Mohon tunggu...
Sumarno
Sumarno Mohon Tunggu... Buruh - Praktisi Komunikasi dan Media Sosial

Praktisi komunikasi dan media sosial. Saat ini bekerja sebagai karyawan swasta di sebuah perusahaan di bilangan Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berharap Adanya Rekonsiliasi Media Sosial Pasca Pilpres 2024

17 Desember 2024   13:37 Diperbarui: 17 Desember 2024   13:37 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cyberbullying. Sumber: UNICEF

Para elit politik perlu mendamaikan netizen yang masih berseteru, sebab bagaimanapun juga mereka ikut berperan dalam kisruh yang ada. Saat pilpres lalu, media sosial menjadi medan pertempuan terbesar. Kampanye negatif dan hitam bahkan digunakan untuk  menjatuhkan lawan.

Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka telah dilantik secara resmi sebagai Presiden dan Wakil Presiden masa bakti 2024 -- 2029 pada 20 Oktober 2024 di Gedung DPR/MPR, Senayan, Jakarta.

Pasangan Prabowo Subianto -- Gibran Rakabuming Raka menjadi presiden dan wakil presiden terpilih usai meraih 96.214.691 atau 58,59 persen suara. Jumlah itu telah memenuhi paling tidak 20 persen suara di 38 provinsi di Indonesia. Sedangkan kontestan lain, pasangan Anies Rasyid Baswedan -- Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo -- Mahfud MD memperoleh 40.971.906 dan 27.040.878 suara. KPU mencatat total ada 164.227.475 surat suara sah.

Meski pencoblosan pilpres telah usai jauh-jauh hari, perseteruan antar pendukung calon preiden dan wakil presiden di media sosial masih belum menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Masing-masing pendukung masih kerap saling menjelekkan dan menjatuhkan citra idola lawannya. Padahal sudah tidak ada lagi kepentingan elektoral dalam perseteruan yang terjadi. Pesan bernada negatif atau bahkan hoaks yang disebarkan bagaimanapun juga tidak akan menambah atau mengurangi jumlah pemilih.

Celakanya, netizen masih dijejali berbagai pesan bernada permusuhan, baik oleh buzzers (pendengung) atau akun biasa. Alih-alih terjadi rekonsiliasi, masing-masing pendukung justru melabeli negatif satu sama lain. Pendukung Anies -- Muhaimin dicap sebagai "Anak Abah", yang tidak terima dengan hasil pilpres. Mereka yang pernah memilih Prabowo -- Gibran dicap hanya memiliki "IQ 58". Angka 58 mengacu persentase kemenangan Prabowo -- Gibran pada pilpres yang mencapai 58.6%. Pendukung Ganjar -- Mahfud kerap disebut sebagai penyuka 'chudai'. Istilah chudai merujuk pada konten-konten bersifat vulgar di media sosial X (dahulu bernama Twitter). Sebelumnya, Ganjar Pranowo pernah mengungkapkan suka menonton film dewasa di sebuah siniar pada 2019.

Ilustrasi cyberbullying. Sumber: UNICEF
Ilustrasi cyberbullying. Sumber: UNICEF

Perilaku bullying atau perundungan  itu membuat netizen sulit move on. Berbeda dengan perundungan di dunia nyata yang saling berhadapan atau face to face, perundungan lewat media sosial atau cyberbullying jauh lebih berdampak negatif karena tidak terbatas ruang dan waktu. Tindakan atau pesan bernada perundungan bisa dilihat 24 jam, setiap korban perundungan bermedia sosial, serta bisa dilakukan oleh pelaku perundungan kapan dan di mana pun.

Paparan cyberbullying dapat semakin intens mengingat konsumsi media sosial di Indonesia cukup tinggi. Orang Indonesia rata-rata menghabiskan 3 jam 11 menit untuk berselancar di media sosial (We Are Social, 2024). Cyberbullying adalah perilaku membahayakan atau merugikan yang disengaja dan berulang-ulang yang ditimbulkan melalui penggunaan komputer, ponsel, dan perangkat elektronik lainnya (Hinduja, S & Patchin, J, 2023).

Perundungan itu membuat luka batin, yang didapat dari banyaknya hate speech atau ujaran kebencian selama pilpres lalu, makin tidak tersembuhkan. Menurut hasil riset Monash Data dan Democracy Research Hub (MDDRH) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI), ada 120.000 twit atau konten mengandung ujaran kebencian seputar pemilu di X. Di Facebook, konten sejenis mencapai 57.000, sedangkan di Instagram ditemukan ada 4.472 konten.

Associate Professor Program Manajemen Kebijakan Publik Monash University Indonesia, Ika Idris menyebut ujaran kebencian itu beramplifikasi besar di media sosial. Konten di X mencapai 51 miliar impression dengan jumlah likes 18 juta, replies 1 juta, dan retweets sebanyak 6 juta. Impression atau impresi adalah jumlah berapa kali sebuah konten dilihat pengguna X. Di Instagram, engagements yang mengandung ujaran kebencian juga tidak kalah tinggi. 4.472 konten yang berhasil dipantau dikomentari 9 juta kali dan disukai sebanyak 181 juta (Kompas.com, 2024). Engagement diartikan sebagai jumlah interaksi di sebuah unggahan. Interaksi berupa likes, komentar, dan share.

Ilustrasi ujaran kebencian. Sumber: UNESCO   (Countering Hate Speech) 
Ilustrasi ujaran kebencian. Sumber: UNESCO   (Countering Hate Speech) 

Menurut Isabel Fermida (2023), sebuah ujaran disebut sebagai ujaran kebencian apabila memenuhi sejumlah persyaratan. Dikatakan sebagai ujaran kebencian apabila konten yang dibagikan mengandung prasangka, memiliki pesan yang merugikan, bertujuan membahayakan orang atau kelompok lain (diskriminasi, memarjinalkan atau mengucilkan), dilakukan oleh kelompok mayoritas, serta disebarluaskan secara cepat.

Ujaran kebencian telah menjadi perhatian dunia. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) bahkan sampai perlu membuat rencana aksi dan strategi untuk mengatasi permasahan tersebut. Dalam ranah digital, PBB dalam panduan strateginya mendukung terciptanya generasi baru warganet yang berdaya dalam mengenali, menolak, dan melawan ujaran kebencian (United Nation, 2019).

Besarnya perhatian PBB terhadap topik ini tidak terlepas dari daya rusak ujaran kebencian yang begitu besar. The United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization atau UNESCO menilai ujaran kebencian bisa menyebabkan kerugian pada tingkat pribadi dan dapat memicu kekerasan, termasuk serangan terhadap inklusi, keberagaman, dan hak asasi manusia (HAM) (UNESQO, 2024).

Perundungan dan ujaran kebencian di media sosial mencerabut kebebasan kita sebagai manusia. Keduanya menimbulkan trauma, ketakutan, dan dendam tidak berkesudahan. Oleh karenanya, cara tidak beretika ini harus dihentikan demi terciptanya kehidupan politik yang lebih sehat dan bermartabat.

Netizen perlu menyadari bahwa konflik di media sosial hanya akan membuat satu sama lain terus "terluka". Mereka juga tidak mendapatkan keuntungan apapun dari perseteruan itu. Mereka yang kerap berselisih perlu berkaca dari para elit politik yang sudah legowo dan move on dengan hasil pilpres.

Para elit paham, setelah cara-cara konstitusional untuk menggugat kemenangan Prabowo -- Gibran kandas di Mahkamah Konstitusi (MK) kandas, tidak ada upaya lain selain mengakui kemenangan keduanya. Di saat netizen masih meributkan kontestasi politik lima tahunan yang telah usai, para politisi sudah fokus ke kontestasi pemilihan kepala daerah serentak yang berlangsung pada 27 November 2024. Para partai pengusung capres dan cawapres, yang sebelumnya bersebrangan, telah saling bekerja sama di ajang tersebut.

Para elit politik perlu mendamaikan netizen yang masih berseteru, sebab bagaimanapun juga mereka ikut berperan dalam kisruh yang ada. Saat pilpres lalu, media sosial menjadi medan pertempuan terbesar. Kampanye positif, negatif, hingga hitam di platform itu dilakukan untuk meraih suara. Para pendengung dikerahkan guna mempengaruhi opini publik. Oleh karena itu, peran elit sangat penting agar residu kebencian imbas pemilu dan pilpres 2024 bisa sepenuhnya hilang.

Perlu upaya elit politik atau bahkan presiden terpiih  untuk menyampaikan pesan bahwa pilpres telah berakhir serta meminta publik untuk membuka lembaran baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Penulis membayangkan Anies Baswedan, Muhaimin Iskandar, Prabowo Subianto, Gibran Rakabuming Raka, Ganjar Pranowo, dan Mahfud MD dalam satu meja dalam suasana kehangatan dan persaudaraan.

Pada kesempatan itu, Prabowo menyampaikan pesan bahwa hubungan di antaranya terjalin baik dan sepakat untuk terus memajukan negeri. Ia juga menghimbau masing-masing pendukung untuk saling rangkul, bukan saling pukul. Pesan itu sekaligus peneguhan Prabowo Subianto sebagai Presiden untuk seluruh rakyat Indonesia, bukan hanya untuk pendukungnya sendiri.

Petuah presiden terpilih, yang nantinya akan disebarluaskan berbagai media massa dan sosial, akan memberikan kesejukkan di akar rumput. Enam tahun lalu dalam final cabang olahraga pencak silat Asian Games di Jakarta, publik tanah air pernah mendapat kenangan indah yang menentramkan hati saat Presiden Joko Widodo dan Prabowo Subianto diajak pesilat peraih emas Hanifan Yudani Kusumah berpelukan sambil menyelimuti keduanya dengan bendera merah putih. Momen viral itu berhasil memadamkan bara permusuhan di antara para pendukung keduanya.

Semoga momen serupa tercipta lagi agar rekonsiliasi bisa terwujud, karena publik sudah jengah dengan permusuhan yang terjadi. Setelah itu, kita bekerja sama kembali untuk membangun Indonesia menuju Indonesia Emas 2045. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun