Mohon tunggu...
Sumbo Tinarbuko
Sumbo Tinarbuko Mohon Tunggu... -

dosen komunikasi visual isi yogyakarta | konsultan komunikasi visual | pemerhati budaya visual | penulis buku dekave penanda zaman masy global, semiotika komunikasi visual, iklan politik dalam realitas media | relawan komunitas reresik sampah visual | http://sumbotinarbuko.com/cv-sumbo | instagram: @sumbotinarbuko | twitter: @sumbotinarbuko | facebook: @sumbotinarbuko

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Budaya Jual Beli Pengaruh

21 September 2016   21:11 Diperbarui: 21 September 2016   21:24 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Falsafah  Nginang  

Agar pejabat publik, anggota dewan dan tokoh masyarakat dalam proses pengabdiannya tidak menjalankan komunikasi ‘mulutmu harimaumu’  dan menjauhkan diri terlibat laku negatif jual beli pengaruh, seyogianya mereka menempa diri lewat falsafah ‘nginang’ (mengunyah sirih). Ritual mengunyah sirih bagi masyarakat Jawa, diawali melinting daun sirih hijau, di dalamnya diisi secuil gambir diolesi injet (cairan gamping). Berikutnya, daun sirih dikunyah lumat. Makna konotasinya, seorang pemimpin sebelum menyatakan dan memutuskan kebijakan, harus mengolah berbagai hal berasal dari beragam sumber secara bijaksana. Setelah dikunyah, dibaluri irisan tembakau yang dibalurkan di mulutnya demi membersihkan cepretan air ludah. Maknanya, setelah ditimbang  baik buruknya, masih harus dipilah dipilih untung ruginya. Selanjutnya ditentukan sisi positifnya dan dipilah pula sudut elok kebermanfaatnya bagi seluruh masyarakat.      

Terakhir, air ludah berwarna merah hasil prosesi ‘nginang’ diludahkan ke paidon  (tempat idu alias ludah). Maknanya,  seorang pemimpin akan mengeluarkan keputusan sebijaksana mungkin setelah menimbang berbagai hal lewat beragam referensi atau pun saran positif dari berbagai pihak yang berkompeten.     

Lewat falsafah ‘nginang’, sang pemimpin akan mengeluarkan kebijaksanaan dengan sangat  bijaksana. Dalam konteks ini, saat pemimpin sudah memutuskan sesuatu hal yang terkait dengan hajat hidup orang banyak, maka diharapkan memberikan kebermanfaatan bagi seluruh umat. Untuk itu menurut falsafah ‘nginang’ pantang bagi para tokoh masyarakat, pejabat publik dan anggota dewan untuk menghisap kembali air ludah yang sudah dikeluarkannya.    

Falsafah ‘nginang’ senantiasa mengajarkan perihal kebaikan kepada umat manusia untuk selalu menyelaraskan serta memikirkan dengan matang antara tuturan budi bahasa dan laku perilaku perbuatan kita. Falsafah ‘nginang’ mengajarkan kepada tokoh masyarakat, pejabat publik, dan anggota dewan yang tergabung dalam kelompok pelayan masyarakat untuk selalu berkata benar dan bertindak sebenar-benarnya. Karena itulah, falsafah ‘nginang’ mengharamkan suara kontroversial, pendapat subyektif dan jual beli pengaruh seperti yang terjadi selama ini.

(Dr. Sumbo Tinarbuko, Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta | Follow Instagram: @sumbotinarbuko | Twitter: @sumbotinarbuko | Facebook: @sumbotinarbuko)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun