Tentunya sudah banyak guru-guru yang menjalankan proses Pendidikan menggunakan Kurikulum Merdeka dengan baik. Mengajar dengan hati, memanusiakan manusia, dan tentunya mengajar dengan menyenangkan. Memberikan pemerdekaan kepada peserta didik untuk menjadi dirinya sendiri. Mendidik mereka agar mampu mencapai apa yang menjadi keinginannya.
Banyak guru yang sudah menjalani pembelajaran yang menyenangkan dan menggunakan hati. Hal tersebut tergambar dalam film dokumenter yang disajikan oleh Kemendikbudristek. Banyak hal positif yang telah dilakukan oleh guru-guru untuk peserta didik.
Namun demikian, mengapa masih banyak kendala di lapangan. Mengakibatkan pelaksanaan kurikulum tidak berjalan pada rel yang semestinya. Pertama, kebanyakan guru masih menggunakan paradigma lama.Â
Pembelajaran yang berpusat pada guru, Teacher center. Menggunakan metode konvensional, seperti ceramah, mengerjakan soal Lembar Kerja Siswa (LKS), mengejar konten materi. Bukan mengedepankan pemahaman yang berarti untuk peserta didik.Â
Kedua, belum paham betul filosofi kurikum merdeka seperti konsepnya Ki Hajar Dewantara. Yaitu Ing ngarsa sung tuladha (Di depan menjadi contoh), ing madya mangun karsa (di tengah mampu memberikan motivasi), tut wuri handayani (di belakang memberikan dukungan).Â
Mengapa demikian, guru masih memikirkan pola dalam kurikulum merdeka, sehingga bersifat administratif. Seandainya guru mampu memahami filosofi tersebut, tentunya Pendidikan akan berjalan dengan baik. Sehingga melahirkan generasi emas yang benar-benar berkarakter.
Mengembalikan Esensi Pendidikan
Sebagai pendidik, tentunya tidak layak jika dijadikan kambing hitam terkendalanya penyelenggaraan Pendidikan di negeri ini. Meskipun masih banyak guru yang enggan beranjak dari tidurnya, namun telah banyak pula guru yang menginginkan perubahan dalam Pendidikan.Â
Mengajar dengan berbagai  metode agar peserta didik menjadi dirinya sendiri. Menjadi manusia cerdas yang tidak terkungkung oleh kurikulum. Merdeka dalam arti sesungguhnya. Sudah sepantasnya saat ini guru mulai mengubah paradigma.
Mengubah metode pembelajaran teacher center menjadi student center. Yang mana, peserta didik diarahkan menjadi pemimpin pembelajaran. Manusia yang mampu memimpin dirinya sendiri maupun orang lain.Â
Menjadi manusia yang cerdas dan kritis mengenai apa yang dia rasakan dan ia alami. Tidak sekadar memenuhi target kurikulum seperti yang lalu. Karena pada dasarnya setiap anak memiliki hak untuk memilih apa yang mereka ingin pelajari.