Falsafah  Nginang Â
Agar pejabat publik, anggota dewan dan tokoh masyarakat dalam proses pengabdiannya tidak menjalankan komunikasi ‘mulutmu harimaumu’  dan menjauhkan diri terlibat laku negatif jual beli pengaruh, seyogianya mereka menempa diri lewat falsafah ‘nginang’ (mengunyah sirih). Ritual mengunyah sirih bagi masyarakat Jawa, diawali melinting daun sirih hijau, di dalamnya diisi secuil gambir diolesi injet (cairan gamping). Berikutnya, daun sirih dikunyah lumat. Makna konotasinya, seorang pemimpin sebelum menyatakan dan memutuskan kebijakan, harus mengolah berbagai hal berasal dari beragam sumber secara bijaksana. Setelah dikunyah, dibaluri irisan tembakau yang dibalurkan di mulutnya demi membersihkan cepretan air ludah. Maknanya, setelah ditimbang  baik buruknya, masih harus dipilah dipilih untung ruginya. Selanjutnya ditentukan sisi positifnya dan dipilah pula sudut elok kebermanfaatnya bagi seluruh masyarakat.   Â
Terakhir, air ludah berwarna merah hasil prosesi ‘nginang’ diludahkan ke paidon (tempat idu alias ludah). Maknanya,  seorang pemimpin akan mengeluarkan keputusan sebijaksana mungkin setelah menimbang berbagai hal lewat beragam referensi atau pun saran positif dari berbagai pihak yang berkompeten.   Â
Lewat falsafah ‘nginang’, sang pemimpin akan mengeluarkan kebijaksanaan dengan sangat  bijaksana. Dalam konteks ini, saat pemimpin sudah memutuskan sesuatu hal yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, maka diharapkan memberikan kebermanfaatan bagi seluruh umat. Untuk itu menurut falsafah ‘nginang’ pantang bagi para tokoh masyarakat, pejabat publik dan anggota dewan untuk menghisap kembali air ludah yang sudah dikeluarkannya.  Â
Falsafah ‘nginang’ senantiasa mengajarkan perihal kebaikan kepada umat manusia untuk selalu menyelaraskan serta memikirkan dengan matang antara tuturan budi bahasa dan laku perilaku perbuatan kita. Falsafah ‘nginang’ mengajarkan kepada tokoh masyarakat, pejabat publik, dan anggota dewan yang tergabung dalam kelompok pelayan masyarakat untuk selalu berkata benar dan bertindak sebenar-benarnya. Karena itulah, falsafah ‘nginang’ mengharamkan suara kontroversial, pendapat subyektif dan jual beli pengaruh seperti yang terjadi selama ini.
(Dr. Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta | Follow Instagram: @sumbotinarbuko | Twitter: @sumbotinarbuko | Facebook: @sumbotinarbuko)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H