Mohon tunggu...
Ummi Azzura Wijana
Ummi Azzura Wijana Mohon Tunggu... Guru - Music freak

Sumiatun a.k.a Ummi Azzura Wijana, menulis di media cetak, antara lain: Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Sabana, Realita Pendidikan, Magelang Ekspres, Jaya Baya, Panjebar Semangat, Djaka Lodang, Karas, dll. Buku antologi bersamanya: Inspirasi Nama Bayi Islami Terpopuler (2015), Puisi Penyair Lima kota (2015), Pelangi Cinta Negeri (2015), Di antara Perempuan (2015), Wajah Perempuan (2015), Puisi Menolak Korupsi 4 (2015), Puisi Menolak Korupsi 5 (2015), Jalan Remang Kesaksian (2015), Puisi Kampungan (2016), Memo Anti Terorisme (2016), Pentas Puisi Tiga Kota dalam Parade Pentas Sastra I/2016 Yogya (2016), Wajah Ibu, Antologi Puisi 35 Penyair Perempuan (2016), Puisi Prolog dalam Buku Sang Penjathil (2016), Antologi Cerpen Gender Bukan Perempuan (2017), Kepada Hujan di Bulan Purnama (2018), dan Profil Seniman Cilacap (2019). Buku lain yang telah terbit: Buku Pintar Kecantikan Muslimah (2014), Flawes Makeup Bagi Pemula (2019), dan Bali Jawa (2020), Pendidikan dalam Refleksi Guru Penulis (2023), Dasar-dasar Kecantikan dan SPA Kelas X SMK (2023).

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(FABEL) Lazuardi Pri(H)mata

8 November 2015   03:56 Diperbarui: 17 Desember 2015   16:39 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(12) Umi Azzurasantika

 [caption caption="3.bp.blogspot.com"][/caption]

Sore itu langit pekat. Tak sedikitpun menampakkan wajahnya. Di kejauhan lamat-lamat pohon termenung. Ada sebuah kesedihan melingkupinya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. Yang jelas, daunnya terkatup. Ranting-ranting seolah enggan bercerita. Menunduk tak berdaya. Semangatnya pudar seiring berjalannya matahari ke ufuk barat, yang hanya secercah cahayanya menimpa sebagian ranting yang tinggal memiliki beberapa helai daun.

Duduk termenung Pongo di dahan tempat yang ia bangun tadi siang. Sebuah keranjang ukuran besar berdiameter kurang lebih satu meter. Pandangannya kosong. Tubuhnya berkeringat. Panas, gerah, namun kadang dingin menyergap seluruh tubuhnya. Ia mainkan jari-jemarinya yang kian menua. Sesekali menyibak rambutnya juga kian habis di makan usia. Dia ambil sehelai daun muda. Dikunyahnya pelahan. Hambar.

“Sayang, apa yang kau pikirkan?” Tiba-tiba Pygmaeus telah duduk di sampingnya.

“Ehm... ehm...” terperanjat Pongo. Dia tidak menduga Pygi, panggilan sayang untuk istrinya, tiba-tiba duduk di sampingnya.

“Grumph” jawabnya menggelegar.

Dahan-dahan bergidik mendengar lengkingan suaranya yang terdengar hingga ratusan meter, lima ratusan meter mungkin lebih. Apalagi suasana yang remang-remang jelang senja membuat suasana semakin menciutkan nyali burung-burung untuk terbang di sekitar rumah Pongo.

“Aku perhatikan sedari siang kau tidak beranjak dari rumah?” Pygi terus mendesak. Pandangan matanya lekat. Menatap kekasih hatinya. Suami tercinta yang telah berpuluh tahun mendampinginya.

Di hutan ini mereka dipertemukan. Pandangan pertama mengurungkan perkelahian saat itu. Pongo yang tinggi besar, kurang lebih 1,8 meter tepat berada di depanku. Pucuk-pucuk daun, dahan menjuntai mengaminkan pertemuan indah itu.

Ya, pertemuan kami 35 lalu, yang akhirnya menjadi tonggak sejarah hidup kami. Pernikahan yang hanya akan kami lakukan sekali saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun