Setiap kali penerimaan rapor banyak orang tua langsung memeriksa halaman akhir rapor. Memeriksa jumlah nilai dan ranking berapa. Saat mekanisme sekolah tidak memberikan ranking nilai orang tua buru-buru menanyakan perangkingan kelas dalam leger nilai yang dimiliki guru.
Ketika melihat hal ini, pengalaman saya dulu, alhamdulillah sekarang sudah tidak. Ranking menjadi tujuan utama dalam menentukan keberhasilan anaknya dalam belajar di sekolah. Sepanjang pengamatan selama ini, orang tua lebih suka melihat ranking, entah berapapun nilainya. Asal sudah masuk 3 besar anak diberi selamat. Sedangkan bagi yang rankingnya terendah dimarah-marahi hingga anaknya malu dan pucat pasi.
Melihat hal ini, sebenarnya yang butuh ranking itu anak atau orang tua ya? Orang tua pastinya. Karena anak sebenarnya mulai dari pendidikan tingkat bawah tak pernah memikirkan ranking. Jika iya, pola pikir itu pasti muncul karena tuntutan orang tua. Anak sebenarnya belajar dan memahami ilmu saja. Tak pernah berpikir ranking sebagai prestasi.
Di sini orang tua lupa bahwa anak berprestasi tak hanya dinilai dari angka ranking dalam kelas maupun pararel satu tingkat. Tidak hanya dinilai dari prestasi kognitifnya saja. Bukankah setiap anak memiliki kecerdasan masing-masing. Orang tua lupa dengan pencapaian tertinggi anak untuk memberi selamat. Orang tua lupa dengan perjuangan anak ketika meraihnya. Tidak adil bukan, jika hanya menilai anak dari aspek kognitif saja. Bukan dari kemampuan lain yang dimiliki anak yang sebenarnya lebh melejit.
Dampak Ranking bagi Anak
Ada beberapa dampak yang diterima oleh anak saat orang tua menuntut ranking terbaik anaknya.
- Anak merasa dibanding-bandingkan
Orang tua menganggap anak seperti robot yang tak punya perasaan. Tanpa disadari orang tua membanding-bandingkan anaknya dengan kemampuan orang lain. Baik itu dengan saudaranya sendiri maupun dengan anak tetangga, teman, dan bisa jadi dibandingkan dengan teman-teman satu sekolah. Anak menjadi merasa dibanding-bandingkan. Bahwa kemampuannya tak lebih baik dari orang lain.
- Tidak percaya diri
Akibat disbanding-bandingkan, anak menjadi tidak percaya diri. Dia tidak bangga lagi dengan kemampuan dan kecerdasan yang ia miliki. Ia akan berkiblat dengan orang yang disebut-sebut baik oleh orang tuanya. Sehingga dia tidak menjadi diri sendiri. Dia akan menjadi orang lain. Hal ini pula mengakibatkan anak pernah percaya diri dengan hasil yang ia peroleh dan tidak cepat merasa puas. Tidak cepat merasa puas akan baik jika positif, namun jika hal itu diakibatkan karena ingin mencontoh dan ingin lebih baik dengan orang yang dibandingkan dengan dirinya, hal ini menjadi seperti sebuah dendam tersendiri dalam diri anak.
- Anak terbebani tuntutan orang tua
Anak belajar (dalam hal ini pendidikan di sekolah) seperti dibebani dengan tanggung jawab yang sangat berat. Anak tidak enjoy dengan proses belajarnya. Baginya, menyenangkan orang tuanya lebih membahagiakan baginya. Hanya sekadar mendapat pujian ketika rankingnya berada di peringkat tiga besar. Anak sudah tidak bisa menikmati proses demi proses perkembangan psikologisnya maupun perkembangan berpikir mulai dari anak hingga menjadi remaja, dan dewasa. Dia akan menjadi anak penurut terhadap orang tuanya dengan ikut bermacam-macam les demi kepuasan orang tuanya. Hal ini akan berakibat fatal, sebab dia bisa berlaku kurang baik di luar rumah.
- Mencari Pelampiasan di luar Rumah
Saat anak seperti berada di penjara, saat di rumah sendiri akibat dari tuntutan orang tua, akan mengakibatkan hal tak terduga di luar rumah. Hal yang mungkin terjadi, anak tak mampu bersosialisasi dengan baik dengan teman-temannya. Di antara teman-temannya dia akan menjadi orang yang memaksakan kehendaknya. Ingin menang sendiri dan tak mau tersaingi teman yang lain. Saat merasa disaingi dia akan berbuat nekad demi dirinya sendiri, bahwa dia harus menjadi yang terbaik.
- Kreativitas menurun