Pada 8 tuntutan yang disampaikan melalui laman resmi bcsxpss.com, 2 Maret 2019 BCS antara lain menuntut membentuk divisi khusus marketing dan business development; serta menghapus peran dan posisi ganda dalam manajemen.Selain itu penyelenggaraan pertandingan yang profesiona dan membuat SOP yang jelas dalam perusahaan.
Boikot itu akhirnya berakhir, usai perwakilan BCS bertemu langsung dengan direksi PT PSS di Pendopo Rumah Dinas Bupati Sleman, 7 Maret 2019 malam. Kedua pihak menandatangani nota kesepahaman.
Sedangkan dalam kasus suporter Y, hanya dijelaskan 'boikot dilakukan hingga persoalan tuntas (clear)." Tidak jelas apa maksud sudah clear itu. Bila mengacu pada tagar 19 November 2019, tuntutan itu telah terwujud dengan kembalinya Y ke rumahnya.
Apakah BCS menginginkan manajemen mencabut pengaduan atas perbuatan yang dilakukan Y, sehingga polisi tidak lagi mengejar R yang menjadi saksi kunci atas pemasangan poster tersebut?.
Pencabutan itu bisa saja dilakukan oleh pihak manajemen SCH yang melaporkan ke pihak Polsek Sleman. Dikenakannya pasal 310 KUHP terhadap Y tentang pencemaran nama baik yang dikenal dengan "penghinaan" memang merupakan delik aduan. "Menghina" dapat diartikan sebagai menyerang kehormatan dan nama baik seseorang.
Namun perlu diingat, pencabutan itu dapat dilakukan jika BCS yang berinisiatif menemui Soekeno atau melalui mediasi untuk rembug kekeluargaan itu. Bukankah suporter bagian dari keluarga sebuah tim, yang tentunya soal rembugan bukan hal asing.
Jika BCS tak mau melakukan dialog itu, karena tetap dilakukannya boikot tak hanya merugikan PS Sleman tapi juga diri BCS sendiri yang punya nama besar. Bahkan kelompok suporter ini pernah dinobatkan sebagai suporter terbaik di Asia pada tahun 2017 oleh Copa90, sebuah media digital sepak bola.
Dipulangkannya Y sendiri sudah menjadi jawaban jelas atas tagar yang jadi viral tersebut. Bila hal itu masih dianggap belum tuntas, belum clear, masyarakat bisa mempertanyakan ada apa di balik kengototan melakukan boikot?.
Kengototan seperti itu juga bisa menjadi preseden tidak baik bagi semua pihak, tak hanya bagi suporter. Nantinya, pelanggaran hukum (tindakan pidana) oleh suporter dianggap biasa, sah saja. Isyu pun dikreasi, dibelokkan seperti pengaduan ke kepolisian sebagai efek jera dianggap sebagai pembungkaman kritik.
Perkembangan isyu sejak disampaikannya tagar #bebaskanyudhiatauboikot sudah bias, misalnya:
1. Suporter tersebut ditahan polisi, padahal kenyataannya ia dibina di Dinas Sosial setempat (Sleman).