Mohon tunggu...
Sult Harias
Sult Harias Mohon Tunggu... Penulis - Pelajar

Merayakan Semarak Manusia

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kolase Jejak Homoseksualitas dalam Media Komunikasi Massa Tanah Air

18 Juni 2024   10:00 Diperbarui: 4 Juli 2024   14:09 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
BBC Indonesia - Unjuk Rasa LGBT di Jakarta

Orientasi seksual homoseksualitas tidak merupakan inovasi yang terjadi pada masa modern. Kecendrungan ini, bagaimanapun, sudah terdokumentasi sejak zaman Yunani Klasik dan Romawi Kuno; layaknya Pederasty atau perjantanan dan hasrat untuk memiliki relasi sesama jenis yang dianggap alamiah dalam sosial-masyarakat kala itu.

Homoseksualitas mengacu pada hubungan interaksi seksual antara pribadi dengan lawan jenis kelamin yang sama. Sebuah fenomena yang dapat terjadi bila berseminya ketertarikan, cinta atau romansa terhadap lawan kelamin sejenis. Homoseksualitas dikategorikan menjadi dua, yakni Gay untuk sesama lelaki, dan Lesbian untuk sesama perempuan.

Pada umumnya, homoseksualitas di Indonesia dianggap sebagai suatu hal yang tabu dan berbatasan dalam kamar tidur masing individu saja. Seksualitaspun banyak dianggap sebagai sesuatu yang sakral dan tidak lazim untuk didiskusikan secara terbuka.

Memang sejumlah populasi yang mengakui dirinya sebagai homoseksual pasti ada dalam sebuah masyarakat. Namun khususnya di Indonesia, masyarakat bersikap toleran meskipun acuh soal tidak ada pengakuan atau perlindungan hukum secara khusus untuk hak-hak homoseksual.

Budaya dalam Indonesia sendiri kerap menjunjung rasa malu sebagai pengontrol dalam masyarakat. Berupa agent of social order yang membatasi kelegaan untuk membicarakan sejumlah topik yang dapat mengundang malu atau penyimpangan dari konformitas. Hal ini menyebabkan topik-topik seperti homoseksualitas untuk tidak banyak diperbincangkan terkecuali saat kajian ilmiah dan sebagainya.

Dampak dari agent of social order ini, sungguh terlihat dalam lanskap dinamika masyarakat, tetapi dengan perubahan-perubahan yang kian terlihat silih bergantinya waktu. Peluang untuk berdiskusi dan menggambarkan, kini lebih terbuka melalui sejumlah bentuk media komunikasi massa di Indonesia. Medium seperti film kerap menjadi ruang yang digunakan untuk mengangkat topik homoseksualitas.

Film-film seperti Istana Kecantikan (1988), Arisan! (2003), Lovely Man (2011), dan Kucumbu Tubuh Indahku (2019), di antara lainnya adalah sejumlah film yang menampilkan dan mengandung tema kuat dengan homoseksualitas. Beberapa film menampilkan karakter homoseksual sebagai fokus utama. Sedangkan adapula yang menampilkannya sebagai sekedar karakter yang kebetulan berorientasi homoseksual.

Istana Kecantikan (1988) yang disutradarai oleh Wahyu Sihombing, menceritakan Siska yang dihamili oleh pria enggan untuk bertanggung jawab bernama Sumitro. Sebagai penggantinya, Sumitro mengutuskan Niko, seorang homoseksual yang sudah mempunyai pasangan sesama jenis.

 Arisan! (2003) yang disutradarai oleh Nia Dinata, mengisahkan sekelompok teman dengan kehidupan sosialita di Jakarta yang serba mencari hiburan dan menjunjung kebebasan ala libertine. Suatu hal yang membuat film ini menuai besar kontroversi adalah keberanian dalam menampilkan pasangan homoseksual secara terbuka dan menjadi film produksi lokal pertama yang menampilkan adegan ciuman antara dua orang pria.

Lovely Man (2011) yang disutradarai oleh Teddy Soeriaatmadja, menceritakan kisah seorang gadis pesantren bernama Cahaya yang hijrah ke Jakarta untuk mencari ayahnya. Namun tanpa diketahuinya, ayahnya yang dikenal sebagai Syaiful, kini bekerja sebagai waria di dalam kegelapan dunia prostitusi.

Kucumbu Tubuh Indahku (2019) yang disutradarai oleh Garin Nugroho, mengisahkan kehidupan seorang penari Tari Lengger yang sedang mencari jati dirinya. Tari Lengger merupakan sebuah budaya dari wilayah Banyumas yang menampilkan pria berdandan seperti wanita. Sejumlah kontroversi menyerang film ini karena luas dengan tema homoseksualitas dan LGBT. 

Selain representasi dalam film, musik juga dijumpai sebagai medium yang tidak kalah saing dalam merepresentasikan. Lagu Bukan Lawan Jenis dalam album perdana band Efek Rumah Kaca yang berjudul Efek Rumah Kaca (2007), menceritakan hubungan satu hati antar dua lelaki, "Aku" dan "Kamu", yang disajikan melalui nada cemas dan vokal kencang menghantui.

Posesif, sebuah lagu yang diciptakan oleh band Naif dalam album sophomore mereka yang berjudul Jangan Terlalu Naif (2000), mengutarakan hasrat mendalam seorang pecinta untuk mengabdikan seluruh kepemilikan penuh kepada sang kekasihnya. Dalam video clip lagu ini, menampilkan lakon menggunakan pakaian yang lintas gender atau waria.

Melanjutkan pembahasan menuju wilayah kesusastraan, salah satu buku yang pantas untuk dinobatkan sebagai masterpiece, ialah Re: dan peRempuan (2021) karya Maman Suherman. Re: dan peRempuan merupakan saga dua bagian yang menceritakan kejamnya dunia prostitusi. Terungkaplah dalam buku ini para pelayannya yang terjerat untuk selamanya melayani heteroseksual maupun homoseksual. Tidak membedakan, asal dapat mebayar jasanya saja.

Hadirnya media sosial sungguh mengubah lanskap dinamika masyarakat kita sejatinya. Adanya media sosial berarti memudahkan kita untuk mengekspresi, mencari atau menuangkan pikiran kita pada suatu hal dalam bentuk posting atau blogging. Topik-topik hangat dan tabu menjadi mudah untuk diakses, dipelajari, dan didiskusikan. Menjadinya sebagai sarana ekspresi yang terbuka untuk menjunjung hak dan asasi homoseksualitas atau LGBT.

Begitupula dengan siaran televisi, podcast atau siniar dan podsiar, sinetron, berita ataupun dokumenter yang semakin memberi gambaran dan ruang untuk menampilkan homoseksualitas. Sama halnya dengan media surat kabar dan majalah yang lebih lugu untuk membicarakan perihal homoseksual. 

Prevalensi homoseksualitas dalam media komunikasi massa Tanah Air, merupakan sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Adapun dasar tujuan media komunikasi massa adalah menjadi ruang terbuka untuk mengekspresi dan mengomunikasi 'apa yang sedang terjadi di masyarakat'. Maka perihal homoseksualitas dan LGBT di masyarakat, tidak bisa disingkiri begitu saja. Mereka berhak untuk melantas apa yang tengah dirasakan, karena bersifat aktual dan nyata.

Mereka adalah manusia; mempunyai rasa dan memiliki hasrat. Mereka bercita dan bermimpi; layaknya Aku dan Kamu. Kita semua berada di bawah payung Sang Saka Merah Putih. Maka senang atau duka, riang atau murka, dan lapang atau resah, apa sulitnya menghargai?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun