggaraan multiplekser (mux).
Dalam draf UU Penyiaran versi 3 Oktober 2017 sudah termuat ketentuan bahwa model migrasi dari penyiaran analog ke digital yang akan dijalankan adalah multiplekser tunggal, dengan Lembaga Penyiaran Publik bertindak sebagai penyelenggaraan multiplekser.
Keputusan itu dikukuhkan melalui voting di tingkat panitia kerja dengan perbandingan suara terdiri dari 5 fraksi tidak hadir. Namun ketikapengambilan keputusan hendak diambil di tingkat rapat pleno, secara mendadak salah satu fraksi dan diikuti sejumlah fraksi lainnya memilih mengundurkan diri darirapat pengambilan keputusan.
AJI menilai pilihan multiplekser tunggal (single-mux) dalam penyiaran digital yang otoritasnya diserahkan kepada Negara adalah pilihan yang terbaik untuk kepentingan public karena beberapa otoritasnya diserahkan kepada Negara adalah pilihan yang terbaik untuk kepentingan public karena beberapa alasan.