Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Putusan MA dan Paradigma Anak Muda dalam Pilkada

7 Juni 2024   10:02 Diperbarui: 10 Juni 2024   07:40 636
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gedung Mahkamah Agung, Jakarta (Sumber: Tatang Guritno/ Kompas.com)

Mahkamah Agung (MA) telah menganulir Pasal 4 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020 tentang batas minimal usia calon kepala daerah, karena dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota atau Pilkada. 

Menurut MA, ketentuan PKPU bahwa batas usia dihitung sejak penetapan pasangan calon ini yang bertentangan dengan UU Pilkada.

Karena itu, MA menggantinya dengan ketentuan baru, yaitu usia calon dihitung pada saat calon dilantik sebagai kepala daerah definitif. Dengan putusan MA ini, seorang calon yang belum memenuhi batas usia saat penetapan calon masih dapat mencalonkan diri asalkan sudah memenuhi batas usia saat dilantik.

Putusan MA ini tentu mengandung kontroversi karena dicurigai sarat dengan nuansa politiknya. Meski demikian, Putusan MA ini justru menguntungkan anak-anak muda karena MA telah membuka jalan kepada mereka untuk terjun ke arena politik kontestasi daerah.

Berdasarkan ketentuan PKPU, mereka yang hendak menjadi calon gubernur atau wakilnya usianya minimal 30 tahun ketika penetapan pasangan calon. Begitu juga untuk calon bupati atau wakil bupati dan calon wali kota dan wakil wali kota yang ditetapkan syarat minimal usia ketika penetapan paslon.

Dengan putusan MA, konstelasi rentang usia untuk mendaftar sebagai calon gubernur, bupati, atau wali kota bisa menjadi lebih muda karena patokan batas minimal usia bukan lagi saat penetapan calon, tetapi pada saat calon tersebut dilantik sebagai kepala daerah definitif.

Dalam putusan bersejarah dan penuh kontroversi ini, MA membuka jalan bagi generasi muda untuk terjun ke arena politik daerah, membawa harapan baru dan energi segar untuk pembangunan lokal.

Kehadiran anak muda dalam politik daerah dapat membantu mengubah paradigma politik yang selama ini didominasi oleh figur-figur tua.

Bayangkan seorang pemimpin muda yang penuh semangat, inovatif, dan mampu merangkul teknologi modern untuk membawa perubahan nyata di daerahnya. Karena anak muda cenderung memiliki pendekatan yang lebih progresif dan inklusif, yang bisa mempercepat reformasi dalam pemerintahan daerah.

Inilah potensi masa depan yang semakin nyata, ketika semakin banyak orang-orang muda aktif dalam kontestasi politik lokal untuk meraih jabatan politik tertinggi di daerah.

Kepala Daerah Berusia Muda

Sejak Pilkada pertama diselenggarakan tahun 2005, mayoritas calon kepala daerah yang mendaftar adalah mereka yang berusia tua, yaitu di atas 40 tahun. 

Saat itu untuk mengidentifikasi calon kepala daerah berusia muda masih cukup sederhana, yaitu mereka yang berusia 40 tahun. Untuk calon kepala daerah berusia muda ini tidak begitu banyak yang mendaftar, kalaupun mendaftar masih sedikit sekali yang menang.

Namun, eskalasi partisipasi orang muda dalam pilkada mulai terlihat ketika periode pilkada sudah memasuki pilkada serentak yang dimulai tahun 2015. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mencatat ada 20 kepala daerah terpilih dan 17 wakil kepala daerah terpilih yang berusia kurang dari 34 tahun. Itu artinya, 13,7 persen daerah yang melaksanakan Pilkada 2020, akan dipimpin oleh kepala daerah berusia muda atau kaum milenial (Beritasatu.com, 10/1/2020).

Ilustrasi Gibran Rakabuming Raka, Walikota Surakarta termuda hasil Pilkada 2020 (Sumber: Liputan6.com)
Ilustrasi Gibran Rakabuming Raka, Walikota Surakarta termuda hasil Pilkada 2020 (Sumber: Liputan6.com)

Dengan adanya Putusan MA Nomor 23 P/HUM/2024 yang mengatur batas penentuan usia calon dihitung saat calon terpilih dilantik, memberi ruang yang lebih besar lagi kepada anak-anak muda berusia di bawah 30 tahun untuk mendaftarkan diri menjadi calon gubernur/wakil gubernur, dan calon bupati atau wali kota dan wakilnya.

Perubahan ini tidak hanya membuka jalan bagi anak muda menuju puncak kekuasaan eksekutif di daerah, tetapi sekaligus sebagai ajang pembuktian kemampuan anak muda dalam memimpin daerahnya.

Baca juga:

Preferensi Politik Milenial Cermin Masa Depan Bangsa

Putusan MA tentang batas minimal calon kepala daerah ini ternyata tidak sekadar melahirkan kontroversi tentang motif dan wewenang MA tetapi juga memicu lahirnya paradigma baru dalam pelaksanaan kontestasi politik di daerah. Paradigma tersebut, di antaranya adalah:

1. Peningkatan Jumlah Kandidat Muda

Putusan MA ini jelas akan memotivasi lebih banyak anak muda untuk terjun ke dunia politik dan mencalonkan diri sebagai kepala daerah.

Dengan persyaratan usia yang lebih fleksibel, mereka yang sebelumnya tidak memenuhi syarat usia pada saat penetapan calon kini memiliki peluang lebih besar untuk mencalonkan diri.

2. Diversifikasi Kepemimpinan Daerah

Dengan lebih banyak anak muda yang berpartisipasi, diversifikasi dalam kepemimpinan daerah dapat meningkat. Politik di daerah akan semakin dinamis dan fleksibel.

Bahkan, kehadiran anak-anak muda bisa mempercepat akselerasi pembangunan daerah dengan isu-isu kontemporer dan perkembangan teknologi terkini. Ini karena jiwa anak muda yang progresif dan adaptif. Anak muda biasanya membawa perspektif baru, inovatif, dan lebih adaptif terhadap teknologi serta isu-isu kontemporer seperti lingkungan dan inklusi sosial.

Ilustrasi sosok kepala daerah berusia muda (Sumber: Tribunnews.com)
Ilustrasi sosok kepala daerah berusia muda (Sumber: Tribunnews.com)

3. Dinamika Kompetisi Politik

Kompetisi dalam pemilihan kepala daerah bisa menjadi lebih dinamis dengan kehadiran calon-calon muda. Anak-anak muda yang lebih dinamis dan visioner akan menawarkan visi dan program yang lebih segar dan relevan bagi generasi mereka, yang dapat menarik pemilih dari berbagai kalangan usia, terutama pemilih muda.

Apatisme politik yang selama ini banyak datang dari kalangan muda bisa berubah. Calon kepala daerah yang berasal dari kalangan anak muda dapat meningkatkan partisipasi pemilih muda dalam pemilu. Pemilih muda mungkin merasa lebih terwakili dan termotivasi untuk ikut serta dalam proses pemilihan.

4. Tantangan Pengalaman dan Kematangan

Dengan peluang yang semakin terbuka, anak muda perlu belajar dan peduli terhadap persoalan-persoalan yang muncul di daerah sebagai materi untuk mengasah kemampuan mereka dalam membaca problem daerahnya.

Momen-momen pembelajaran ini perlu bagi anak muda yang memiliki visi untuk daerahnya, sebagai bekal dalam menghadapi tantangan terkait dengan pengalaman dan kematangan dalam memimpin daerah. Dukungan dari partai politik, mentor, serta pelatihan kepemimpinan menjadi faktor penting untuk membantu kesuksesan mereka.

5. Perubahan Paradigma Politik

Kehadiran lebih banyak anak muda dalam politik daerah dapat membantu mengubah paradigma politik yang selama ini mungkin didominasi oleh tokoh-tokoh yang lebih tua. Anak muda cenderung memiliki pendekatan yang lebih progresif dan inklusif, yang bisa mempercepat reformasi dalam pemerintahan daerah.

Secara keseluruhan, putusan MA ini dapat menjadi katalis positif bagi regenerasi politik di tingkat daerah sekaligus memberikan kesempatan kepada generasi muda untuk berkontribusi secara langsung dalam pembangunan dan pemerintahan.

Namun, perlu dicermati juga bahwa putusan MA ini ternyata memiliki kelemahan yang mendasar karena dianggap bertentangan dengan UU Pilkada yang demokratis.

Potensi Dinasti Politik

Sejumlah pakar telah mengkritik bahwa putusan MA ini memang membawa darah segar dan energi baru dalam pilkada nantinya, akan tetapi putusan tersebut juga bisa menjadi pintu masuk penyakit lama yang akan menggerogoti pilkada yang demokratis, yaitu dinasti politik. Selama ini mayoritas hasil pilkada di Indonesia adalah dinasti politik yang cukup kuat mencengkeram sistem politik di daerah.

Baca juga:

Pilkada 2024 dan Bayang-bayang Dinasti Politik

Hampir semua kawasan di Indonesia mempunyai dinasti politik dengan karakter kepemimpinan yang berbeda-beda. Ada kawasan yang kepala daerahnya dipilih dari keluarga yang sama dengan penguasa politik lokal sejak pilkada tahun 2005. Ada daerah yang dimekarkan untuk mengakomodasi nafsu politik dinasti-dinasti yang bersaing dalam politik lokal. Ada juga daerah yang para kepala daerahnya saling bertarung hanya untuk mewariskan legacy kepemimpinan berbasis kekerabatan.

Dinasti politik dalam Pilkada serentak nasional 2024 memang tidak bisa dihindari. Namun, dengan Putusan MA yang kontroversi ini, dikhawatirkan dinasti politik justru akan merajalela atas nama hak politik generasi muda.

Bisa saja, kecurigaan sejumlah kalangan terhadap motif dinasti politik di balik putusan MA ini malah akan semakin melanggengkan kekuasaan orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan penguasa petahana yang kuat di daerah maupun di tingkat nasional.

Ilustrasi dinasti politik (Sumber: Investor.id)
Ilustrasi dinasti politik (Sumber: Investor.id)

Mengacu pada data hasil Pilkada serentak 2020 dari Perludem, para pemimpin muda hasil Pilkada 2020 ternyata masih dibayang-bayangi dinasti politik. 

Hubungan kekerabatan dengan petahana atau elite politik daerah tersebut bervariasi, mulai dari yang paling dekat seperti istri, anak, saudara, ipar, menantu hingga sekadar hubungan kekerabatan jauh.

Dari 20 daerah dengan calon kepala daerah terpilih berusia maksimal 34 tahun, 13 (65 persen) di antaranya merupakan anak, istri, atau menantu dari elite politik di daerah masing-masing. Indikasi dinasti politik ini juga terjadi untuk posisi wakil kepala daerah.

Dari 17 calon wakil kepala daerah terpilih, 10 (58,82 persen) di antaranya adalah anak dari elite politik di daerah masing-masing. Sementara itu, dari 37 kepala daerah terpilih berusia 34 tahun, 23 (62,16 persen) di antaranya mempunyai hubungan kekerabatan dengan elite politik di daerahnya.

Pilkada 2020 memang berhasil mengorbitkan banyak orang muda untuk tampil sebagai pemimpin di daerahnya masing-masing.

Sayangnya, pengaruh hubungan kekerabatan dengan elit politik lokal di balik sosok kepala daerah berusia muda ini justru akan melanggengkan dinasti politik selama 5 tahun berikutnya.

Harapan perubahan yang disematkan kepada kepala daerah muda ini pun pupus karena eksistensi mereka di jabatan tersebut justru merepresentasikan kekuatan dinastinya sendiri, bukan karena pilihan rakyat.

Dinasti politik sekilas memang konstitusional karena mencerminkan penegakan hak asasi manusia. Namun, pengelolaan politik berdasarkan garis keturunan ini justru sangat berbahaya dalam penyelenggaraan kekuasaan dan jabatan publik seperti kepala daerah.

Dinasti politik bukan saja mengancam demokrasi, tetapi juga koruptif dalam arti penyelewengan kekuasaan hingga penyalahgunaan anggaran negara untuk kepentingan pribadi dan keluarga.

Karena itulah dinasti politik bisa memicu korupsi yang dilakukan oleh para kepala daerah. Beberapa kasus korupsi yang menjerat kepala daerah sangat erat kaitannya dengan latar belakang belakang kepala daerah yang berasal dari dinasti politik. Kepala daerah hasil dinasti politik ini rawan sekali ditunggangi kepentingan politik atau bisnis keluarga.

Putusan MA yang dicurigai sarat dengan unsur politiknya sangat potensial melahirkan dinasti politik gaya baru yang lebih masif, jika seleksi para calon tidak diatur seketat mungkin dari proses pendaftaran di partai politik dan KPU.

Selain itu, masyarakat sebagai pemilik kekuasaan di daerah juga perlu lebih kritis dalam memilih calon kepala daerahnya. Jangan sampai memilih lagi calon yang terindikasi gagal membangun daerah, korup, dan mempunyai hubungan kekerabatan dengan petahana atau elit politik di daerahnya.

Depok, 7/6/2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun