Hari ke hari tuntutan terhadap guru semakin tidak ringan. Guru tidak sekadar mengajar di kelas, menyelesaikan materi. Namun lebih dari itu, yaitu menyiapkan generasi untuk masa depan yang siap menghadapi perubahan yang dinamis. Menghadapi dunia dengan teknologi yang semakin pesat tak terbendung.
Perkembangan teknologi yang pesat bukan berarti menjadi penghambat bagi guru dalam menjalani proses Pendidikan. Namun menjadi sumber daya dukung dalam mendampingi peserta didik. Di mana teknologi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mengakses informasi yang perkembangannya begitu pesat. Dalam hitungan detik perubahan terus terjadi dan berubah-ubah.
Pun demikian, ada kekhawatiran yang menghantui guru. Sebagai pendidik yang tidak sekadar mengajarkan ilmu pengetahuan namun pula membentuk peserta didik yang berkarakter. Ada kegamangan yang terpampang nyata saat ini. Terkikisnya jiwa sosial di tengah maraknya perkembangan teknologi. Peserta didik menjadi manusia apatis. Kurang peduli terhadap lingkungan sekitar. Menjauh dari yang dekat dan dekat dengan yang jauh.
Keprihatinan tersebut tidak bisa dibiarkan akut. Walau mungkin dengan teknologi memudahkan banyak hal. Tapi tentunya kita tidak boleh abai dengan kondisi sosial anak didik kita. Sering kita mendengar, anak-anak, remaja, bahkan orang dewasa yang depresi, bahkan mengakhiri hidupnya karena tidak bisa mengungkapkan perasaannya. Berkutat dengan dirinya sendidri dan teknologi yang ada di genggamannya.
Pendidikan tentunya memiliki peran penting mencegah terjadinya krisis sosial yang terjadi pada diri generasi muda. Utamanya para pendidik dan berkolaborasi dengan orang tua, serta berbagai pihak pemerhati Pendidikan. Mengingat Pendidikan, walau berat, menjadi penyokong besar terbentuknya karakter peserta didik.
Ancaman Teknologi
Menilik perkembangan teknologi saat ini, sebut saja salah satunya, Artificial Intellegence (AI). Bagaimana teknologi ini dirancang meniru kecerdasan manusia. Termasuk kemampuan pengambilan keputusan, logika, dan karakteristik kecerdasan lainnya. Bisa dibayangkan, jika peserta didik sudah banyak menggunakan AI, orang di sekelilingnya sudah tidak berfungsi. Mungkinkah guru tak akan diakui lagi keberadaannya?
Untuk itulah sebagai pendidik, guru sudah seharusnya merevolusi dirinya untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Selalu mengupdate dan mengupgrade kompetensi dan pengetahuannya. Supaya tidak tergeser oleh kecerdasan buatan yang semakin pesat kemajuannya.
Di dalam mendidik, guru tidak hanya menyajikan informasi, melainkan mengajarkan anak didik cara memilih, menilai, dan menyaring informasi yang relevan dan benar. Menyusun metode dan strategi belajar yang bisa meningkatkan kecerdasan dan daya kritis anak didik. Sehingga anak didik mampu menggunakan logikanya dan daya berpikir serta menggunakan hati untuk dapat berkomunikasi dan mengambil keputusannya sendiri.
Dialog Ruang Ketiga
Rumah adalah ruang pertama bagi anak-anak dan orang tua menjadi madrasah pertama bagi mereka. Waktu lebih banyak mereka gunakan untuk bergaul dan berkomunikasi dengan anggota keluarga. Namun, pada kenyataannya banyak orang yang merasa asing dengan kondisi keluarganya.
Tidak berkomunikasi dengan baik. Dimungkinkan karena adanya kesibukan orang tua bekerja, sehingga waktu bertemupun sangat sebentar. Rumah tidak bisa digunakan untuk berkomunikasi atau bertukar pendapat antar anggota keluarga. Maka tidak heran, jika banyak anak-anak yang lebih nyaman berada di luar rumah. Namun tak bisa dielakkan, masih banyak pula suasana keluarga yang nyaman, rumah-rumah benar-benar menjadi tempat pulang bagi anak dan seluruh anggota keluarga.
Kedua, sekolah. Sebagai madrasah kedua bagi anak didik, guru berperan penting dalam membentuk karakter anak didik. Menebarkan pengetahuan dan mendidik mereka agar berakhlak mulia dan berkarakter. Guru mendidik dengan menerapkan berbagai metode dan teknik dalam mengajar.Â
Namun di lapangan, selama ini yang terlihat, guru baru sekadar menrasnfer pengetahuan kepada anak didik. Belum mendidik penuh bagaimana pengetahuan tersebut sesuai dengan kebutuhan kehidupan mereka. Apakah pengetahuan tersebut dapat dijadikan bekal terjun di masyarakat, dan masih banyak lagi permasalahan yang belum tersentuh.
Perkembangannya, penerapan kurikulum merdeka diharapkan mampu mengatasi hal tersebut. Namun, sekali lagi, apakah guru-guru akan semudah membalikkan telapak tangan mampu berevolusi dalam menjalankan pola mendidiknya? Itulah yang menjadi permasalahan besar saat ini. Meskipun sebagai pendidik yang telah berusaha sekuat tenaga tentunya tak mau jika dijadikan kambing hitam atas ketidak berhasilan dalam mendidik. Namun tidak dipungkiri, masih banyak guru-guru yang enggan untuk bangun bergerak dari tidur panjangnya yang nyaman.
Untuk itulah sudah seharusnya guru mulai mengubah pola mendidiknya. Guru dapat melakukan 4C (Communication, Collaboration, Creativity, Critical Thinking). Pertama, Critical Thinking and Problem Solving (berpikir kritis dan pemecahan masalah). Dalam proses belajar mengajar guru lebih mengedepankan proses menalar.Â
Bagaimana cara berpikir dan menganilisi suatu masalah. Kedua, Communication (komunikasi) menjadi penting. Bagaimana anak didik dapat mengomunikasikan apa yang ada dalam pikirannya. Berbicara dengan jelas ketika berbicara dengan orang lain dan di depan orang banyak. Ketiga, Collaboration (Kolaborasi).Â
Hal ini sangat penting bagaimana anak didik dapat membuat konektivitas antar mereka sendiri dan orang lain. Dapat bekerja sama dalam tim dan membangun tanggung jawab Bersama. Keempat, Creativity and Inovation (kreativitas dan inovasi). Di sinilah perlu dibangun kreativitas anak didik. Supaya mereka kritis, inovatif dalam melihat permasalahan tidak hanya dari satu sudut pandang saja.
Hal di atas bisa dilakukan di dalam kelas selama pembelajaran. Pun demikian, tempat dan waktu yang sempit mengurangi keleluasaan dalam menanamkan 4C. Sehingga diperlukan ruang-ruang lain yang dapat menggali potensi 4C anak didik. Guru perlu mengubah mindset lama dalam mengajar. Tidak sekadar transfer knowledge, namun bagaimana menekankan pembentukan karakter 4C kepada anak didik. Hal itu dapat dilakukan dengan cara Dialog Ruang Ketiga, seperti yang digagas oleh komunitas Gerakan Sekolah Mengajar (GSM), https://sekolahmenyenangkan.or.id/Â
Pada Ruang Ketiga, guru menyediakan waktu dan pikirannya untuk berdialog, memantik ide dan kreativitas anak didik. Hal itu dapat dilakukan dengan melakukan pendekatan kepada anak didik. Memanusikan kembali anak didik. Hal itu sebagai suatu upaya mempersiapkan anak didik untuk menghadapi perubahan.Â
Anak didik harus dibekali dengan kekuatan intelektual, mental, dan spiritual anak didik diajak untuk tidak teralienasi oleh kemajuan teknologi, tetapi sebaliknya, untuk menggunakan teknologi sebagai alat untuk mengembangkan keterampilan dan pengetahuan mereka.Â
Guru dapat membimbing mereka dalam menggunakan teknologi secara bijaksana dan kritis, sambil tetap menjaga koneksi/interaksi manusiawi dan nilai-nilai kehidupan. Melakukan dialog dan interaksi melalui ruang-ruang lain, Ruang Ketiga, tak terbatas ruang dan waktu. Bisa dilakukan di mana saja.
Maka dari itu guru tidak sekadar pemberi informasi. Namun membimbing anak didik, memberikan pemerdekaan kepada mereka dalam membentuk pola berpikir, mengambil keputusan, mengelola emosi, dan cara memahami serta berhubungan dengan sesamanya yang sesuai dengan nilai-nilai kemanusiaan. [UAW]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H