"Iya, Bu. Lain kali Ibu hati-hati. Memangnya Ibu kenapa? Ibu mikirin apa Bu?"
"Enggak apa-apa Devan, Ibu itu hanya ngantuk saja. Jadi, ya ... gini deh"
Selama dalam perjalanan Aira tidak fokus menyetir, sehingga beberapa kali hampir saja ia mengalami kecelakaan. Sesampainya di sekolah Devan, Aira tak langsung pergi. Ia memilih berdiam di parkiran dan menenangkan segala perasaan yang mengganggu pikirannya.
Setelah mulai agak tenang, ia gegas melajukan mobilnya menuju butik, sesampainya di sana ia langsung di sambut dengan setumpuk pekerjaan yang membuatnya harus rileks dan tenang.
Ya, tentu saja. Karena selain pemiliknya, ia juga yang menentukan rancangan dan membuat desain sesuai dengan perkembangan model.
Berkali-kali, ia mengusap keringat. Tubuhnya terasa sakit. Sehingga akhirnya ia memutuskan untuk pulang lebih cepat, agar bisa beristirahat di rumahnya.
"Bu, Devan ambilkan minum hangat ya, Ibu minum," sapa Devan lembut.
Melihat Ibunya berbaring, tak tega rasanya membiarkan sosok yang ia sayang tidak seperti  biasanya.
"Devan, sini sayang," panggil Aira lembut.
Devan berjalan menuju arah suara dan duduk di samping Ibunya yang terkulai lemas di pembaringan.
Jemari Aira memegang lembut tangan Devan.
"Nak, Ibu gak papa, Devan gak usah khawatir. Ibu hanya kecapean banyak kerjaan yang harus  diselesaikan. Nak, sebenarnya Ibu hanya butuh istirahat.
"Tapi, Ibu. Ibu terlihat pucat sekali. Nanti jika Ayah pulang kita berobat ya, Bu." Bujuk Devan.
"Ga usah Devan, Ibu istirahat saja nanti Ibu baikan lagi kok, ok,". Tegas Aira.
"Buu, ..... "desak Devan.
"Ssssst."Aira memeluk devan menenangkan putranya. Padahal sebenarnya Aira begitu lemas, entah beberapa hari ini Aira begitu terpisah dengan kerjaannya. Sementara hati dan perasaannya bergejolak tentang sikap Raihan suaminya yang dingin.