Beberapa hari ini, publik disuguhi berita mengejutkan tentang proses perceraian antara Ustadz Muhammad al Habsyi dengan sang istri, Putri Aisyah Aminah. Ada yang mengusik hati dan pikiran saya sebagaimana dulu menyimak berita pernikahan kedua Ustadz Abdullah Gymnastiar (AA Gym).
Sebagai perempuan, rasanya sulit menerima kenyataan diduakan. Lhawong selama ini diduakan dengan smartphonesaja sudah ngenes, apalagi diduakan dengan perempuan lain alias dimadu alias diracun... heheheee....
Banyak pro dan kontra yang mengomentari perceraian Ustadz al Habsyi dan istrinya. Pro-kontra dalam konteks ini adalah pro atau kontra terhadap poligami. Bagi yang kontra poligami –seperti saya— mendasarkan pada argumen bahwa perempuan (dan mungkin juga laki-laki) tidak mau dikhianati dengan cara yang tidak fair (memang ada ya ... dikhianati secara fair??).
Menurut kabar burung, MbakPutri merasa sangat sakit hati sekali karena sang Ustadz ternyata sudah menikah sejak tujuh tahun yang lalu dan baru terbongkar sejak Agustus 2016. Saya membayangkan perasaan Mbak Putri, pasti “rontok dan porak poranda” karena kepercayaannya sudah disalahgunakan. Sebagai istri seorang ustadz, beban psikologisnya pasti lebih berat, apalagi Ustadz al Habsyi termasuk salah satu ustadz ganteng yang pasti banyak digandrungi oleh jamaahnya, terutama yang perempuan. Mungkin mbak Putri sudah percaya penuh dan yakin bahwa sang suami bisa menjaga diri dari hal-hal yang tidak disukai dan dibenci istri dimanapun, yaitu lirak-lirik, naksir, tergoda, jatuh cinta dan bahkan sampai menikahi jamaahnya.
Bagi yang pro poligami, argumen yang biasanya dikemukakan adalah “poligami itu dibolehkan oleh agama, bahkan disunnahkan atau malah diwajibkan bagi laki-laki yang dianggap mampu”. Dalil yang biasa digunakan bersumber pada Qur’an surah An-Nisa: 3. Biasanya ayat ini dibaca tidak lengkap alias dipotong bagian tengahnya yang berbunyi: “Fankihu ma thaba lakum min an-nisa matsna watsulasta wa ruba’ (Nikahilah wanita-wanita yang engkau kehendaki dua tiga atau empat).
Jika dibaca lengkap versi ayat tersebut bukanlah seperti yang banyak didakwahkan oleh aliran propoligami (Silakan di cek sendiri di Al Qur’an dan Tafsirnya). Argumen lain yang dikemukakan adalah bahwa poligami adalah sunnahNabi Muhammad SAW. Kisah poligami yang dilaksankan Nabi seringkali tidak disampaikan dengan konteks dan informasi yang lengkap.
Bahkan dalam survey kecil-kecilan di kelas ketika kuliah, saya mendapatkan informasi yang mengejutkan: rata-rata mahasiswa tidak tahu jelas tentang poligami Nabi Muhammad SAW. Mereka hanya tahu Nabi berpoligami. Titik. Ketika saya meminta mereka menghitung rentang waktu Nabi bermonogami dan berpoligami, mereka banyak yang terperangah.
Muhammad (25 tahun) menikah dengan Khadijah (40 tahun) pada tahun 595 M dan Khadijah meninggal sekitar tahun 620 M. Nabi tidak pernah melakukan pologami selama 25 tahun pernikahannya dengan Khadijah. Nabi (52 tahun) menikah dengan Saudah binti Zum’ah, seorang janda berumur 70 tahun dan beranak 12, suaminya Sakran bin 'Amr adalah perisai Nabi dalam peperangan.
Satu bulan kemudian Nabi menikahi Aisyah binti Abu Bakar, sahabat Nabi yang termasuk Assabiqunal awwalun (golongan yang pertama menerima dakwah Nabi) dan telah banyak mengorbankan harta benda dan hidupnya untuk membela perjuangan Nabi. Pernikahan Nabi dengan Saudah kalah populer dengan informasi pernikahan Nabi dengan Aisyah yang muda belia (menurut beberapa riwayat berumur 7 tahun ketika menikah dan baru berkumpul dengan Nabi pasca hijrah/setelah 622 M).
Sejarah mencatat Nabi menikah dengan 12 (dari Khadijah sampai Aisyah) perempuan dengan alasan yang kuat atas perintah Allah swt. Namun rentang waktu Nabi menikah poligami sekitar tahun 621 M sampai beliau wafat tahun 632 M hanyalah sekitar 11 tahun saja. Istri-istri beliau setelah Khadijah, Saudah dan Aisyah adalah Zainab binti Jahsy (45 tahun), Ummu Salamah binti Abu Ummayyah (62 tahun), Ummu Habibah Ramlah binti Abu Sufyan (47 tahun), Mariyah al Qibtiyah (25 tahun), Khafsah binti Umar (35 tahun).
Jika dilihat dari konteks sejarah Arab di Mekkah dan Madinah ketika zaman sebelum dan sesudah Nabi, poligami menjadi bagian dari tradisi patriarkhis yang menempatkan perempuan sebagai the second sex, warga kelas dua. Perempuan tidak hanya dianggap sebagai beban bagi keluarga dan suku, mereka diperlakukan seperti barang dan dapat diwariskan.
Poligami yang terjadi pada masa tersebut juga dengan jumlah yang sangat banyak, seseorang bisa berpoligami dengan puluhan sampai ratusan istri. Jadi, dengan kehidupan monogami yang dilaksanakan Nabi selama 25 tahun tentulah hal yang sangat revolusioner pada zamannya. Artinya, poligami tentu bukan anjuran atau sunnah, apalagi kewajiban kecuali dengan alasan yang sangat kuat.
Sebagian muslim yang percaya bahwa poligami adalah sunnah Nabi bahkan masih memegangi aturan bahwa ketika ada seorang laki-laki yang akan menikah lagi maka dia tidak perlu ijin dari istri pertamanya. Itulah mengapa beberapa laki-laki yang berpoligami tidak izin kepada istrinya alias diam-diam, meski alasannya apakah karena yakin dengan aturan tidak perlu izin ataukah takut istri pertamanya akan murka. Hukum positif di Indonesia (UU perkawinan tahun 1974) justru mewajibkan suami harus mendapat persetujuan istri pertama jika akan menikah lagi.
Nah, apa yang terjadi dengan Ustadz al Habsyi atau ustadz yang lain yang berpoligami...........apakah motivasi mereka benar-benar karena menjalankan sunnah atau mereka memanfaatkan sunnah tersebut untuk menyalurkan hasratnya kepada banyak perempuan? Hanya Allah dan ustadz yang tahu. Yang pasti, Mbak Putri Aisyah sedang merepresentasikan hati banyak perempuan di Indonesia yang merasa sangat susah menerima kenyataan bahwa cintanya terbagi dengan perempuan lain. Apalagi sembunyi-sembunyi diduakan. Addduhhh...Sakitttttt Stad.....!!! Ini gatel atau memang sunnah??? Entahlah....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H