Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Setelah Dilantik, Inilah 3 Problem SDM yang Harus Segera Dibenahi oleh Presiden Prabowo

20 Oktober 2024   12:53 Diperbarui: 20 Oktober 2024   20:12 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi balita stunting (Sumber: Detik.com)

Oleh: Sultani, Peneliti Indonesia Strategic Center (ISC) dan CSPS UI

Hari ini, Minggu, 20 Oktober 2024 akan menjadi saksi proses transisi kepemimpinan dari Presiden Joko Widodo kepada Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih yang baru.

Masa kepemimpinan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka sebagai Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia kedelapan kini sudah memasuki ambang hari pertama.

Pasangan pemenang Pemilihan Presiden 2024 sudah resmi dilantik sebagai pemimpin eksekutif negara tertinggi untuk mengatur 282 juta rakyat Indonesia.

Sebagai pemimpin nasional baru sudah pasti Prabowo-Gibran akan mewarisi kebijakan dan program yang problematik dari pendahulunya.

Dari delapan isu yang diprediksi berpotensi menjadi problem utama bagi pemerintahan mendatang, ada tiga problem dalam pembangunan SDM Indonesia yang akan menantang kekompakan Prabowo-Gibran dalam mengelolanya.

Tiga problem tersebut adalah stunting, krisis pangan, dan kemiskinan. Tiga problem ini saling terkait satu sama lain dan memiliki dampak yang luas terhadap pembangunan negara secara keseluruhan.

Baik stunting, krisis pagan, maupun kemiskinan sama-sama menjadi beban pembangunan karena pemerintah harus mengalokasikan sumber daya khusus secara signifikan untuk mengatasi ketiganya secara simultan.

Sumber daya terbesar yang paling signifikan menguras energi bangsa adalah anggaran yang berfungsi sebagai pelumas pembangunan. Sumber daya strategis lain yang terkuras untuk mengurusi ketiga problem tersebut adalah sumber daya manusia.

Ilustrasi Presiden RI ketujuh Joko Widodo dan Presiden kedelapan Prabowo Subianto (Sumber: Tempo.co)
Ilustrasi Presiden RI ketujuh Joko Widodo dan Presiden kedelapan Prabowo Subianto (Sumber: Tempo.co)
Stunting masih menjadi salah satu masalah dalam pembangunan yang dihadapi Indonesia hingga sekarang. Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) Kementerian Kesehatan tahun 2018 mengungkapkan bahwa prevalensi stunting pada Balita sebesar 30,8 persen.

Tahun 2023 prevalensi stunting turun menjadi 21,5 persen. Anak berisiko stunting jika mengalami kekurangan gizi sejak dari dalam kandungan hingga berusia 2 tahun, atau sering disebut sebagai 1000 hari pertama kehidupan (1000 HPK).

Anak yang mengalami stunting menunjukkan kondisi kekurangan gizi yang kronis dan memiliki tinggi badan lebih pendek bila dibandingkan anak seusianya.

Problem krisis pangan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh ketergantungan pada impor yang sangat potensial mengancam ketahanan pangan nasional.

Ancaman terhadap ketahanan pangan ini berdampak pada ketersediaan pangan lokal bergizi sebagai faktor penting untuk mewujudkan manusia Indonesia yang sehat, cerdas, produktif dan berdaya saing.

Pandemi Covid-19 sempat melemahkan pembangunan pangan dan gizi sehingga upaya perbaikan gizi dan kesehatan terkendala beberapa tahun. Hingga sekarang krisis pangan masih terus menghantui, di mana mayoritas masyarakat Indonesia mengonsumsi komoditas pangan impor yang sering kali kandungan nutrisinya tidak sesuai dengan kebutuhan gizi anak-anak Indonesia.

Puncak dari problem SDM adalah kemiskinan. Meskipun telah menurun, kemiskinan tetap menjadi salah satu tantangan utama bagi pembangunan nasional Indonesia.

Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, per Maret 2024, sekitar 9,03% dari total populasi Indonesia, atau 25,22 juta orang masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Angka kemiskinan ini harus segera dikurangi karena berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi. Kemiskinan telah membatasi akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas sehingga mengakibatkan rendahnya produktivitas tenaga kerja.

Jumlah orang miskin yang sudah mencapai 25 juta jiwa lebih saat ini bisa berakumulasi lebih banyak lagi beberapa tahun mendatang jika pemerintah gagal atau terlambat menanganinya.

Ibarat mata rantai yang saling mengikat, kemiskinan menyebabkan warga memiliki daya beli yang rendah untuk membeli pangan yang bergizi sehingga membatasi akses mereka untuk mendapatkan asupan nutrisi yang dibutuhkan oleh tubuh. Semakin lama tubuh tidak mendapatkan asupan gizi yang baik akan memicu terjadinya gizi buruk yang berkepanjangan.

Jika kondisi ini terjadi pada ibu hamil maka mereka berpotensi melahirkan anak-anak stunting yang lemah secara fisik dan intelektualitas. Akibatnya, kualitas kesehatan menjadi buruk ketika dewasa, produktivitas kerja rendah dan tidak memiliki daya saing.

Bagaimana tiap-tiap problem tersebut menghambat jalannya pembangunan nasional selama ini? Simak pemaparannya berikut ini:

1. Stunting

Tahun 2016 Global Nutrition Report melaporkan bahwa Indonesia termasuk salah satu negara yang mempunyai beban ganda masalah gizi atau double burden of malnutrition, yaitu masalah kekurangan gizi sekaligus kelebihan gizi. 

Laporan tersebut juga menempatkan Indonesia sebagai negara yang mempunyai masalah kekurangan gizi mikro, yaitu anemia. Gangguan gizi pada ibu meningkatkan risiko berat badan lahir rendah, stunting, dan problem kekurangan gizi lainnya.

Jika seorang ibu kekurangan gizi, kemungkinan besar bayinya akan lahir dengan berat badan kurang yang memicu siklus pertumbuhan yang terhambat. 

Tanpa perawatan pascanatal yang tepat dan nutrisi bergizi, bayi akan mengalami pertumbuhan terhambat. Jika kekurangan gizi tidak diatasi, anak yang dilahirkan pasti akan mengalami stunting.

Salah satu masalah kekurangan gizi yang dihadapi Indonesia hingga sekarang adalah stunting. Anak Indonesia pada umumnya tidak kekurangan makan, tetapi rendahnya kesadaran akan gizi seimbang mengakibatkan mereka hanya mendapat asupan makanan pokok dengan sedikit protein atau sayuran.

Selain itu, anak-anak juga masih kurang mendapatkan zat gizi mikro seperti vitamin A, zat besi, folat, dan seng. Kekurangan nutrisi ini, baik karena asupan yang tidak memadai atau karena penyerapan nutrisi yang terganggu akibat penyakit infeksi, akan menghambat pertumbuhan sel-sel tubuh. Kondisi inilah yang membuat mereka sangat rentan mengalami stunting. 

Ilustrasi balita stunting (Sumber: Detik.com)
Ilustrasi balita stunting (Sumber: Detik.com)

Penyebab stunting dimulai saat anak di dalam kandungan karena pola makan ibu yang buruk, tetapi gejalanya biasanya muncul setelah anak berusia sekitar dua tahun, yang ditandai dengan anak tersebut tidak tumbuh secepat yang seharusnya.

Anak yang terhambat pertumbuhannya sudah pasti memiliki sistem kekebalan tubuh, fungsi otak, dan perkembangan organ yang lebih buruk.

Hambatan pertumbuhan ini, terutama dalam perkembangan otak, akan membuat prestasi akademik mereka berada di bawah rata-rata sekaligus berpotensi membatasi produktivitas mereka di masa depan.

Anak yang mengalami stunting memiliki tinggi badan lebih pendek bila dibandingkan anak seusianya, karena kekurangan zat gizi yang diakibatkan oleh rendahnya konsumsi energi protein dan nutrisi dalam makanan sehari-hari. Asupan gizi yang dimakan dalam makanan tersebut tidak cukup dalam memenuhi kebutuhan dasar untuk pertumbuhan, perkembangan, dan fungsi tubuh.

Intinya, stunting pada anak merupakan bentuk gizi buruk yang paling sering terjadi dan dialami oleh jutaan balita di Indonesia. Dampak stunting bersifat permanen atau tidak dapat diperbaharui (irreversible).

Anak stunting lebih berisiko mengalami gangguan perkembangan kognitif, menderita penyakit kronis setelah dewasa, melahirkan bayi dengan berat badan rendah, dan mewariskan siklus malnutrisi kepada generasi selanjutnya.

Anak-anak yang sudah stunting memerlukan penanganan agar gizinya tercukupi dan perkembangan otaknya tetap optimal. Upaya untuk mengatasi stunting lebih diarahkan pada pencegahan terjadinya stunting.

Tantangan bagi pemerintahan Prabowo-Gibran dalam mengatasi stunting untuk masa pemerintahan selama lima tahun mendatang adalah menurunkan prevalensi stunting sebagai menjadi pekerjaan rumah yang belum bisa dicapai oleh pemerintahan Jokowi, yaitu target prevalensi sebesar 14 persen pada 2024.

Untuk menurunkan prevalensi tersebut, problem utama yang harus diatasi oleh pemerintahan baru ini adalah kesenjangan sumber daya, mulai terutama infrastruktur kesehatan, SDM kesehatan, dan pengetahuan masyarakat tentang kesehatan.

Baca juga:

3 Kunci Prabowo Turunkan Stunting Secara Ekspres

Kesenjangan infrastruktur yang paling ril adalah ketersediaan sarana dan prasarana (sarpras) kesehatan dasar yang timpang antara wilayah perkotaan dengan pedesaan, termasuk daerah terpencil, terjauh, dan terluar.

Semakin jauh atau terpencil sebuah daerah, ketersediaan sarpras dasar kesehatan semakin sedikit, bahkan tidak tersedia sama sekali. Sarpras dasar ini bisa berupa puskesmas, posyandu, dan sanitasi.

Kesenjangan SDM menyangkut ketersediaan tenaga lapangan yang mendampingi masyarakat, terutama kelompok rentan stunting, yaitu ibu hamil dan menyusui, serta anak-anak balita.

Biasanya, tenaga kesehatan ini lebih banyak tersedia di daerah perkotaan yang ramai dibanding daerah pedesaan yang terpencil dan jauh. Ketimpangan jumlah tenaga kesehatan ini bisa disebabkan oleh pola penempatan yang keliru atau preferensi tenaga kesehatan sendiri yang lebih menyukai daerah perkotaan.

Kesenjangan terakhir adalah pemahaman masyarakat tentang kesehatan yang berakar pada edukasi kesehatan yang diberikan melalui program-program sosialisasi atau kampanye tentang stunting.

Masyarakat daerah perkotaan yang akses informasinya semakin mudah dan beragam tentu lebih mudah menyerap pengetahuan tentang stunting sehingga kesadaran mereka tentang kesehatan semakin baik.

Sebaliknya, di daerah terpencil yang masih kesulitan mengakses teknologi dan media informasi tentu kesulitan untuk mendapatkan informasi apa pun terutama kesehatan. Akibatnya, pengetahuan mereka tentang stunting relatif rendah sehingga lamban dalam mengantisipasi penyebab stunting.

Problem-problem tersebut bukanlah masalah baru untuk pemerintahan baru nanti, tetapi akan menjadi pekerjaan rumah baru yang harus diselesaikan secepat mungkin agar target prevalensi 14 persen bisa segera dicapai dalam waktu dekat.

Untuk itu, pemerintah harus segera memiliki strategi kebijakan yang relevan sehingga anggaran yang dialokasikan untuk mempersempit kesenjangan yang ada selama ini bisa berjalan lancar dan tepat sasaran.

2. Krisis Pangan

Berbicara tentang krisis pangan, Indonesia adalah negara yang ironis karena selalu menghadapi krisis pangan di tengah potensi agraris yang luar biasa.

Krisis pangan di Indonesia sebagian besar disebabkan oleh ketergantungan yang tinggi pada impor. Beras, daging sapi, kedelai, hingga bawang putih masih harus didatangkan dari negara lain.

Padahal, lahan untuk pertanian dan peternakan, serta laut yang menjadi sumber pangan maritim masih sangat luas untuk memproduksi pangan yang bisa mencukupi kebutuhan seluruh rakyat Indonesia.

Pemerintahan Joko Widodo telah mengupayakan berbagai kebijakan untuk mengatasi masalah pangan, mulai dari intensifikasi pertanian hingga pengendalian impor. Sayangnya, hasilnya belum memadai. Produksi padi terus menurun, sementara impor beras mencapai puncaknya pada tahun 2023.

Oleh karena itu, Pemerintahan Prabowo akan memperbaiki kebijakan-kebijakan tersebut dan merencanakan transisi yang strategis dari pendekatan pemerintahan sebelumnya. Pemerintahan Prabowo telah merencanakan serangkaian kebijakan untuk mengatasi krisis ini dalam rangka mendorong kemandirian pangan.

Krisis pangan ternyata membawa dampak jangka panjang terhadap pembangunan SDM Indonesia karena ketergantungan terhadap komoditas pangan luar berpotensi merusak kebutuhan asupan gizi dan nutrisi masyarakat.

Kualitas pengolahan dan kandungan gizi yang ada dalam komoditas pangan impor belum tentu sesuai dengan kondisi tubuh masyarakat Indonesia yang berpotensi mengganggu proses tumbuh kembang anak-anak baik tubuh maupun otaknya.

Meskipun sorotan terhadap ketergantungan Indonesia pada impor pangan sangat tajam, persoalan kandungan gizi pada komoditas pangan impor tersebut juga perlu dikemukakan demi kualitas SDM Indonesia yang lebih baik.

Selama ini pemerintah selalu mengedepankan kepentingan ekonomi dalam mersepons kritik terhadap impor pangan, seperti pengendalian impor dan penguatan infrastruktur dan teknologi pertanian. Padahal, ancaman yang tidak kalah seriusnya adalah kandungan nutrisi pada komoditas-komoditas impor tersebut.

Ilustrasi pangan bergizi (Sumber: Jawapos.com)
Ilustrasi pangan bergizi (Sumber: Jawapos.com)
Problem ini diperkuat dengan beberapa kecenderungan yang selama ini membuat masyarakat terlena dengan kemudahan-kemudahan untuk mendapatkan pangan yang enak dan segar, seperti sayur-sayuran, buah-buahan, dan daging segar.

Impor pangan yang masif dan terdistribusi secara merata di seluruh Indonesia memberi kesan terjadinya penyeragaman konsumsi pangan impor yang dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Akibatnya, masyarakat di daerah kehilangan pengetahuan tentang kearifan lokal yang terkandung dalam pangan lokal di daerahnya sendiri.

Untuk mengatasi problem krisis pangan ini pemerintahan Prabowo harus membuat kebijakan yang tegas mendorong penanaman tanaman pangan yang beragam dan memperkuat konsumsi produk lokal.

Selain untuk mengurangi impor, kebijakan ini juga harus bisa melindungi kebutuhan gizi dan nutrisi berkualitas sekaligus meningkatkan ketahanan pangan di tingkat lokal.

Jika pemerintah lamban atau kurang tegas dalam mengawal kebijakan pangan ini maka bangsa ini akan terus-terusan tergantung pada impor alias kecanduan impor.

Fenomena ini bisa dilihat dari makanan yang dikonsumsi setiap hari terutama nasi dan mi instan. Hampir 100 persen bahan baku nasi dan mi instan yang dikonsumsi oleh masyarakat Indonesia ini diimpor dari luar.

Kondisi ini akan benar-benar fatal bagi bangsa Indonesia jika kecanduan impor tidak bisa dihilangkan. Seperti yang ditulis oleh presiden Indonesia terpilih Prabowo Subianto dalam buku Strategi Transformasi Bangsa Menuju Indonesia Emas 2045: Indonesia Menjadi Negara Maju dan Makmur (2023), ...kalau semua produksi di Indonesia bergantung pada investasi asing, maka kita akan celaka.

3. Kemiskinan

Secara statistik, angka kemiskinan di Indonesia menunjukkan penurunan yang cukup berarti selama tiga tahun terakhir. Setidaknya, data terbaru dari BPS melaporkan bahwa per Maret 2024 proporsi penduduk miskin di Indonesia sudah berada di angka 9,03 persen ata setara dengan 25,22 juta orang. 

Penurunan ini berimplikasi pada berkurangnya beban negara karena terjadi peningkatan penduduk yang produktif sehingga bisa memperoleh pendapatan untuk diri sendiri dan keluarganya.

Selain itu, dari segi SDM, penurunan kemiskinan ini juga mengindikasikan terjadinya peningkatan kualitas SDM Indonesia karena produktivitasnya semakin baik dalam bekerja.

Meskipun Presiden Jokowi bisa menurunkan angka kemiskinan dengan signifikan, usaha pemerintah menghilangkan kemiskinan dari Indonesia belum selesai.

Pemerintahan Prabowo akan mengurangi lagi angka kemiskinan jauh lebih baik dibanding pemerintahan Jokowi. Pemerintah akan memberikan bantuan untuk mereka yang ingin bangkit dan mandiri sebagai inovasi kebijakan pengentasan kemiskinan yang berkelanjutan.

Mengapa kemiskinan selalu menjadi isu yang sensitif bagi semua pemerintahan di Indonesia? Karena kemiskinan menjadi sumber dari semua permasalahan sosial yang terjadi di Indonesia selama ini.

Untuk diketahui, problem-problem sosial yang kerap mengganggu jalannya pembangunan di Indonesia terutama kriminalitas dan pengangguran, akarnya adalah kemiskinan.

Dampak lain yang bisa dipicu oleh kemiskinan yang kronik adalah potensi peningkatan proporsi orang miskin secara masif di masa mendatang karena batas garis kemiskinan yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Meskipun data riil menyebutkan bahwa proporsi orang miskin di Indonesia sekarang sudah berada di bawah 10 persen, potensi peningkatannya tetap besar.

Potensi pertumbuhan orang miskin bisa terjadi secara masif ke depan karena pemerintah jika batas garis kemiskinan yang ditetapkan oleh pemerintah jauh lebih tinggi dari realitas penghasilan per kapita masyarakat kelas bawah.

Artinya, walaupun prorporsi kemiskinan berada di angka 9 persenan, jika pemerintah menetapkan batas garis kemiskinan yang tinggi, maka penghasilan masyarakat yang tidak mencapai batas tersebut semakin besar. Mereka inilah yang berpotensi membuat proporsi kemiskinan akan melonjak pada tahun-tahun mendatang.

Potensi tumbuhnya kemiskinan di Indonesia menunjukkan pembangunan ekonomi belum optimal dan belum merata. Pemerintahan Prabowo akan melanjutkan program-program yang efektif pemerintahan Jokowi sebagai kewajiban negara untuk terus terus memberikan perlindungan sosial bagi warga miskin.

Kemiskinan tidak hanya membatasi akses terhadap pendidikan dan kesehatan yang berkualitas, tetapi juga mengakibatkan rendahnya produktivitas tenaga kerja dan memperburuk ketimpangan sosial.

Dampak jangka panjang kemiskinan terhadap kualitas sumber daya manusia (SDM) dan ekonomi nasional ini perlu diantisipasi sedini mungkin oleh pemerintahan yang baru.

Di balik hiruk pikuk persiapan pembentukan kabinet yang dilakukan oleh Presiden terpilih Prabowo Subianto, rakyat berharap kabinet yang terbentuk nanti bisa segera bekerja untuk mengakselerasi kebijakan maupun program-program prioritas pemerintahan Joko Widodo yang terbukti efektif dalam menurunkan stunting, ketergantungan impor dan kemiskinan.

Kompetensi para menteri yang dipilih harus sesuai dengan kapasitasnya komitmen dan integritasnya dalam menyelesaikan tiga problem SDM yang akan menjadi sumber energi pembangunan Indonesia menuju Indonesia Emas 2045.

Depok, 20 Oktober 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun