Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023).

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Dampak Negatif "Ranking" Rapor Sekolah

3 April 2018   09:24 Diperbarui: 3 April 2018   10:08 1938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anak yang di tuntut Orang Tua. Sumber gambar: dream.co.id

Setiap kali penerimaan rapor banyak orang tua langsung memeriksa halaman akhir rapor. Memeriksa jumlah nilai dan ranking berapa. Saat mekanisme sekolah tidak memberikan ranking nilai orang tua buru-buru menanyakan perangkingan kelas dalam leger nilai yang dimiliki guru.

Ketika melihat hal ini, pengalaman saya dulu, alhamdulillah sekarang sudah tidak. Ranking menjadi tujuan utama dalam menentukan keberhasilan anaknya dalam belajar di sekolah. Sepanjang pengamatan selama ini, orang tua lebih suka melihat ranking, entah berapapun nilainya. Asal sudah masuk 3 besar anak diberi selamat. Sedangkan bagi yang rankingnya terendah dimarah-marahi hingga anaknya malu dan pucat pasi.

Melihat hal ini, sebenarnya yang butuh ranking itu anak atau orang tua ya? Orang tua pastinya. Karena anak sebenarnya mulai dari pendidikan tingkat bawah tak pernah memikirkan ranking. Jika iya, pola pikir itu pasti muncul karena tuntutan orang tua. Anak sebenarnya belajar dan memahami ilmu saja. Tak pernah berpikir ranking sebagai prestasi.

Di sini orang tua lupa bahwa anak berprestasi tak hanya dinilai dari angka ranking dalam kelas maupun pararel satu tingkat. Tidak hanya dinilai dari prestasi kognitifnya saja. Bukankah setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing. Orang tua lupa dengan pencapaian tertinggi anak untuk memberi selamat. Orang tua lupa dengan perjuangan anak ketika meraihnya. Tidak adil bukan, jika hanya menilai anak dari aspek kognitif saja. Bukan dari kemampuan lain yang dimiliki anak yang sebenarnya lebh melejit.

Dampak Ranking bagi Anak

Ada beberapa dampak yang diterima oleh anak saat orang tua menuntut ranking terbaik anaknya.

Segala Usaha. Sumber Gambar: sdsnconggeang1.blogspot.com
Segala Usaha. Sumber Gambar: sdsnconggeang1.blogspot.com
  • Anak merasa dibanding-bandingkan

Orang tua menganggap anak seperti robot yang tak punya perasaan. Tanpa disadari orang tua membanding-bandingkan anaknya dengan kemampuan orang lain. Baik itu dengan saudaranya sendiri maupun dengan anak tetangga, teman, dan bisa jadi dibandingkan dengan teman-teman satu sekolah. Anak menjadi merasa dibanding-bandingkan. Bahwa kemampuannya tak lebih baik dari orang lain.

  • Tidak percaya diri

Akibat disbanding-bandingkan, anak menjadi tidak percaya diri. Dia tidak bangga lagi dengan kemampuan dan kecerdasan yang ia miliki. Ia akan berkiblat dengan orang yang disebut-sebut baik oleh orang tuanya. Sehingga dia tidak menjadi diri sendiri. Dia akan menjadi orang lain. Hal ini pula mengakibatkan anak pernah percaya diri dengan hasil yang ia peroleh dan tidak cepat merasa puas. Tidak cepat merasa puas akan baik jika positif, namun jika hal itu diakibatkan karena ingin mencontoh dan ingin lebih baik dengan orang yang dibandingkan dengan dirinya, hal ini menjadi seperti sebuah dendam tersendiri dalam diri anak.

  • Anak terbebani tuntutan orang tua

Anak belajar (dalam hal ini pendidikan di sekolah) seperti dibebani dengan tanggung jawab yang sangat berat. Anak tidak enjoy dengan proses belajarnya. Baginya, menyenangkan orang tuanya lebih membahagiakan baginya. Hanya sekadar mendapat pujian ketika rankingnya berada di peringkat tiga besar. Anak sudah tidak bisa menikmati proses demi proses perkembangan psikologisnya maupun perkembangan berpikir mulai dari anak hingga menjadi remaja, dan dewasa. Dia akan menjadi anak penurut terhadap orang tuanya dengan ikut bermacam-macam les demi kepuasan orang tuanya. Hal ini akan berakibat fatal, sebab dia bisa berlaku kurang baik di luar rumah.

  • Mencari Pelampiasan di luar Rumah

Saat anak seperti berada di penjara, saat di rumah sendiri akibat dari tuntutan orang tua, akan mengakibatkan hal tak terduga di luar rumah. Hal yang mungkin terjadi, anak tak mampu bersosialisasi dengan baik dengan teman-temannya. Di antara teman-temannya dia akan menjadi orang yang memaksakan kehendaknya. Ingin menang sendiri dan tak mau tersaingi teman yang lain. Saat merasa disaingi dia akan berbuat nekad demi dirinya sendiri, bahwa dia harus menjadi yang terbaik.

  • Kreativitas menurun

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun