"Betul...?"
Kakak diam. Jika sudah begitu, ayah akan melemah. Ayah kembali memberi penekanan pesan ibu. Pasal salat itu.
***
Kemarin, saya amati. Di kompleks kami, di depan rumah yang tanahnya lapang. Tanah yang banyak ditumbuhi kangkung di antara pohon kelapa tua menjulang, anak-anak komplek bermain penuh warna. Ya! Sebab, tak berselang lama selalu ada yang menangis, ada yang berteriak serupa kesurupan, dan?Â
Banyak lagi ekspresi khas anak-anak. Paling kontras menurut saya adalah terbaginya dua kelompok anak dengan dua titik bermain berbeda. Satu di sebuah rumah kebun tua, kedua di rebahan pohon Jawa. Jaraknya berdekatan saja, sekitar sepuluh meter.Â
Anak-anak kelompok pohon Jawa berteriak ke mereka kelompok rumah kebun. Teriakan yang mengandung makian. Saya merekam beberapa kosa kata yang membuat hati saya ngilu. Sudah serupa adu kata cebong kampret juga rupanya. Akhirnya saya tahu, dari mana Kakak belajar mengumpat. Umpatan yang sesekali terucap jika kesal dimarahi ibu.
"Ibu mau taro rica itu mulut kalau babilang sembarang e!"
Lalu di mana Kakak di antara dua kelompok itu? Dia berada di tengah, kadang bergabung dengan kelompok pohon Jawa, kadang beralih ke rumah kebun. Paginya, Kakak bermain dengan kelompok rumah kebun. Ayah sudah sering melarang.
"Jangan bermain di rumah itu! Kayunya sudah banyak lapuk! Lantai rumahnya rapuh, kalau tidak hati-hati kamu bisa jatuh!"
Larangan yang terlalu sering dilanggar. Hingga tiba...
"Om... Tsaaqif menangis, dipukul sama itu perempuan eee...!"