Mohon tunggu...
Sumarti Saelan
Sumarti Saelan Mohon Tunggu... Freelancer - FREELANCE

FREELANCE

Selanjutnya

Tutup

Edukasi

Setiap Anak adalah Agen Perubahan

13 Juli 2013   00:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:38 167
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal anak sebagai agen perubahan, sepertinya masih banyak orang berpersepsi atau membayangkan hal-hal yang terlalu tinggi. Seperti anak berprestasi membawa nama Indonesia ke luar Negeri dengan nilai akademik yang spektakuler, mengikuti lomba dan juara olimpiade sains, diundang dan bertemu para orang penting Dunia, anak juara lomba sains, anak atau remaja yang bergabung dan atau mendirikan sebuah komunitas dengan membawa Visi dan Misi kemanusiaan dan tindakan-tindakan nyata di tengah masyarakat. Seperti kampanye, penyuluhan dan lain-lain.

Sebenarnya pendapat itu tidak salah, anak-anak dengan aktifitas dan prestasi tersebut memang layak mendapat predikat agen prubahan. Siapa yang tidak kagum dan iri melihat hal tersebut? Pasti banyak orang tua berdecak kagum dan ingin anaknya juga berprestasi demikian. Begitu juga anak-anak lain yang melihatnya. Pasti juga akan berdecak kagum.

Tapi menurut saya pribadi, setiap anak bisa disebut agen perubahan dari tindakan-tindakan dan ucapan sederhana dan polos mereka setiap hari yang menimbulkan harapan, visi kedepan dan perubahan bagi orang-orang disekitarnya, lingkungan terkecilnya seperti keluarga dan tetangga sekitarnya.

Tinggal kita sebagai orang dewasa yang berada di sekelilingnya menyadarinya atau tidak. Terkadang kita tidak menyadari karena keesgoisan sebagai orang dewasa yang merasa lebih tahu, lebih dewasa, lebih pengalaman. Terutama sebagai orang tua. Terkadang tanpa sadar memiliki doktrin pribadi, bahwa orang tua tidak bisa dan tidak boleh kalah dari anak.

Ini pengalaman nyata saya pribadi.

Saya dan putri saya Alisha yang berusia 4 tahun.

Anak saya Alisha sudah sangat fasih berbicara sejak usia 2 tahun lebih. Pengucapan juga sangat jelas, sehingga kalau protes dan mengucapkan kalimat kritis sudah sangat gamblang.

Suatu saat saya akan pergi ke undangan pernikahan bersama suami. Sebelum mempersipkan diri sendiri saya lebih dulu menyiapkan Alisha. Mandi dan berbaju rapi. Setelahnya saya suruh dia menunggu di luar sambil bermain bersama teman-temannya.

Tak lama setelah selesai dan beres semua dan tinggal berangkat saja, Alisha pulang dengan baju berlepotan es krim coklat. Ternyata dia diberi salah satu tetangga saya es krim yang kebetulan lewat. Haduh Tuhan... tanpa sadar saya langsung kesal dan ngomel sambil menyuruhnya masuk untuk ganti. Sambil melepas bajunya saya masih ngomel. Sudah siap mau berangkat malah masih rempong. Dan tak lama dengan polosnya Alisha berkata.

"Mama marah ya? Katanya main kotor gapapa, nanti bisa di cuci, sekarang kok Icha dimarahin?" Dan spontan saya merasa di tampar dengan kata-katanya. Ya...saya memang pernah mengucapkan hal tersebut beberapa kali. Saat dia minta ijin main pasir, main sumba mainan dan mainan kotor khas anak-anak yang lain. Itulah jawaban saya "gapapa, yang penting selesai main cuci tangan, ganti baju, mainannya juga di cuci dibereskan" dan sekarang saya sendiri yang melanggar kata-kata itu karena kesal dan menjadi tidak sabar untuk kembali membersihkan tubuhnya serta mengganti bajunya karena merasa harus buru-buru untuk pergi.Sekita itu juga saya mengubah kalimat menjadi lebih pelan dan menjelaskan semampu saya dengan baik kenapa saya ngomel.

Padahal kalau dipikir lagi, rumah yang akan di datangi kondangan itu juga tidak akan "lari" jadi datang agak telat pun tidak masalah. Tapi karena saya tidak sabar yang ada adalah inkonsisten terhadap ajaran sendiri. Saya melanggar ajaran yang saya berikan pada anak saya. Dan karena kejadian ini saya jadi berusaha untuk berubah menjadi orang tua yang lebih baik, yang lebih konsisten dan menekan egoisme saya untuk kebaikan perkembangan anak saya. Dan berpikir, baru 4 tahun sudah kritis bagaimana nanti? Kalau saya tidak jadi orang tua yang lebik baik lagi bagaimana jadinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Edukasi Selengkapnya
Lihat Edukasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun