Tak sedikitpun mata ini berkedip. Tak sedikitpun aku punya keinginan untuk tak mendengar barang satu kata saja. Ya, di depanku duduk perempuan yang sering disebut Mak Sum sambil mengunyah selembar daun sirih dan sedikit kapur.
"Kamu kenapa?" Tanpa melihatku ia bertanya. Aku tak menjawab.Â
"Pikiranmu kacau!" Rupanya dia bisa membaca air mukaku. Sebentar saja dia mendongakkan wajahnya. Matanya seolah menghujam deras di mataku.
"Nggak pa pa kok, Mak," aku mencoba menghindar dari tajam matanya. Aku tak sanggup menyembunyikannya. Salah tingkah.
"Nduk." Mak Sum memulai nasihatnya. Sebenarnya ini yang aku tunggu sedari tadi. Sejak aku duduk di ambin berhadapan dengannya. Di ruang tamu sekaligus ruang tengah juga kamar tidur Mak Sum.Â
Mak Sum memang tak punya apa-apa. Hanya sepasang cangkir dan teko blirik. Beberapa baju yang ia letakkan di laci, mungkin almari baginya, sebagai pengganti jarik dan kebaya. Namun wibawa dan keanggunan Mak Sum benar-benar menyirap setiap mata yang melihatnya. Garis-garis ayunya masih nampak, Selendang yang ia sampirkan di antara kedua bahunya menjadikan dirinya 'dedegé' tampak lebih gagah. Meski umurnya hampir menyentuh kepala lima.
"Pada hakikatnya hidup itu mudah," Mak Sum melanjutkan tanpa kuminta.
"Segala sesuatu tergantung dari hatimu sendiri. Saat engkau berburuk sangka dengan keadaanmu maka akan buruklah keadaanmu. Begitu juga sebaliknya." Mak Sum mengambil nafas.
"Kenapa kita harus risau dengan anggapan orang, 'wong' yang menjalani hidup ini ya kita sendiri. Selama kita berada dalam hidup yang benar, yakinlah dengan kehidupanmu. Kamu sok ngibadah ora?" sontak merah padam mukaku. Tiba-tiba hidung Mak Sum mengarah ke wajahku.
"Nggih, Mak," parau suaraku. Mungkin Mak Sum mendengarnya.
"Intine ngene," logat jawanya mulai muncul, mulai roaming. Konsentrasi aku mendengarnya.Â
"Lakonana uripmu kanthi seneng lan kepenak!" aku terbengong-bengong.
"Jalani hidupmu dengan bahagia dan nyaman. Rejeki, jodoh, kematian, itu kuasane gusti. Jangan pernah kau risaukan." Seolah Mak Sum ingin menerjemahkan untukku.
Aku hanya diam. Beribu tanya dalam batinku. Sudahkah aku jalani hidupku dengan bahagia dan nyaman? Selama ini aku hanya meladeni setiap prasangka dalam pikiranku, yang berkutat dalam hatiku. Hingga waktuku habis untuk memikirkan anggapan dan perkataan orang. Tak mensyukuri apa yang aku miliki. Mestinya aku berpikir masih banyak yang tak seberuntung diriku.Â
Kalimat Mak Sum sangat dalam. Banyak yang ingin ia sampaikan melalui kesahajaannya. Aku butuh waktu untuk menjadi seperti yang kau sampaikan, Mak.Â
Sejurus lalu tak ada yang bicara. Hanya gemerisik dua tiga daun bambu yang bersentuhan di pojok depan rumah Mak Sum. Mengalun mengiringi lamunanku. Mungkin juga Mak Sum yang menunggu reaksiku.
Rintik hujan mendadak menyiramkan lagu cinta di hatiku.
Ah... hidup!
Â
#bersambung
Â
Tidar, 15102016
Umi AzzuraÂ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H