Mohon tunggu...
sumaryati
sumaryati Mohon Tunggu... Ilmuwan - fotoku

Pernah belajar di jurusan fisika UGM, teknik lingkungan ITB, dan university of life

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Al Quran Bicara tentang Hujan

20 Mei 2020   06:39 Diperbarui: 20 Mei 2020   06:44 188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Hujan merupakan bagian dari siklus air yang sangat bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan di Bumi. Namun demikian hujan juga merupakan salah satu penyebab bencana alam yang merusak dan berbahaya, bahkan mematikan yang disebut bencana hidrometeorologi. Hujan menjadi bencana jika kuantitasnya ekstrim, baik ekstrim sangat besar maupun ekstrim sangat kurang. Begitu eratnya kaitan antara hujan dengan kehidupan manusia, banyak ayat Al Quran yang menyebut tentang hujan.

Dalam Al Quran, hujan dinyatakan dalam beberapa istilah. Sesuai urutan ayat dalam mushaf Al Quran, pertama kali hujan disebut dalam surat Al Baqoroh ayat 19 dengan istilah shoyyibun, dan istilah itu menjadi doa ketika turun hujan, "Allahumma shoyyiban nafin (Ya Allah, jadikan hujan ini yang bermanfaat)". 

Kata yang banyak digunakan untuk menyebut hujan adalah ghoitsun (QS. 31: 10, 34; 42: 28; 57:20) atau dalam bentuk fil majhul (kata kerja pasif) yaitu yughootsu yang artinya diberi hujan (QS. 12:49). Penyebutan hujan yang lain yang juga digunakan untuk menyebutkan hujan adalah wabilun (QS. 6: 6; 11:52; 71:11) dan midroron (QS. 2: 264,265) yang diartikan hujan lebat. Ada juga isilah mathoro, namun mathoro digunakan untuk menyebutkan hujan batu atau hujan yang sifatnya azab dari langit, seperti yang pernah ditimpakan pada kaum Sodom ummat Nabi Luth yang durhaka dengan perbuatan dosa besar semacam LGBT (QS. 7:84; 8:32; 11: 82).  

Penyebutan paling banyak dalam Al Quran menggunakan dengan kalimat anzala minassamaa-i maa-an (Allah yang telah menurunkan air dari langit) atau kalimat sejenisnya, pertama kali disebut dalam surat Al Baqoroh ayat 22. Allah telah menurunkan hujan dari langit (atmosfer) dapat disederhanakan dengan istilah hujan namun juga mengandung pengertian bahwa air di Bumi berasal dari atmosfer yang turun melalui proses yang disebut hujan. 

Berdasarkan teori proses evolusi pembentukan Bumi yang diawali dengan nebula, sekitar (3,3 - 4,5) milyar tahun yang lalu (calon) atmosfer Bumi memiliki kandungan uap air yang sangat tinggi sampai lebih dari setengahnya. Memasuki eon archean sekitar 4, 1 milyar tahun yang lalu Bumi mengalami pendinginan yang mengakibatkan terjadinya kondensasi uap air tersebut secara besar-besaran dan turun menjadi hujan. Proses hujan ini berlangsung sangat lama sekitar satu milyar tahun sehingga mengisi segala permukaan Bumi dan membentuk lautan.

Sampai sekarang hujan masih terus berlangsung, tetapi bukan hujan yang menguras air yang ada di atmosfer untuk diturunkan ke Bumi. Hujan yang terjadi sekarang merupakan bagian dari siklus hidrologi yang memutar air dalam seluruh sistem yang ada di planet Bumi. Air berputar, air di lautan dan juga di daratan (hidrosfer) menguap ke atmosfer, kemudian turun ke daratan (litosfer) sebagai hujan, di daratan air meresap ke dalam tanah dan mengalir menuju ke lautan, dan dalam perjalanannya ke lautan air dimanfaatkan dalam kehidupan di Bumi dan ada yang langsung menguap ke atmosfer. Hujan air juga merupakan salah satu bagian dari parameter iklim yang ada di planet Bumi dan tidak dijumpai di planet lain

Air di Bumi berasal dari atmosfer merupakan unsur utama kehidupan (waja'alna minal maa-i kulli syai-in hayyi  dari air Kami jadikan semua kehidupan, QS. 21: 30). Sejarah kehidupan di Bumi dimulai setelah adanya air hujan yang turun ke Bumi di masa lampau sekitar 4,1 milyar tahun yang lalu, yang diawali dengan makhluk hidup yang sangat sederhana yaitu makhluk hidup bersel tunggal cyanobacteria. 

Setelah itu, dilanjutkan dengan proses fotosintesa makhluk hidup yang ada di Bumi dan akhirnya berkembanglah dengan cepat keanekaragaman kehidupan yang ada di Bumi, sehingga Bumi siap menjadi tempat hunian untuk Nabi Adam dan isterinya beserta anak keturunannya, sampai kita manusia pada jaman ini.

Selain sebagai unsur utama kehidupan, air (hujan) juga memelihara keberlangsungan kehidupan yang ada di Bumi. Dalam Al Quran banyak disebutkan "dengan air hujan, Allah menghidupkan kembali Bumi setelah matinya", antara lain dalam surat An Nahl ayat 65. Savana yang kering kerontang, biji-bijian dan akar bahar yang tidak memperlihatkan tanda kehidupan pada musim kemarau, setelah turun hujan berubah menjadi tanaman yang subur.

Air hujan melewati atmosfer yang banyak mengandung unsur nitrogen menjadi pupuk yang bagus buat tanaman, maka dengan air hujan itulah Allah mengeluarkan rizki berupa bahan pangan (tsamaroti). Kita banyak diingatkan akan nikmat hujan sebagai sumber rejeki berupa tsamaroti antara lain dalam surat  Al Baqoroh ayat 22. 

Manfaat hujan yang lain adalah sebagai sarana untuk bersuci (QS. 8: 11). Selain air digunakan untuk mensucikan badan dari hadast, air  bersifat pelarut yang baik yang dapat membersihkan segala macam kotoran, bahkan kotoran (zat pencemar) yang ada di atmosfer dapat dibersihkan oleh air hujan.

Oleh karena itu, baik secara langsung maupun tidak langsung air hujan merupakan kebutuhan vital dalam kehidupan manusia. Karenanya, musim kemarau yang panjang merupakan suatu bencana yang mengancam kehidupan manusia. Bencana kemarau panjang pernah ditimpakan kepada Firun dan pengikutnya (QS. 7: 130) sebagai hukuman akibat perilaku mereka yang mengingkari Allah dan kerasulan Musa serta perilaku mereka yang berbuat sewenang-wenang dan suka membuat kerusakan di Bumi ( QS. 89: 10-13). 

Jika kekeringan ditimpakan kepada Firun, hal sebaliknya yaitu kondisi dengan kelebihan air berupa banjir bandang atau tsunami pernah ditimpakan kepada kaum Nabi Nuh yang dholim hingga mereka binasa (QS. 11: 40-44).

Air hujan, baik kekurangan maupun kelebihan dapat menjadi bencana sebagai hukuman bagi suatu kaum yang berdosa. Yang perlu diperhatikan bahwa dampak dari bencana bukan hanya menimpa pada kaum yang berbuat dosa saja tetapi juga ditanggung oleh seluruh masyarakat meskipun tidak berbuat dosa. 

Ada dua jenis dosa yang dapat menyebabkan air hujan ini menjadi bencana. Pertama dosa kepada Allah, karena menyekutukan dan melawan perintah Allah. Bencana banjir atau kekeringan dapat ditimpakan kepada mereka yang durhaka kepada Allah seperti yang terjadi pada Nabi Nuh dan Firun.

Dosa yang kedua adalah dosa kepada lingkungan alam sekitar. Sudah menjadi sunnatullah, dalam siklus hidrologi air hujan turun ke Bumi sebagian menguap kembali ke atmosfer, sebagain meresap ke dalam tanah dan sisanya mengalir di permukaan. Air hujan yang meresap ke dalam tanah akan menjadi aliran-aliran air (sungai) dalam tanah (..., dan Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di bawah mereka, ... QS. 6: 6). 

Aliran-aliran air dalam tanah tersebut pada suatu tempat secara alami keluar sebagai mata air atau dengan campur tangan teknologi manusia dibuatlah sumur oleh manusia. Aliran air dalam tanah maupun yang keluar sebagai mata air menjadi sungai mengalir menuju laut. Tetapi karena hak air hujan untuk meresap ke dalam tanah dirampas, semua permukaan Bumi ditutup untuk resapan air maka muncullah banjir yang kadang diiringi dengan tanah longsor karena dipicu dosa lain yaitu merusak lahan pada topografi miring.

 Agar hujan tidak menjadi bencana maka kuncinya adalah jangan berbuat dosa, baik dosa kepada Allah maupun dosa kepada alam, dan agar hujan dapat bermanfaat secara optimum maka harus ada pengelolaan dengan benar. Prinsip dasar untuk pengelolaan hujan adalah mengetahui karakter curah hujan pada suatu daerah dan prediksi curah hujan di masa mendatang. B

agaimana pola curah hujan secara temporal dan spasial pada kondisi normal dan dapat memprediksi kejadian yang akan datang terutama jika terjadi anomali dari kondisi normal merupakan dasar pengelolaan curah hujan. Bagaimana membangun infrastruktur untuk menyimpan air hujan dalam tanah, bagaimana menysun kalender tanam, bagaimana menyusun agenda kegiatan dan lain sebagainya dapat memanfaatkan perkiraan curah hujan secara spatial maupun temporalnya.

 Sejarah pengelolaan curah hujan berdasarkan prediksi penyimpangan curah hujan dari kondisi normal sudah dilakukan oleh Nabi Yusuf (QS. 12: 43-55) dengan sukses. Nabi yusuf memprediksi hujan berdasarkan takwil mimpi sang Raja dengan bimbingan wahyu Ilahi dan memanfaatkan prediksinya itu untuk mengelola sumber daya yang di negaranya, sehingga mereka tidak kelaparan ketika musim kemarau panjang menimpa.

Wallahu'alam bi showab.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun