Oleh Dr. Sumbo Tinarbuko
Penangkapan Ketua Dewan Perwakilan Daerah Irman Gusman, seperti diwartakan berbagai media massa cetak dan elektronik, membuat kredibilitas pejabat publik kian runtuh. Irman ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi karena diduga ‘’menjual’’ pengaruh dalam mengatur tambahan kuota distribusi gula impor untuk perusahaan bermasalah.
Kasus penangkapan orang nomer satu di Dewan Perwakilan Daerah menguatkan tengara budaya jual beli pengaruh di zaman budaya instan ini mendapatkan tempat empuk. Berasa lezat. Bahkan bagi para pelakunya senantiasa membangkitkan adrenalin yang membahagiakan.Â
Siapa pun memiliki hak merintis karir sekaligus memantapkannya secara profesional sebagai pebisnis jual beli pengaruh. Tentu syaratnya harus punya pengaruh yang besar sekaligus kuat. Harus pula pandai memengaruhi dan piawai memilin kata-kata manis nan meyakinkan dalam kemasan janji politik. Caranya sangat mudah. Cukup dengan modal sosial ‘’sepik-sepik’’ - demikian istilah gaul anak muda sekarang – serta ditingkahi derai tawa bergembira ria, hasil finansial yang didapatkan sangat menyejahterakan. Timbunan fulus pun dalam sekejap memenuhi rekening bank pihak pebisnis dagang pengaruh yang sedang menjalankan prosesi jual beli pengaruh.
Pada titik ini, parapihak yang terlibat dan melibatkan diri dalam prosesi jual beli pengaruh layak mendapat bintang besar sebagai orang yang sukses hidup dalam cengkeraman budaya instan. Rangkaian budaya baru yang pranata sosialnya tanpa melibatkan ritual proses panjang. Sangat ringkas, padat cepat. Cukup mengucap mantra simsalabim tiga kali, semuanya tersaji hangat, lezat, nikmat, dan sangat membahagiakan.
Benarkah demikian? Tentu pembaca dapat menjawabnya sendiri secara arif dan bijaksana.
Mulutmu Harimaumu   Â
Mulut dengan perangkat kerasnya,  terdiri dari lidah dan suara tanpa kontrol otak adalah piranti ‘pembunuh’ paling tajam. Ketika mulut menyuarakan realitas visual yang dipungut sepihak dari pikiran tanpa konsultasi hati nurani, maka mulut pun akan mengeluarkan kata-kata kurang elok didengar. Hati pun menganga perih merasakannya. Singkatnya, keadaan semacam itu dipahami dengan sebutan komunikasi ‘mulutmu harimaumu’.   Â
Celakanya, dari hari ke waktu, pengikut komunikasi ‘mulutmu harimaumu’ semakin merebak. Lebih celaka lagi, tokoh masyarakat, pejabat publik dan anggota dewan acapkali menggunakan pendekatan komunikasi ‘mulutmu harimaumu’ dalam menyampaikan kehendak hati dan pikirannya pada masyarakat luas. Mereka sengaja mengeluarkan pernyataan kontroversial tanpa dilandasi pemikiran matang seturut dengan kematangan usianya. Mereka berkomunikasi ala komunikasi ‘mulutmu harimaumu’ demi mengejar popularitas diri agar menjadi bagian dari realitas media. Mereka menyeriusi diri dengan mengeluarkan pendapat  berikut kebijakan yang disandarkan pada trend komunikasi ‘mulutmu harimaumu’ agar golongan kecil yang mendukungnya terpuaskan untuk kemudian mendukungnya pada periode perebutan kekuasaan berikutnya.    Â
Orang Jawa membaca pendekatan komunikasi ‘mulutmu harimaumu’ ala tokoh masyarakat, pejabat publik atau pun anggota dewan memaknainya sebagai orang yang mengedepankan sifat ‘adigang, adigung, adiguna. Mereka adalah sekelompok orang ‘beruntung’ yang mengingkari dirinya ketika dipercaya memegang payung kekuasaan. Dengan hatinuraninya, rakyat menilai, tokoh masyarakat, pejabat publik dan anggota dewan seperti itu, yang memosisikan jabatan publik bukanlah sebuah amanah untuk membaktikan dirinya sebagai pelayan masyarakat.  Â
Hal itu terjadi, karena tuturan budi bahasanya tidak sejalan dengan perilakunya. Oleh sebab itu, dalam setiap langkahnya, mereka senantiasa memparodikan nasihat luhur  nenek moyang yang semula tertulis: ‘sepi ing pamrih, rame ing gawe’ menjadi ‘sepi ing gawe, rame ing pamrih.’ Artinya, secara semiotika, tokoh masyarakat, pejabat publik dan anggota dewan yang seperti itu adalah representasi dari pribadi serakah. Maunya untung sendiri. Sukanya menang sendiri. Mengejar hidup nyaman tanpa mau berupaya dan bekerja keras demi menyejahterakan serta mengayomi rakyatnya.
Falsafah  Nginang Â
Agar pejabat publik, anggota dewan dan tokoh masyarakat dalam proses pengabdiannya tidak menjalankan komunikasi ‘mulutmu harimaumu’  dan menjauhkan diri terlibat laku negatif jual beli pengaruh, seyogianya mereka menempa diri lewat falsafah ‘nginang’ (mengunyah sirih). Ritual mengunyah sirih bagi masyarakat Jawa, diawali melinting daun sirih hijau, di dalamnya diisi secuil gambir diolesi injet (cairan gamping). Berikutnya, daun sirih dikunyah lumat. Makna konotasinya, seorang pemimpin sebelum menyatakan dan memutuskan kebijakan, harus mengolah berbagai hal berasal dari beragam sumber secara bijaksana. Setelah dikunyah, dibaluri irisan tembakau yang dibalurkan di mulutnya demi membersihkan cepretan air ludah. Maknanya, setelah ditimbang  baik buruknya, masih harus dipilah dipilih untung ruginya. Selanjutnya ditentukan sisi positifnya dan dipilah pula sudut elok kebermanfaatnya bagi seluruh masyarakat.   Â
Terakhir, air ludah berwarna merah hasil prosesi ‘nginang’ diludahkan ke paidon (tempat idu alias ludah). Maknanya,  seorang pemimpin akan mengeluarkan keputusan sebijaksana mungkin setelah menimbang berbagai hal lewat beragam referensi atau pun saran positif dari berbagai pihak yang berkompeten.   Â
Lewat falsafah ‘nginang’, sang pemimpin akan mengeluarkan kebijaksanaan dengan sangat  bijaksana. Dalam konteks ini, saat pemimpin sudah memutuskan sesuatu hal yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, maka diharapkan memberikan kebermanfaatan bagi seluruh umat. Untuk itu menurut falsafah ‘nginang’ pantang bagi para tokoh masyarakat, pejabat publik dan anggota dewan untuk menghisap kembali air ludah yang sudah dikeluarkannya.  Â
Falsafah ‘nginang’ senantiasa mengajarkan perihal kebaikan kepada umat manusia untuk selalu menyelaraskan serta memikirkan dengan matang antara tuturan budi bahasa dan laku perilaku perbuatan kita. Falsafah ‘nginang’ mengajarkan kepada tokoh masyarakat, pejabat publik, dan anggota dewan yang tergabung dalam kelompok pelayan masyarakat untuk selalu berkata benar dan bertindak sebenar-benarnya. Karena itulah, falsafah ‘nginang’ mengharamkan suara kontroversial, pendapat subyektif dan jual beli pengaruh seperti yang terjadi selama ini.
(Dr. Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta | Follow Instagram: @sumbotinarbuko | Twitter: @sumbotinarbuko | Facebook: @sumbotinarbuko)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H