Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023).

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Gunung Tidar, Tonggak Syiar Islam dan Pakuning Tanah Jawa

22 Maret 2018   09:15 Diperbarui: 22 Maret 2018   10:02 3119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gunung Tidar. Sumber: iniakoe.wordpress.com

Kota Magelang memiliki beberapa julukan, seperti Kota Harapan, Kota Sejuta Bunga, Kota pensiun, Kota Gethuk, dan lain sebagainya. Hal ini dikarenakan banyak hal yang bisa dieksplore di Kota kecil yang dikelilingi 7 gunung ini.

Di antaranya, Gunung Merapi, Gunung Merbabu, Gunung Sumbing, Gunung Sindoro, Gunung Andong, Gunung Telamaya, dan juga Gunung Tidar yang berada di tengah Kota Magelang. Sehingga suasana kota ini sangat nyaman dan sejuk. Oleh karenanya banyak orang saat masa pensiun datang, mereka pulang ke Kota Magelang.

Kota Magelang juga disebut-sebut sebagai Pakuning Tanah Jawa. Di mana di tempat ini terdapat sebuah tugu dengan huruf Jawa yang melingkari tugu. Bacaan dari huruf Jawa tersebut adalah sa sa sa sa. Jadi keempatnya huruf sa semua.

Pakuning Tanah Jawa. Foto: Ummi Azzura
Pakuning Tanah Jawa. Foto: Ummi Azzura
Di tempat ini juga digunakan untuk upacara mengenang jasa para  pahlawan perjuangan. Setiap malam tanggal 17 Agustus digunakan untuk  upacara.

Tugu di Gunung Tidar. Foto: Ummi Azzura
Tugu di Gunung Tidar. Foto: Ummi Azzura
Di kota ini pula, peziarah berdatangan. Tepatnya di Gunung Tidar. Di  sana terdapat makam Syekh Subakir, Maka Kyai Spanjang, dan Kyai Semar.  Peziarah biasanya datang menjelang bulan Ramadhan. Dimulai sejak bulan  Rajab dan puncaknya jelang ramadhan. Waktu lain yang ramai peziarah  adalah saat malam 1 Muharam. Banyak peziarah berdoa untuk para tokoh ini  karena berjasa terhadap penyebaran agama Islam di tanah Jawa.

Peziarah berdatangan. Foto: Ummi Azzura
Peziarah berdatangan. Foto: Ummi Azzura
Untuk mencapai makam tempat ziarah, peziarah harus melewati tangga yang lumayan tinggi. Harus hati-hati, meskipun sudah ada pagar pegangan di setiap sisi tangga. Jika peziarah lelah bisa beristirahat pada tempat-tempat tertentu yang sudah disediakan sebagai tempat melepas lelah sejenak. 

Tangga Menuju Puncak Gunung Tidar. Foto: Ummi Azzura
Tangga Menuju Puncak Gunung Tidar. Foto: Ummi Azzura
Tangga yang disediakan pengelola ada dua jalur, jalur kiri dan kanan. Untuk menuju puncak bisa melewati tangga sebelah kiri sedangkan untuk turun bisa melewati tangga sebelah kanan. Jika pada saat menuruni anak tangga merasa lelah ada rest area di mana peziarah dapat melepas lelah dengan duduk-duduk sebentar sembari menikmati udara yang sejuk bebas polusi udara.

Rest Area Gunung Tidar. Foto: Ummi Azzura
Rest Area Gunung Tidar. Foto: Ummi Azzura
Selain udara yang sejuk, di Gunung Tidar ini masih banyak hewan liar. Seperti ular, harimau, dan monyet. Karena memang bagian selatan Gunung Tidar digunakan oleh AKMIL untuk survival bagi mahasiswa, taruna-taruna akmil. Untuk monyet berkeliaran di antara anak tangga dan pohon-pohon besar. Namun tak perlu khawatir karena mereka tidak mengganggu pengunjung sedikitpun.

Monyet yang berkeliaran. Foto: Ummi Azzura
Monyet yang berkeliaran. Foto: Ummi Azzura
Kyai Semar

Kyai Semar atau Badranaya terkenal dalam kisah pewayangan yang diwariskan oleh Sunan Kalijaga. Konon Sunan Kalijaga pernah bertemu dengannya, sehingga terinspirasi untuk memasukkan ceritanya dalam Carangan dan Pewayangan dengan nama tokoh Semar yang menyertai Bagong, Gareng, dan Petruk.

29341140-1558991264200231-574143674-n-5ab30c3cab12ae16e14932b2.jpg
29341140-1558991264200231-574143674-n-5ab30c3cab12ae16e14932b2.jpg
Sebenarnya siapa Badranaya ini? Kenapa dia bisa berada di Gunung Tidar? Pertanyaan-pertanyaan ini yang harus dijawab, agar kita memiliki tujuan yang jelas ketika berziarah di tempat ini.

Dikisahkan bahwa, Kyai Semar atau Badranaya ini asal muasal namanya adalah Inana Badranaya. Inana Badranaya adalah seorang Biksu Budha yang mengabdi di Kerajaan Tarumanegara. Setelah kerajaan ini runtuh, Inana Badranaya melakukan pengembaraan hingga ke wilayah Timur. Dari satu tempat hingga tempat lain dari satu gunung ke gunung yang lain. Suatu saat Inana Badranaya sampai di Gunung Srandil Cilacap. Dari sana dia melihat Gunung Tidar dari kejauhan, di mana dahulu disebut sebagai Gumuk Lintang.

Di tempat ini, Inana Badranaya melakukan Tarak Brata di atas sebuah batu. Hingga moksa, setelahnya dia menitis atau bereinkarnasi pada tokoh Kerajaan Medang Lamulan. Pada jaman Majapahit dia menitis pada seorang abdi Sapu Angina tau Sapu Jagad.

Sedangkan menjelang berakhirnya Majapahit, Anana Badranaya menitis pada seorang abdi bernama Sabdo Palon atau Noyogenggong. Anana Badranaya hingga saat ini masih dipercaya masyarakat bisa menitis pada seseorang yang diinginkannya. Hingga saat ini Petilasannya masih dikunjungi peziarah, letaknya berada di paling atas Gunung Tidar.

Kyai Sepanjang

Satu lagi makam Kyai berada di Gunung Tidar ini. Makam tersebut bernama Makam Kyai Sepanjang yang memiliki panjang 7 meter. Kyai Sepanjang merupakan senjata  Syekh Subakir berupa Rajah Kalacakra atau tombak. Pada saat terjadi perdebatan dengan Inana Badranaya senjata ini digunakan untuk mengalahkan Inana Badranaya. Tombak ini ditancapkan di area Gumuk Lintang untuk mengalahkan Inana Badranaya.

Makam Kyai Sepanjang. Foto: Ummi Azzura
Makam Kyai Sepanjang. Foto: Ummi Azzura
Syekh Subakir

Syekh Subakir dalam sejarahnya merupakan waliyullah, seorang tokoh yang memiliki peran pesar pada masa Wali sanga. Syekh Subakir berasal dari Turki yang diamanahi untuk menyebarkan agama Islam di Tanah Jawa. Pada saat itu, Masyarakat Jawa memiliki keyakinan Hindu, sehingga diutuslah Syekh Subakir untuk memberikan pengajaran Agama Islam.

Makam Syekh Subakir. Foto: Ummi Azzura
Makam Syekh Subakir. Foto: Ummi Azzura
Suatu hari dia mendengar bahwa di Gumuk Lintang dikabarkan ditunggu seorang dahnyang yang menguasai Pulau Jawa. Sebagai utusan penyebar agama Islam, hal ini merupakan penghalang keimanan kepada Allah. Akhirya dia pergi ke Gumuk Lintang. Terjadilah perdebatan antara dirinya dengan Inana Badranaya yang diyakini sebagai Dahnyang tersebut. Syekh Subakir dengan santrinya tak dapat mengalahkannya. Kemudian dia bersemedi, menyepi di Gumuk Lintang hingga 40 hari.

Pada akhirnya, dia datang pulang dan kembali bersama para santrinya dan membawa senjata Rajah Kalacakra atau tombak. Konon untuk mengalahkan Inana Badranaya, tombak sepanjang 7 meter yang kemudian disebut kyai sepanjang ini dibuka dan ditancapkan di Gumuk Lintang. Dibukanya senjata ini, di Gumuk Lintang menjadi asal muasal nama Gunung Tidar. Maknanya Peti di Udar, yaitu peti penyimpan senjata Syekh Subakir diudar/dibuka.

Sejak saat itulah Inana Badranaya yang kemudian disebut Kyai Semar dan para pengikutnya, di mana masyarakat sebagai dahnyang penguasa Pulau Jawa, pergi tunggang langgang. Meninggalkan Gumuk Lintang.

Petilasan Pangeran Purboyo. Foto: Ummi Azzura
Petilasan Pangeran Purboyo. Foto: Ummi Azzura
Baik dari sisi Inana Badranaya maupun dari Syekh Subakir memiliki versi mengenai perdebatan kekuasaan Gumuk Lintang atau Gunung Tidar. Kisah Syekh Subakir di atas merupakan versi tokoh Islam. Sedangkan dari sisi Inana Badranaya, dia menerima Syekh Subakir menyebarkan agama Islam di Gumuk Lintang khususnya, Pulau Jawa pada umumnya. Syarat yang diajukan adalah tidak boleh menghilangkan ajaran sebelumnya yaitu ajaran budaya Jawa. Wallahualam bisawab.

-Ummi Azzura Wijana-

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun