#CollaborationWTPB
Genre: Roman
Judul: Lentera yang Kian Redup
Nama Penulis: Neneng Leni & Sumarjiyati
Kecemasan Seorang Istri
Azan subuh berkumandang, Aira segera bangkit dari tempat tidur. Seperti biasanya, setelah menunaikan kewajibannya kepada sang Khaliq ia berjibaku di dapur untuk menyiapkan sarapan.
Meskipun ada asisten rumah tangga, tetapi Aira tidak lepas begitu saja. Ia tetap menyiapkan segala kebutuhan suami dan anaknya. Mereka adalah  perioritas utama bagi Aira. Walaupun di tengah-tengah kesibukannya sebagai pemilik butik.
"Mas, hari ini boleh tidak aku dan Devan nebeng ikut ke mobil kamu, sekalian kita anterin Devan ke sekolahnya?" ucap Aira di saat mereka sarapan.
"Kayaknya, nggak bisa Ra. Aku buru-buru, sekarang harus sudah berangkat. Karena jam 8 harus sudah mulai rapat." Tanpa menanyakan alasan kepada Aira, lagi-lagi Reihan pergi dengan terburu-buru. Padahal Aira dan Devan pun sudah siap untuk berangkat, dengan pakaian yang sudah rapih hanya tinggal mengambil tas saja.
Dengan menghela nafas panjang, Aira mengeluarkannya perlahan. Ia tak ingin kekecewaannya terlihat oleh Devan.
"Nak, ayok! Sekarang kamu ambil tas nya,"
"Iya, Bu." Tak lama Devan sudah kembali dan menunggu di halaman rumah.
Sementara Aira, masuk ke dalam kamar dan menatap dirinya sendiri lewat cermin. " Ya Rabb, kuatkanlah hambamu ini," lirihnya, sambil mengusap dada.
"Sudah siap!"
"Sudah, Bu. Ayok, buruan!" rengek Devan yang tak sabar.
Aira pun keluar dari halaman rumahnya, dan melajukan mobil dengan kecepatan sedang.
"Buu ... awaaas! Jerit Devan yang berada disampingnya.
"Astaghfirullah, maafkan Ibu, ya Nak. Kamu pasti kaget, ya? Sekali lagi maafkan, Ibu, ya ..."
"Iya, Bu. Lain kali Ibu hati-hati. Memangnya Ibu kenapa? Ibu mikirin apa Bu?"
"Enggak apa-apa Devan, Ibu itu hanya ngantuk saja. Jadi, ya ... gini deh"
Selama dalam perjalanan Aira tidak fokus menyetir, sehingga beberapa kali hampir saja ia mengalami kecelakaan. Sesampainya di sekolah Devan, Aira tak langsung pergi. Ia memilih berdiam di parkiran dan menenangkan segala perasaan yang mengganggu pikirannya.
Setelah mulai agak tenang, ia gegas melajukan mobilnya menuju butik, sesampainya di sana ia langsung di sambut dengan setumpuk pekerjaan yang membuatnya harus rileks dan tenang.
Ya, tentu saja. Karena selain pemiliknya, ia juga yang menentukan rancangan dan membuat desain sesuai dengan perkembangan model.
Berkali-kali, ia mengusap keringat. Tubuhnya terasa sakit. Sehingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang lebih cepat, agar bisa beristirahat di rumahnya.
"Bu, Devan ambilkan minum hangat ya, Ibu minum," sapa Devan lembut.
Melihat Ibunya berbaring, tak tega rasanya membiarkan sosok yang ia sayang tidak seperti  biasanya.
"Devan, sini sayang," panggil Aira lembut.
Devan berjalan menuju arah suara dan duduk di samping Ibunya yang terkulai lemas di pembaringan.
Jemari Aira memegang lembut tangan Devan.
"Nak, Ibu gak papa, Devan gak usah khawatir. Ibu hanya kecapean banyak kerjaan yang harus  diselesaikan. Nak, sebenarnya Ibu hanya butuh istirahat.
"Tapi, Ibu. Ibu terlihat pucat sekali. Nanti jika Ayah pulang kita berobat ya, Bu." Bujuk Devan.
"Ga usah Devan, Ibu istirahat saja nanti Ibu baikan lagi kok, ok,". Tegas Aira.
"Buu, ..... "desak Devan.
"Ssssst."Aira memeluk devan menenangkan putranya. Padahal sebenarnya Aira begitu lemas, entah beberapa hari ini Aira begitu terpisah dengan kerjaannya. Sementara hati dan perasaannya bergejolak tentang sikap Raihan suaminya yang dingin.
Aira mencari-cari apa sebenarnya yang suaminya mau. Sementara waktu di rumah suami tidak pernah cerita apapun. "Apa yang salah denganku, pikir Aira. Aah sudahlah, yang terpenting aku harus sehat, aku tak mau Devan khawatir denganku.
"Van, untuk malam ini Ibu gak bisa nemenin kamu belajar dan ngerjain tugas ya sayang, maafkan Ibu," tak tega Aira sampaikan hal itu.
"Iya, Bu. Nanti Devan coba belajar sendiri". Jawab Devan.
"Ibu istirahat ya, nanti Devan minta tolong Mb Nik buatin masakan hangat untuk Ibu". Pinta Devan.
"Tidak usah, Nak. Ibu mau istirahat saja. InsyaAllah nanti segera pulih kok". Jawab Aira dengan seulas senyum hiasi wajah ayunya walau jelas di sana Aira terlihat begitu letih.
"Baiklah, Ibu". Devan mengiyakan.
Devan walaupun anak satu-satunya dari keluarga berada,tetapi dia terlatih tidak manja. Aira yang selalu mengajarkan padanya bahwa anak cowok ga boleh manja, harus pinter dan juga mandiri tidak boleh bergantung dengan orang lain. Â
Sama seperti neneknya yang mendidik Aira dengan sikap mandiri. Walau demikian Aira tetaplah Aira. Seorang wanita yang ingin di manja dan di perhatikan lebih oleh suaminya.
Â
Setelah berpamitan Devan pun meninggalkan kamar Ibunya. Sementara Aira terbaring lemas dan berharap suaminya segera pulang dan menghampirinya. Seharian sama sekali tak ada notifikasi chat masuk dari suaminya.
Hampa sepi dan kembali Aira mengenang masa-masa awal menikah bersama Raihan, suaminya. Raihan begitu bersemangat untuk segera meminang Aira padahal waktu itu Aira dan Raihan belum lama berkenalan. Aaah.. Aira sudahlah.
Badan terasa begitu lemas, tetapi mata Aira juga tak kunjung bisa terpejam. Ayolah Ra, ga usah terlalu di pikirkan. Udah watak suamimu begitu. Aira menghibur diri dengan segala asumsinya. Ia tak mau berharap lebih Aira takut kecewa.
Terdengar suara mobil milik suaminya memasuki halaman rumah. Aira ingin segera beranjak dan menghampiri Raihan seperti setiap Aira lakukan jika suaminya pulang. Namun, saat hendak berdiri Aira tiba-tiba terjatuh.
Di saat itu pula Raihan membuka kamar dan menjumpai Aira sudah tergeletak di samping tempat tidur.
"Hai, Ra... kamu kenapa?" Sapa Raihan dengan nada kaget.
"Ra, kamu jangan bercanda. Ayok bangun!"
Gunungkidul, 29 Januari 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H