Mohon tunggu...
Sult Harias
Sult Harias Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Merayakan Semarak Manusia

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Nyanyian Derita Afif Maulana: Brutalitas, Pelanggaran Etik, dan Transparansi Aparat

5 Juli 2024   07:25 Diperbarui: 6 Juli 2024   03:38 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keadilan adalah kulit-kulit padi; Hitam terbakar bersama jerami; Lalu hilang dibawa derasnya hujan yang mengalir

Kematian Afif Maulana, seorang pelajar SMP berusia 13 tahun, telah mengguncangkan seluruh media massa sebagai kasus yang memuat besar spekulasi terjadinya brutalitas dan dorongan akan citra busuknya non-profesionalitas "oknum" Kepolisian Republik Indonesia. 

Dikenal sebagai individu yang ceria oleh teman-temannya, adalah sebuah tragedi bagi seluruh masyarakat ketika mendengar apa yang telah terjadi kepada Afif dan bagaimana kondisinya saat ditemukan; penuh dengan luka lebam, tulang rusuk patah, hingga paru-paru robek dengan jasad yang tergeletak di bawah jembatan Sungai Batang Kuranji.

Luka-luka dan tanda fisik yang hadir pada tubuh Afif menjadi katalis penolakan keterangan bahwa Afif meloncat dari jembatan untuk menghindari sanksi polisi, melainkan semakin menguatkan mosi bahwa Afif tewas sebab dianiaya dan disika oleh pihak polisi. Sebuah mosi yang didukung oleh beragam pihak tanpa sembarang pengutaraan.

Satu atau lebih eye witness melihat brutalitas yang dilakukan oleh polisi kepada Afif secara langsung, seperti digebuk, dihantam, dan disiksa tanpa ampun. Dan ketika jasad Afif diotopsi, tidak ditemukan bekas atau luka lompatan dari jembatan itu. Cukup aneh untuk seseorang yang dinyatakan tewas karena lompat, tidak? Tergesa-gesa kah dalam menyimpulkan sebab kematian?

Begitu pula dengan serangkaian "ketidaktepatan" yang dilakukan oleh pihak polisi dalam menangani kasus ini. Yang tidak dapat dipungkiri telah mencoreng noda pada nama intansi kepolisian dengan ketidakpercayaan yang kian bertubi hari demi hari.

Sebagian besar dari 18 pemuda yang ditahan oleh pihak polisi telah memberikan kesan pada media bahwa mereka telah mengalami perlakuan yang sangat tidak etis ketika dalam tahanan polisi. Bahkan, salah satu teman Afif sempat menyatakan bahwa ia dan sejumlah pemuda lainnya mengalami paksaan untuk berciuman, lalu berguling-guling hingga muntah.

Polda Sumbar mengakui bahwa hanya terjadi aksi pemukulan, bukan siksaan, bukan penganiayan, oleh 17 anggota polisi. Namun, apakah keseluruhan dari 18 pemuda yang ikut ditahan itu berbohong karena mengaku telah diludahi, disundut oleh rokok, ditendang, dan dipukul tanpa belas kasih?

Brutalitas polisi merupakan sesuatu yang hampir dianggap lazim oleh masyarakat, hanya karena yang dihabisi adalah penjahat atau pelarang asusila. Kekerasan yang dilakukan oleh seorang polisi sama sekali tidak boleh dinormalisasi ataupun dibenarkan. Kami selaku masyarakat tidak boleh kehilangan hati nurani dan buta akan pelecehan hak kita. 

Tidak melupa pula sejumlah keteledoran yang dilakukan oleh pihak kepolisian, seperti acuh dalam mengamankan rekaman CCTV bekas tragedi itu yang akhirnya kehapus tanpa sisa secara otomatis. Begitu pula dengan pemasangan police tape yang malahan baru dilakukan 20 hari setelah jasad ditemukan tergenang di permukaan air. Alhasil terjadinya obstruksi pada area TKP.

Lalu dimana letak transparansinya bila media massa saja harus miniskul dalam memberitakan tragedi ini. Dimana titik puncak ke-bajingan pihak kepolisian adalah justru menyibukkan diri dalam mencari dalang yang "memviralkan" kasus Afif ini. 

Sebuah bukti bahwa aparat negara "pelindung masyarakat" hanya bergegas dalam menuntaskan sebuah kasus bila masalahnya itu ramai dibicarakan oleh massa yang mencabik nama kudus instansi. Tidak ada waktu untuk leha-leha kah?

Setiap anggota kepolisian adalah cerminan dari Kepolisian Republik Indonesia. Karena ketika seragam itu dikenakan, Anda adalah cerminan akan pelindung masyarakat. Maka, apakah seorang polisi yang tugasnya adalah untuk melindungi dan melayani rakyatnya, pantas untuk menyiksanya tanpa ampun?

Untuk meludahi rakyatnya, menyundutnya dengan rokok, menendangnya, dan memukulnya tanpa belas kasih, apakah itu kelakukan yang sejatinya terkandung dalam seorang pelayan masyarakat? 

Mereka yang mengenakan seragam aparat, yang lega melalukan kekerasan dalam bentuk apapun itu, tidak boleh mencuci tangan dan teriak puji Tuhan. Mereka sebagai pelaku yang akuntabel, sudah sepatutnya diberi hukuman pidana. Bukan sekedar sanksi atau pemecatan.

Kawal hingga terusut tuntas. Dan janganlah kamu heran bila sentimen terhadap "pelindung kami" melejit berkembang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun