Mohon tunggu...
Sumadi JO
Sumadi JO Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

OTT dan Kepala Daerah Perusak Nasionalisme

30 Agustus 2017   12:41 Diperbarui: 30 Agustus 2017   12:49 1414
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pemerintah mulai menggalakan kembali gerakan nasionalisme. Dari mulai pemerintah pusat, DPR, MPR, dan sampai pemerintahan daerah dengan berbagai jenis program. Pada setiap daerah Kabupaten/Kota diharuskan memiliki Pusat Pendidikan Wawasan Kebangsaan (PPWK) yang diisi oleh berbagai komponen masyarakat. 

Asalnya lembaga penjaga wawasan kebangsaan dan nasionalisme secara mutlak milik pemerintah seperti BP7 di era Orde Baru. Presiden Jokowi pada tahun 2017 ini, juga meresmikan lembaga Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP) yang diketuai oleh Yudi Latief.

Mengapa nasionalisme penting bagi bangsa Indonesia? Hasil penelitian ISSP (International Social Survey Programme) yang berbasis di Norwegia pada tahun 1995 (melibatkan 23 negara) dan 2003 (melibatkan 34 negara) menunjukkan terdapat korelasi positif antara semangat kebangsaan dan tingkat kemakmuran sebuah bangsa. Artinya bahwa semangat kebangsaan, rasa memiliki akan bangsanya, dan berperilaku menujukkan kesadaran akan bangsanya akan menjadi faktor penentu kesejahteraan dan kejayaan sebuah bangsa. 

Akan tetapi potret wawasan kebangsaan bangsa Indonesia, tahun 2015 Indonesia menempati urutan ke 95 dari 106 negara yang disurvei. Berdasar pada data ini, pantas bangsa Indonesia masih memiliki berbagai masalah yang serius terkait kesejahteraan warganya.

Perusak Nasionalisme

Tatanan kehidupan di daerah menujukkan pemahaman dan pengamalan yang baik akan nilai-nilai kolektif sebagai bangsa dan negara. Tetapi ada sejumlah masalah yang dapat merusak tatanan nasonalisme yang telah terbangun di tengah-tengah masyarakat. Menurut penelitian dan pengembangan Kompas (Jajak Pendapat, 15/8/2016) merilis hasil surveinya faktor-faktor yang dapat merusak nasionalisme di antaranya: membudayanya ketidak jujuran atau korupsi, kurangnya penegakan hukum, minimnya keteladanan pemimpin sehingga muncul rasa tidak puas pada pemerintahan, minimnya rasa persatuan, sikap fanatik kelompok dan SARA, lunturnya minat budaya dan produk lokal, kondisi perekonomian, dan individualisme atau gotong Royong memudar.

Tingkat korupsi yang tinggi (dengan OTT di dimana-mana banyak kepala daerah tertangkap), keteladanan yang rusak dari pemimpin, dan kurangnya penegakkan hukum menjadi faktor yang merusak nasionalisme. Indonesia masih menduduki tingkat korupsi yang memprihatinkan, yaitu sampai saat ini Indonesia menempati urutan yang 88 dari 168 yang diukur tingkat korupsinya (Corruption Perception Index, 2015, TI). 

Rilis Kejaksaan Agung (data tahun 2015) korupsi di lingkungan pejabat publik Indonesia di daerah yaitu sebanyak 331 orang Kepala daerah, 3.169 orang anggota DPRD, dan Pegawai Negeri sipil 1.211 orang. Termasuk 19 menteri dan pejabat lembaga negara masuk kubangan masalah korupsi. Secara khusus, kementerian dalam negeri memiliki data yang lebih banyak dibanding dengan Kejaksaan Agung tentang kepala daerah yang tersangkut korupsi yaitu 343 orang. Artinya sekitar 70 persen Kepala Daerah dan wakil Kepala Daerah terjerat kasus korupsi baik yang ditangani oleh kepolisian, kejaksaan, dan KPK.

Tingkat korupsi yang tinggi dilakukan oleh sebagaian besar kepala daerah dan atau wakil kepala daerah menujukkan bahwa mayoritas kepala daerah memiliki daya rusak yang dasyat dan masif terhadap nasionalisme. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) telah melaporkan 20 rekening gendut kepala daerah pada penegak hukum sejak tahun 2015. Rekening gendut dimiliki oleh para kepala daerah bupati/wali kota dan gubernur. 10 rekening sedang ditelusuri oleh KPK sisanya oleh kejaksaan agung. 

Korupsi kepala daerah bersumber pada dua lahan basah, yaitu eksploitasi APBD dalam berbagai proyek pembangunan dan eksploitasi sumber daya alam. Oleh karena itu Pemilihan Kepala Daerah yang akan dilaksanakan di beberapa daerah di Tatar Priangan dan Indonesia jangan sampai pemimpin yang terpilih adalah kepala daerah perusak nasionalisme yang memiliki daya destruktif pada masa depan bangsa.

Berguru Nasionalisme dari Pedesaan

Kita patut bercermin pada masyarakat di pedesaan. Jika melihat bentuk aktivitas yang menunjukkan nasionalisme, maka menarik memperhatikan aktivitas masyarakat pedesaan. Misalnya saat menghadapi hari kemerdekaan Republik Indonesia setiap tahunnya. Masyarakat desa selalu menujukkan antusias tingkat tinggi dalam menyambut hari kemerdekaan RI. 

Masyarakat bahu membahu memasang bendera dan umbul-umbul, mengecet jalan dan pagar, membuat gapura, mengadakan berbagai perlombaan, membuat berbagai karya seni untuk ditampilkan dalam rangkaian upacara, memamerkan hasil panen dan perkebunan, dan lain-lain. Semua dikerjakan dengan suka rela dan kesadaran cinta tanah air, bangsa, dan negara. Kita tidak boleh memandang remeh apa yang dikerjakan oleh masyarakat pada umumnya. 

Setidaknya ada sejumlah nilai-nilai yang menjadi keyakinan masyarakat terhadap bangsanya. Yaitu kecintaan atas bangsa dan negara di atas segalanya, rasa gotong royong, dan solidaritas sosial. Tiga nilai ini sesungguhnya yang merupakan nilai dasar pilar nasionalisme. Artinya bagi masyarakat pedesaan sesungguhnya nasionalisme tidak pernah menjadi masalah.

Mengapa masyarakat pedesaan atau daerah memiliki nasionalisme yang lebih baik dibanding dengan masyarakat perkotaan atau pejabat publik? Ada sejumlah argumentasi menarik tentang masyarakat di pedesaan, yaitu: Pertama, pemahaman agama yang baik. Agama mengajarkan kecintaan pada bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Beragama menjadi bagian menjadi sebuah bangsa. Agama dan bangsa menjadi bangunan yang saling menguatkan. 

Oleh karena itu makin baik pemahaman agama yang dimiliki oleh masyarakat di daerah menjadikan sikap terhadap bangsa dan negara positif. Walaupun saat ini banyak sekali ormas, kelompok masyarakat, dan budaya yang menawarkan sejumlah ideologi anti nasionalisme, anti NKRI, dan anti Pancasila tidak membuat runtuh visi dasar masyarakat pedesaan dalam mencintai bangsanya yaitu Indonesia.

Kedua, kesadaran menjadi warga negara yang baik. Saya yakin kesadaran nasionalisme warga masyarakat di pedesaan sangat baik, bukan skedar menjelang agustusan, jika masyarakat jiwa dan raganya untuk bangsa pasti akan siap. Masyarakat daerah pedesaan tidak pernah minta pengampunan pajak. Tanah, kebun, pekarangan, sawah walaupun hasilnya tidak mencukupi untuk kehidupan tetap pajaknya dibayar tepat waktu. Kalau nunggak mereka merasa menjadi warga negara yang tidak bertanggung jawab atas bangsanya. Artinya masyarakat di pedesaan memiliki jiwa rela berkorban demi bangsa dan negara. Tidak seperti gambaran lingkaran orang kaya di Indonesia.

Orang-orang kaya Indonesia termasuk yang menjadi perusak nasionalisme yaitu mereka menolak penurunan bunga deposito (neraca.com/14/9/16). Walaupun Bank Indonesia menurunkan acuan suku bunga (BI rate 25 bps) tidak berpengaruh terhadap kehidupan ekonomi Indonesia penyebabnya 200 ribu deposan yang pastinya orang kaya menguasai 54 persen dana deposito bank di Indonesia menolak peneurunan suku bunga. Berbeda dengan para pengusaha seperti Jepang yang pro terhadap ekonomi rakyat. Mereka rela apapun demi kemajuan dan kesejahteraan bangsanya.

Ketiga, solidaritas sosial yang tinggi. Secara sosiologis masyarakat di daerah memiliki kebersamaan yang tinggi. Dalam sejarah solidaritas masyarakat di pedesaan misalnya, jika ada musibah yang menimpa seseorang atau tetangganya masyarakat tanpa diminta akan berbondong-bondong membantunya. Tradisi membangun rumah masih terawat dengan membantu tentangganya di lingkungan sekitar untuk membantunya, seperti pasang usuk, reng, dan genting. 

Dalam pembangunan, banyak dana aspirasi pembangunan jalan, tetapi masyarakat yang secara gotong royong mengerjakannya. Masyarakat tidak pernah mempersoalkan mengapa pembangunan dan perbaikan jalan hanya disediakan pasir dan semen. Pengerjaannya diserahkan pada masyarakat. Mereka tetap bersyukur dengan bantuan dana aspirasi yang disunat tersebut. Padahal anggaran yang tersedia seharusnya cukup beserta pengerjaannya oleh penanggung jawab proyek. Tetapi karena oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang menjadikan pengerjaan perbaikan jalan-jalan oleh masyarakat. Inilah nasionalisme tingkat tinggi masyarakat pedesaan.

Artinya masyarakat desa memiliki nilai-nilai kolektif sebagai bangsa dan negara Indonesia yang diyakini dan diimplementasikan dalam kehidupan. Tidak seperti potret orang-orang kaya Indonesia dan kepala daerah yang korup yang tidak mau berkorban, malah mengorbankan rakyat banyak untuk individunya. 

Rilis Lingkar Survei Indonesia (2010) ini cocok untuk menilai nasionalisme masyarakat pedesaan 92,1 persen bangga pada bangsa, mengalahkan negara-negara Asean lainnya seperti Malaysia (79, 3 persen), Filipina (87,4 persen), Singapura (86,6 persen), dan Thailand (89, 9 persen). Semoga kita semua menjadi bagian dari penguat nasionalisme, bukan penghacur, sehingga bangsa Indonesia makin sejahtera dan jaya berangkat dari daerah. Amiin.

#SumadiDarussalamCiamis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun