Tanggal 20 Mei 1908 yang dikenal sebagai hari lahirnya Boedi Oetomo merupakan momentum paling penting dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dari semangat pergerakan BU ini lahir semangat persatuan yang menjadi modal utama kekuatan bangsa kita merebut kemerdekaan pada 1945. Tanggal 20 Mei menjelma dari hari lahir sebuah organisasi kaum terdidik yang peduli dengan semangat kebangsaan menjadi hari Kebangkitan Nasional.
Makna hari Kebangkitan Nasional bagi generasi sekarang adalah momen refleksi yang penuh makna bagi Indonesia, di mana kita mengenang semangat para pahlawan dan intelektual yang memperjuangkan kemerdekaan melalui pendidikan dan kesadaran kolektif. Seratus tahun setelah kebangkitan nasional pertama, bangsa kita menghadapi tantangan baru dalam dunia pendidikan tinggi yang akan menentukan masa depan Indonesia menuju Indonesia Emas 2045. Bagaimana kita mengelola dan meningkatkan kualitas pendidikan tinggi saat ini akan sangat mempengaruhi apakah kita dapat merealisasikan visi tersebut.
Para penggerak kebangkitan nasional dulu percaya bahwa pendidikan adalah kunci untuk mencapai kebebasan dan kemajuan. Semangat inilah yang harus kita bawa di era kebangkitan nasional kedua sekarang, di mana pendidikan tinggi yang berkualitas dan terjangkau adalah fondasi bagi Indonesia Emas yang berdaya saing global. Dalam menghadapi polemik dan krisis pendidikan tinggi selama bertahun-tahun, kita perlu menghidupkan kembali semangat kebangkitan nasional.
Pendidikan tinggi di Indonesia telah menjadi topik yang penuh dengan polemik dan tantangan selama bertahun-tahun yang selalu melibatkan isu tentang kualitas lulusan, ketidaksesuaian dengan kebutuhan industri, dan biaya pendidikan yang mahal. Semua isu tersebut bermuara pada satu problematika besar yaitu adalah ketidaksesuaian antara output perguruan tinggi denan kebutuhan dunia kerja. Banyak lulusan perguruan tinggi merasa kesulitan mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi mereka, meskipun mereka memiliki gelar sarjana.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) selaku regulator pendidikan tinggi di Indonesia malah terkesan lepas tangan dalam polemik ini. Alih-alih menjembatani kesenjangan tersebut, kementerian malah memfasilitasi kenaikan uang kuliah dengan alasan perguruan tinggi merupakan pendidikan tersier  sehingga kuliah tidak wajib, tetapi pilihan bagi mereka yang mampu. Pendapat ini bermuara pada kontroversi bahwa pemerintah menganggap kuliah tidak wajib bagi lulusan SMA/SMK/Madrasah Aliyah.Â
Persoalannya sekarang, konektivitas perguruan tinggi dengan dunia kerja sekarang seperti terkendala oleh kesenjangan antara kualitas lulusan perguruan tinggi dengan keterampilan yang dibutuhkan di dunia kerja. Banyak perusahaan di Indonesia mengeluhkan bahwa lulusan perguruan tinggi tidak memiliki keterampilan yang dibutuhkan. Industri sering menganggap bahwa lulusan baru tidak siap kerja, kurang keterampilan praktis, dan kurang pengalaman.
Saat ini, industri dan dunia kerja menuntut pekerja yang tidak hanya memiliki pengetahuan teoretis, tetapi juga keterampilan praktis dan soft skills seperti komunikasi, kerja sama tim, dan pemecahan masalah. Perguruan tinggi dianggap hanya bisa menghasilkan lulusan yang menguasai pengetahuan teoretis belaka, sehingga kesenjangan antara dunia akademis dengan dunia industri masih menganga.
Sarjana dan IPK Tinggi
Perkembangan teknologi yang semakin pesat saat ini membuat dunia industri dan bisnis harus memperbaiki kualifikasi SDM agar bisa mendapatkan pekerja yang kompeten dan terampil sesuai dengan bidang masing-masing. Satu-satunya sumber untuk mendapatkan SDM yang berkualifikasi bagus hanya perguruan tinggi. Karena itulah banyak perusahaan di Indonesia masih berorientasi untuk merekrut karyawan mereka dengan basis pendidikan universitas. Kualifikasi yang ditetapkan pun cukup prestisius, yaitu minimal berpendidikan sarjana.