"Sakit, Kak, tangan Mama. Kakak sudah besar, jangan rebutan. Kakak mengalah, ya!" rayu Mama kepada Dika.
Dika pun pergi. Dia ke ruang tengah. Dika memainkan dua robotan-robotannya dengan setengah kasar. Dia memainkan seakan kedua robotnya sedang bertarung. Wajahnya masih cemberut dan tatapan matanya kosong, kesal. Rupanya dengan cara seperti itu dia bisa sedikit melampiaskan kekesalannya pada Danis. Â Â
Dari teras depan rumah, Mama melihat ekspresi Dika. Mama sangat paham. Sejak kehadiran Danis, kepada Dika porsi perhatian keluarga memang sedikit berkurang.
"Mengapa Danis mengusir Kakak?" tanya Mama sambil mengelus kepala Danis.
"Mama punya Danis. Mama memeluk Danis aja, jangan memeluk Kakak," jawab Danis manja.
"Kak Dika kakaknya siapa?"
"Kakaknya Danis," jawab Danis.
"Kalau besok Danis dan Dika lagi bermain di lapangan, yang menjaga Danis siapa?"
"Mama dan Papa dong."
"Kan, Mama dan Papa tidak di dekat Danis?"
Kalimat Mama terakhir rupanya membuat Danis berpikir. Danis menjatuhkan kepalanya di dada Mama. Mama menyambut dengan pelukan dan usapan tangan di kepala Danis.