Mohon tunggu...
Sumiyati Sapriasih
Sumiyati Sapriasih Mohon Tunggu... Food Blogger -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tingginya Kasus Kekerasan dan Ancaman PHK

28 Desember 2017   17:23 Diperbarui: 28 Desember 2017   18:15 558
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rabu, 27 Desember 2017 berlokasi Waroeng Bakeol Koffie telah mengadakan press conference oleh Aliansi Jurnalis Independen tentang maraknya kasus kekerasan dan ancaman PHK bagi para pekerja wartawan, dengan narasumber Bapak Abdul Manan selaku Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen dan Bapak Revolusi Resa selaku Sekretaris Jenderal AJI.

Aliansi Jurnalis Independen telah mencatat sejumlah fakta yang mengkhawatirkan tentang Pers Indonesia, baik dalam aspek kebebasan pers, profesionalisme dan ketenagakerjaan. Dalam hain ini Indonesia sangat tertinggal jauh dari Negara Asia lainnya, misalnya kasus di tahun 2016 wartawan RADAR Madura mengalami kekerasan dari Pengairan Bangkalan, hingga saat ini kasusnya belum juga masuk kekejaksaan.

Data ini diambil dari advokasi.aji.or.id bahwa Jenis kekerasan terhadap jurnalis 2017 adalah :

1. Kekerasan fisik 30 %     

2. Pengusiran / pelanggaran liputan 13 %

3. Ancaman kekerasan / terror 6%

4. Perusakan alat/data hasil liputan 5%

5. Mobilisasi massa/penyerangan kantor redaksi 1%

6. Pemindanaan Kriminilitas 5%    

Pada tahun 2013 kekerasan yang dilakukan oleh warga sebanyak 13 kasus, tahun 2014 sebanyak 10 kasus, tahun 2015 sebanyak 17 kasus, sedangkan tahun 2016 sebanyak 26 kasus. Jadi, dalam lima tahun ini warga menjadi pelaku kekerasan terbanyak. Sedangkan pelaku kekerasan kedua terbanyak di tahun 2017 adalah posisi 15 kasus, pejabat pemerintah atau eksekutif 7 kasus.

Dalam hal isu ketenagakerjaan, salah satu kasus yang paling banyak perhatian adalah terjadinya pemutusan hubungan kerja (PHK). Tahun 2017 mencatat hal yang kurang menggembirakan yaitu lesunya ekonomi media yang berdampak pada pemutusan hubungan ketenagakerjaan.

Hal yang lebih memprihatinkan lagi bahwa jumlah serikat pekerja masih tergolong minim. Padahal ini adalah instrument legal yang disediakan undang-undang untuk memperjuangkan hak dan kepentingan.

Berdasakan data AJI dan FSPMI hingga akhir 2017 hanya ada 25 serikat pekerja media di seluruh Indonesia. Jumlah ini tentu saja sangat minim, karena hanya sekitar 1% dari jumlah total media di Indonesia. Dalam merevisi UU Pers harus memahami konteks dari pemerintah. Di Surabaya upah sektoral untuk memastikan teman jurnalis mendapat hak yang layak.

Melihat dari isu Etika dan Profesionalisme bahwa indikator paling terang untuk melihat potret kinerja pers Indonesia adalah jumlah kasus pengaduan ke Dewan Pers. Dalam delapan tahun ini, jumlah kasus pengaduan sangat cenderung meningkat.

dokpri
dokpri
Peningkatan cukup drastis mulai terjadi di tahun 2014 dan terus bertahan hingga tahun 2017. Jumlah pengaduan terhadap Dewan Pers pada tahun ini, menurut anggota Dewan Pers, sekitar 600. Jumlah nya hampir sama dengan tahun sebelumnya. Jenis pengaduannya antara lain karena berita tidak berimbang, berita yang menghakimi, berita keliru , yang itu tidak sesuai dengan kode etik jurnalistik (KEJ).

Sejumlah hukum positif dan regulasi di Indonesia juga masih kurang bersahabat dengan pers. Diantaranya, kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-undang Intelijen dan Undang-Undang Pornografi, serta Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dari keempatnya Undang-undang diatas bahwa UU Nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik yang kemudian direvisi pada 21 desember 2015 juga memberi celah yang bisa mengancam kebebasan pers. Salah satunya adalah adanya pasal yang memungkinkan pemerintah memblokir situs tanpa melalui pengadilan.

Selain UU ITE, regulasi lain yang saat ini dibahas adalah Rancangan Undang-Undang Penyiaran. AJI yang tergabung dalam koalisi Nasional Reformasi Penyiaran (KNRP). Menyayangkan perkembangan pembahasannya. Salah satu hal paling krusial adalah soal penerapan pola perkembangan pembahasannya.

Salah satu hal paling krusial adalah soal penerapan pola multiplekser dalam digitalisasi. Soal inilah yang menyebabkan tertundanya kembali pengesahan RUU UU Penyiaran. Penundaan terjadi akibat terjadi kebuntuan pada rapat gabungan antara Badan Legislatif dan Pengusul (Komisi 1) DPR. 3 oktober2017. Ketidaksepakatan ini terjadi dalam penentuan penataan migrasi memasuki penyiaran digital dalam hal pemilihan penyelenggaraan multiplekser (mux).

Dalam draf UU Penyiaran versi 3 Oktober 2017 sudah termuat ketentuan bahwa model migrasi dari penyiaran analog ke digital yang akan dijalankan adalah multiplekser tunggal, dengan Lembaga Penyiaran Publik bertindak sebagai penyelenggaraan multiplekser.

Keputusan itu dikukuhkan melalui voting di tingkat panitia kerja dengan perbandingan suara terdiri dari 5 fraksi tidak hadir. Namun ketikapengambilan keputusan hendak diambil di tingkat rapat pleno, secara mendadak salah satu fraksi dan diikuti sejumlah fraksi lainnya memilih mengundurkan diri darirapat pengambilan keputusan.

AJI menilai pilihan multiplekser tunggal (single-mux) dalam penyiaran digital yang otoritasnya diserahkan kepada Negara adalah pilihan yang terbaik untuk kepentingan public karena beberapa otoritasnya diserahkan kepada Negara adalah pilihan yang terbaik untuk kepentingan public karena beberapa alasan.

Dengan pola mux tunggal (single-mux), akan terjadi penghematan spectrum frekuensi radio untuk keperluan penyiaran komersial sehingga aka nada sisa frekuensi yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penyiaran non-komersial dan kepentingan  komunikasi non-penyiaran.

Oleh karena itu migrasi ke penyiaran digital dinilai mampu memberikan peluang usaha dan penataan industry siaran yang lebih adil bagi masyarakat. Selain itu public bisa memperoleh keuntungan dalam penyiaran digital khususnya untuk mendukung kepentingan penyiaran non-komersial seperti untuk pendidikan, kesehatan, anak-anak hingga penanganan bencana alam.

Sumber data dari advokasi.aji.or.id

Salam Blogger

Sumiyati Sapriasih

Telp : 089616613396

Email : sumiyatisapriasih@yahoo.com  

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun