Kini, perhatian publik terhadap isu dinasti politik meningkat lagi setelah Mahkamah Agung (MA) menganulir Peraturan KPU tentang syarat minimal calon kepala daerah. Putusan ini membuka belenggu batas usia dalam PKPU yang menghitung batas minimal usia calon pada saat penetapan pasangan calon. Â Putusan MA membuat ketentuan batas usia menjadi lebih fleksibel karena dihitung pada saat pelantikan calon kepala daerah terpilih.
Putusan MA ini masih meninggalkan kontroversi karena dinilai sarat dengan muatan politis karena sudah melampaui wewenangnya dengan mengubah ketentuan PKPU yang sudah sesuai dengan UU Pilkada 2016. Dalam konteks ini MA hanya bisa menilai legalitas pelaksanaan PKPU tentang syarat minimal usia calon kepala daerah, sementara untuk mengubah ketentuan tersebut wewenangnya ada di tangan Mahkamah Konstitusi (MK).
Dengan mengubah ketentuan batas minimal usia hingga pelantikan calon kepala daerah, MA telah membuka peluang kepada anak-anak muda untuk terlibat secara aktif mengajukan diri sebagai calon kepala daerah dari gubernur, bupati, atau walikota. Meski demikian, muatan politis di balik perubahan ketentuan ini tetap kentara, karena motifnya yang hendak meloloskan pencalonan salah satu anggota keluarga elit politik negara ini.
Dengan berlakunya Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang mengatur batas penentuan usia calon dihitung saat calon terpilih dilantik, tidak hanya anak-anak muda yang semakin antusias untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, tetapi juga anggota keluarga elite politik yang berada dalam jaringan dinasti politik di daerah. Dinasti politik yang sudah subur selama ini, mendapat lahan yang semakin luas dalam Pilkada yang diselenggarakan secara serentak pada 27 November 2024.
Dinasti Politik dan Demokrasi
Dinasti politik telah lama hadir dalam sistem politik Indonesia modern yang selalu memunculkan kekhawatiran terjadinya ketidaksetaraan distribusi kekuasaan politik. Kekhawatiran ini mencerminkan ketidakberesan dinasti politik di dalam sistem politik demokratis yang memberikan peluang besar kepada rakyat untuk terlibat dalam proses politik. Artinya, demokrasi menghendaki partisipasi dari seluruh maasyarakat untuk ikut berkontestasi memperebutkan jabatan-jabatan politik di daerah dan nasional sesuai dengan undang-undang yang berlaku.
Kontestasi politik Indonesia selama ini justru menunjukkan fakta yang kontras dari prinsip-prinsip demokrasi. Hak untuk berkontestasi dihalangi oleh adanya fenomena dinasti politik yang telah menciptakan pragmatisme politik dengan mendorong kalangan kerabat kepala daerah untuk menjadi pejabat publik. Fenomena ini bertentangan dengan demokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pemilik kekuasaan tertinggi.
Dinasti politik jelas akan memberikan konsekuensi berupa rusaknya pilar demokrasi dan, mengganggu efektivitas jalannya pemerintahan. Daerah yang terbawa dalam dinasti politik yang berlarut biasanya sulit mewujudkan good governance. Dinasti politik cenderung membangun struktur yang melindungi anggota keluarganya dari pengawasan eksternal, mengurangi akuntabilitas, dan memfasilitasi praktik korupsi. Hal ini akan meningkatkan praktik nepotisme dan patronase dalam lingkaran politik tersebut.
Fenomena dinasti politik pasti menghambat konsolidasi demokrasi. Partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi gagal mempromosikan prinsip-prinsip demokratis dalam kontestasi politik karena tidak mampu mengadang dinasti politik. Alih-alih mengoptimalkan fungsi kelembagaannya dalam rangka konsolidasi demokrasi, partai politik justru menjadi agen dari dinasti politik itu sendiri.
Tren dinasti politik ini menunjukkan bahwa munculnya gejala patrimonial lama yang dibungkus dengan strategi baru atau neopatrimonialistik. Menurut Dosen Ilmu Politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana, Â dinasti politik sekarang disebut neopatrimonial karena dulu pewarisan kuasa ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural.Â