Indonesia memiliki potensi pertambangan nikel yang besar dan menjadi salah satu produsen utama nikel di dunia. Beberapa aspek yang menjadikan Indonesia memiliki potensi pertambangan nikel yang signifikan meliputi:
Sumber Daya Alam yang Kaya: Indonesia memiliki cadangan bijih nikel yang melimpah. Beberapa daerah yang terkenal dengan potensi nikel tinggi antara lain Sulawesi, Halmahera, dan Maluku.
Permintaan Global yang Tinggi: Nikel digunakan dalam berbagai industri, terutama dalam produksi baja nirkarat (stainless steel), baterai, dan industri kimia. Permintaan global yang tinggi untuk produk-produk ini dapat memberikan peluang ekspor yang signifikan bagi Indonesia.
Industri Pengolahan Nikel: Selain sebagai produsen bijih nikel, Indonesia juga memiliki fasilitas pengolahan nikel yang berkembang. Beberapa pabrik pengolahan nikel melakukan proses peleburan dan pemurnian untuk menghasilkan produk jadi, seperti feronikel dan nikel matte.
Investasi dan Pengembangan Infrastruktur: Pemerintah Indonesia telah menarik investasi dalam sektor pertambangan nikel, termasuk pembangunan infrastruktur yang mendukung kegiatan pertambangan dan pengolahan nikel.
Pada Juni 2018, pemerintah Indonesia juga memberlakukan larangan ekspor bijih nikel mentah, mendorong industri untuk mengolah bijih tersebut di dalam negeri sebelum diekspor. Kebijakan ini bertujuan untuk meningkatkan nilai tambah dalam negeri dan menciptakan lapangan kerja.
Untuk mengatasi berbagai permasalahan lingkungan tersebut, ada beberapa Solusi yang patut untuk dicoba diaplikasikan pada industri pertambangan nikel. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan cara melakukan recovery atau pungut ulang logam berharga. Beberapa metode pungut ulang yang akan dibandingkan adalah ion exchange method dan precipitation method.Â
Secara sederhana ion exchange method atau metode pertukaran ion dapat diartikan sebagai sebuah metode isolasi kation logam menggunakan bantuan resin penukar ion. Resin penukar ion adalah bahan sintetis atau alami yang memiliki kemampuan untuk menukar ion dengan larutan yang melewati atau berkontak dengannya. Resin ini digunakan dalam proses penukaran ion, yang seringkali digunakan dalam berbagai aplikasi, termasuk pengolahan air, pengolahan limbah, dan industri kimia. Beberapa jenis resin penukar ion yang umum digunakan termasuk resin kation dan resin anion. Dalam metode ini, digunakan resin penukar ion jenis Dowex XUS43605. Resin ini memiliki selektifitas yang cukup tinggi terhadap nikel dan tembaga. Resin jenis ini merupakan jenis resin yang memiliki gugus fungsi berupa HPPA (Hidroksipropil picolylamine).
Beberapa kelebihan dan kekurangan yang ada pada metode pertukaran ion adalah hemat biaya, bisa dipakai berulang kali, banyaknya variasi jenis resin yang digunakan. Namun begitu, beberapa kekurangan yang ada pada metode ini adalah selektifitas yang cenderung lebih rendah dibandingkan dengan metode pengendapan, persen pungut ulang yang tidak setinggi metode pengendapan, dan waktu pungut ulang yang cenderung lebih lama dibandingkan dengan metode pengendapan.
Pada precipitation method atau metode pengendapan, beberapa hal yang harus diperhatikan adalah prinsip dari metode itu sendiri yakni menggunakan prinsip elektrogravimetri. Elektrogravimetri adalah suatu metoda analisis kuantitatif berdasarkan pengendapan atau pendepositan logam tersebut pada elektroda dengan bantuan arus listrik, dapat digunakan untuk menentukan kadar suatu logam tertentu dalam larutannya. Larutan pengendap yang digunakan adalah natrium dithionite dan elektroda yang digunakan adalah Ag/AgCl.
Beberapa kelebihan dan kekurangan yang ada pada metode pengendapan adalah memiliki persen pungut ulang yang besar (>90%), proses pungut ulang yang cepat, dan selektifitas terhadap tembaga yang tinggi. Namun, kekurangan yang dimiliki oleh metode ini adalah menghasilkan gas Hidrogen sulfida dalam prosesnya, biaya yang diperlukan mahal. Hal yang perlu kita ketahui bersama adalah hidrogen sulfida merupakan gas yang sangat berbahaya bagi kesehatan dan lingkungan. Artinya, metode ini tidak memenuhi kaidah 17 SDGs.