(22) Umi Azzurasantika
[caption caption="www.muvila.com"][/caption]
Desa Tempuk mendadak hingar bingar. Umbul-umbul terpasang sepanjang jalan menuju lapangan yang berada di ujung desa itu. Poster-poster bertuliskan ARTIS IBU KOTA ‘DAYAT’ bertebaran hampir di seluruh wilayah Tempuk. Sebuah desa yang masih termasuk wilayah kecamatan Undung Sari. Para petani seolah ingin segera menyelesaikan pekerjaan di sawahnya. Sudah tidak sabar lagi melihat pertunjukkan Dayat malam ini. Para pemuda pun berkumpul bergotong royong menyiapkan tempat pertunjukan di lapangan desa mereka.
“Jarwo!” teriak seorang laki-laki bertubuh agak pendek dengan berkacak pinggang. Kaca mata hitam bertengger di atas kepalanya. Rahangnya yang menonjol semakin menegaskan sikap kerasnya. Giginya yang besar-besar membuat dia kelihatan sangar. Layaknya bos saja dia. Memanggil temannya di ujung lapangan yang sedang memasang pagar pembatas dengan muka merah karena panas matahari.
“Sebentar bos!” jawab Jarwo yang merasa dirinya dipanggil laki-laki yang disebutnya bos. Badannya gempal. Dia pasti fitnes setiap hari. Hal itu terlihat dari lengan atasnya yang terlihat berotot, menyembul dari kaos street warna hijau lumut yang dipakainya. Dipadu dengan jins kumal. Mungkin sudah berbulan-bulan tidak dicuci. Dia berdiri sejajar dengan pagar pembatas yang dia gotong-gotong dari pinggir jalan ke arah ujung lapangan sedari tadi. Dia lebih tinggi dari pagar pembatas itu, kemungkinan tingginya bisa mencapai dua meter. Masalahnya, mate line belum saya bawa, jadi belum bisa saya ukur dengan pasti, berapa centi meternya.
Setengah berlari Jarwo mendekati ‘bos’nya.
“Ya bos, ada apa?” terengah-engah dia bertanya pada bosnya.
“Sudah selesai belum pemasangan pagar pembatasnya?” bentak laki-laki itu tanpa memerdulikan tetesan keringat yang memenuhi wajah Jarwo.
“Su-su-su-sudah bos!”
“Bener?”
“Bener bos” gagap Jarwo memberi penegasan pada bosnya.