Mohon tunggu...
Sumadi Al-Mitroredjo
Sumadi Al-Mitroredjo Mohon Tunggu... -

Lecturer And Teacher Darussalam Ciamis West Java

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Nikah Siri dan Keluarga Berkesetaraan

14 Desember 2012   02:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:42 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Nikah Siri dan Keluarga Berkesetaraan Islami

Oleh Lilis Nurteti

(Dosen Institut Agama Islam Darussalam Ciamis, Bergiat pada Pusat Studi Perempuan IAID Ciamis)

Kabar Nikah siri yang dilakukan oleh Bupati Garut yang pada awalnya menjadi headline media Kabar Priangan kini telah menjadi headline media nasional baik yang online maupun media cetak dan elektronik. Secara online ribuan media membahas topikpernikahan siri Bupati Garut (silahkan browsing misalnya di google.com atau yang lainnya). Bahkan Presiden SBY juga telah memberikan perintah kepada Mendagri agar kasus Garut dicermati. Sebagaimana dikabarkan di berbagai media tentang perkawinan siri Bupati Garut yang hanya bertahan empat hari dan dilakukan dengan seorang gadis atau masyarakat populernya menyebut dengan ABG.

Dalam berbagai media Bupati Garut telah memberikan klarifikasi tentang pernikahan siri yang dilakukannya, yaitu ia menganggap masalah itu telah selesai beberapa bulan yang lalu dan ia dalam posisi yang benar. Tentu akal sehat siapapun (apalagi sebagai perempuan) berbagai klarifikasi dan bukti otentik tersebut meneguhkan tentang kepastian pernikahan siri yang ia lakukan. Secara hukum negara dan bahkan fiqih sekalipun bagi saya sebetulnya nikah siri adalah bentuk tindakan yang salah. Berkaca pada kasus nikah siri atau dalam ilmu sosial disebut nikah di bawah tangan yang dilakukan pejabat publik atau orang biasa sebetulnya secara prinsip terdapat masalah yang rumit terkait persepsi terhadap perempuan dan relasi antara suami istri dalam sebuah rumah tangga.

Konstruksi Perempuan di Masyarakat

Untuk mrenggambarkan bagaimana perempuan dipersepsi di lingkungan masyarakat saya punya beberapa gambaran. Ada sebuah kisah pasangan suami istri muda yang bertengkar tentang masalah yang dihadapi oleh keduanya. Sang suami yang posisinya sebagai kepala keluarga berbicara dengan nada suara yang keras kepada istrinya. Sang suami menyampaikan sejumlah solusi dan keinginan yang menurut dia harus diikuti dan ditaati oleh istrinya. Akan tetapi dari keinginan dan solusi yang ditawarkan oleh sang suami dianggap oleh sang istri tidak rasional dan tidak sejalan dengan keinginannya. Akhirnya sang istri menyampaikan sejumlah keberatannya. Sang suami karena merasa diri sebagai pemimpin keluarga yang harus ditaati tidak mau menerima saran-saran dari sang istri. Konflik ada mulut akhirnya tidak terhindarkan. Sang mertua dari pihak istri yang kebetulan mendengarkan cek cok atau pertengkaran anak dan menantunya ikut-ikutan memberikan nasehat pada anak perempuannya. “Hai Neng seorang perempuan, seorang istri harus taat kepada suami. Teu sae nembalan ka pameget(tidak baik usul atau menentang laki-laki). Dengan terpaksa dan suasana batin yang masih galau, akhirnya sang istri mengalah dengan hanya diam. Sementara sang suami yang justru mendapat pembelaan dari mertuanya merasa menang dan senang.

Kisah lain masih terkait dengan sebuah relasi dalam keluarga. Ada seorang istri yang berniat melanjutkan studi pada jenjang Program Pascasarjana (S2). Dengan penghasilan yang ia miliki sendiri tanpa bantuan dari suaminya ia berhitung sanggup untuk membiayai kuliahnya di tangan kaki sendiri. Ia kemudian mendaftar untuk studi dengan sejuta harapan dapat meningkatkan ilmu, pengalaman, dan gelar agar kelak menjadi perempuan yang lebih berdaya dan bermanfaat di tengah-tengah masyarakat. Tetapi pandangan dari suaminya berbeda. Ia dilarang untuk menuntut ilmu pada jenjang yang lebih tinggi. Negosiasi antara keduanya menemui jalan buntu. Dengan dalih dan argumentasi apapun yang diberikan oleh seorang istri dianggap tidak memenuhi standar statusnya sebagai istri yang sepenuhnya harus taat dan mengabdi pada suaminya. Akhirnya sang istri harus mengubur dalam-dalam sejuta asa yang diimpikannya. Ia menerima keputusan suami yang tidak menigizikannya studi dengan keterpaksaan dan rasa kecewa yang mendalam.

Kisah-kisah seperti ini hampir menjadi pemandangan yang dapat dijumpai dalam berbagai konflik keluarga yang menempatkan perempuan dalam posisi yang teropresi dan tanpa hak untuk memilih walaupun sebuah kebaikan. Apalagi terkait yang “katanya” hak suami seperti poligami dan nikah siri yang dalam beberapa pandangan agamawan tidak perlu ijin istri. Kadang-kadang masyarakat juga memiliki pemahaman yang kurang tepat dengan menempatkan pihak perempuan pada posisi yang salah. Pantas ada bererapa laki-laki yang menganggap jika perempuan memberikan respon yang berbeda dengan kepentingan atau keinginan laki-laki dianggapnya “awewe calutak”. Sebuah ungkapan yang menempatkan superioritas atas jenis kelamin tertentu. Sekaligus juga sebuah anggapan yang menempatkan perempuan baik dalam rumah tangga atau di tengah-tengah masyarakat dengan posisi yang inferior dan rendah.

Keluarga Berksetaraan

Bagaimana sejatinya Islam memandang sebuah bangunan relasi dalam sebuah ikatan keluarga?Merujuk pada pedoman umat Islam yaitu al-Qur’an tentang dasar dari sebuah relasi pernikahan dibangun adalah “dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir (Ar-Rum[30]:21).

Berdasarkan ayat ini ada beberapa makna penting yang harus kita pahami bersama. Pertama, zauj yaitu Allah SWT telah menciptakan pasangan suami istri. Dalam literatur bahasa Arab kata zauj berlaku secara sama untuk perempuan dan laki-laki (mudzakar dan mu’anast). Karena zauj bermakna pasangan maka keduanya laki-laki dan perempuan diciptkan untuk saling menghormati, mengasihi, saling melengkapi, dan saling menutupi kekurangan di antara keduanya sebagai bentuk kesetaraan. Oleh karena itu ayat ini memberi penekanan bahwa bangunan rumah tangga fondasi dasarnya adalah kesetaraan.

Dengan fondasi kesetaraan kemudian Allah SWT menciptakan litaskunuu ilaiha bermakna pasangan istri dan suami dapat merasakan ketenangan, ketentraman, kedamaian, dan keharmonisan. Ketentraman dan ketenangan terwujud akan berimplikasi pada sambungan yang begitu indah dari ayat ini dengan dua kata mawaddah dan wa rahmah. Mawaddah bermakna saling mencintai. Warahmah adalah kasih sayang. Sebuah kasih sayang yang tak lekang oleh waktu dan jaman.

Nilai-nilai dasar tentang kesetaraan antara kedua pasangan di dalam al-Qur’an misalnya sebagaimana termaktub dalam ayat berikut ini : Surat An-Nahl ayat 97 : 97. Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan. Dalam ayat yang lain Allah SWT memberikan penjelasan secara rinci tentang bentuk kesetaraan laki-laki dan perempuan termasuk dalam sebuah rumah tangga yaitu dalam surat Al-Ahzab [33] ayat 35 : Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.

Secara kondrati biologis tentu laki-laki dan perempuan berbeda. Tetapi Islam tidak membedakan status dan peran bagi keduanya. Kesetaraan sebagai pangkal kebahagiaan dalam berumah tangga dapat diwujudkan, diantaranya:

Pertama, mewujudkan demokratisasi dalam memutuskan masalah di lingkungan keluarga. Artinya baik suami atau istri mempunyai suara yang sama untuk didengar. Jangan ada dominasi di antara keduanya. Dominasi istri atau dominasi suami akan menjadi akar ketidakharmonisan rumah tangga. Tetapi yang baik adalah bermusyawarah dengan baik. Keduanya bagai sebuah bangunan yang saling melengkapi. Contoh demokratisasi di dalam keluarga yang dipraktekan Rasul sebagaimana terungkap di dalam sabdanya “Saya suka berdandan untuk istriku, seperti halnya saya suka ia berdandan untuk diriku” (HR. Ibnu Abbas). Biasanya tuntutan bau harum, berpakaian rapih, dandan dengan baik ditunjukan untuk perempuan saja ketika di hadapan suami. Sementara laki-lakinya acuh tak acuh karena dianggap hanya bagian dari kewajiban perempuan bertindak seperti itu. Tentu contoh kecil dari Rasulullah SAW akan berdampak dalam berbagai masalah kehidupan lain yang berbudaya “saling”. Jika ini diamalkan tentu nikah siri tidak akan pernah terjadi.

Kedua, saling mempergauli kedua pasangan dengan baik. Dalam beberapa pengajian baik di TV Live atau yang off air di mesjid kadang-kadang ada penjelasan yang memojokan perempuan. Misalnya ketika banyak para suami yang pindah ke lain hati alias selingkuh, nikah siri, dan atau poligami kesalahan selalu ditimpakan pada perempuan yang dianggap tidak memberi servis dengan baik. Celakanya para perempuan sendiri yang memberi penguatan atas jawaban itu. Dalam Islam sebenarnya tidak ada yang dikatagorikan pelayan dan dilayani, tetapi Islam mengajarkan saling melayani. Al-Quran menjelaskan:” ….dan bergaullah dengan mereka secara patut. kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, Padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak (Annisa [4]:19). Dalam praktek kehidupan yang paling sederhana misalnya, tidak salah jika seorang suami berbagi pekerjaan dalam memasak. Misalnya tiga hari istri yang masak tiga hari suami yang masak. Biasanya orang yang masak tidak selahap orang yang tidak memasak. Jika gantian memasak akan sama-sama merasakan suasana lahap. Begitu juga dalam bentuk-bentuk kehidupan yang lain.

Saling berbagi, melayani, memberi ruang yang sama dalam memutuskan masalah menjadi kunci kedua dalam mewujudkan sebuah keluarga bahagia yang penuh dengan kebahagiaan. Baitii Jannati (rumah tanggaku adalah surgaku) bukan Baitii naarii (rumah tanggaku nerakaku).Oleh karena itu jika ada nikah siri siapapun yang melakukannya merupakan tindakan yang melanggar norma Islam dan teladan Rasulullah SAW. Dan dalam konteks berbangsa bernegara merupakan tindakan melanggar. Semoga kasus ini menjadi cermin bersama untuk memberantas nikah siri di lingkungan pejabat publik (juga orang biasa) yang dampaknya menyengsarakan kaum perempuan. Semoga, amien.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun