Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Mengapa Sopir Selalu Menjadi "Tumbal" Kecelakaan Bus?

16 Mei 2024   10:40 Diperbarui: 17 Mei 2024   08:33 777
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi kerabat korban kecelakaan bus Putera Fajar di Subang (Sumber: Kompas.com)

Sopir adalah pihak yang paling rentan untuk dikambinghitamkan dan dijadikan sebagai pelaku utama dari kecelakaan bus. Itulah fakta yang selalu kita jumpai setelah sebuah kecelakaan angkutan umum terjadi. Lalu bagaimana dengan pihak-pihak lain yang menjadi bagian dari mata rantai bisnis transportasi publik ini?

Kecelakaan study tour yang menimpa bus Putra Fajar di  Subang, Jawa Barat pada Sabtu 11 Mei lalu memang mengagetkan karena mengakibatkan 11 orang meninggal dunia dan puluhan lainnya mengalami luka berat dan ringan. Bus ini membawa 54 penumpang rombongan pelajar SMK Lingga Kencana, Depok dalam rangka acara perpisahan kelas XII di Subang. Bus mengalami kecelakaan saat melintas di Jalan Raya Kampung Palasari, Ciater, Subang pukul 18.45 WIB. 

Kecelakaan study tour dengan bus seperti ini bukanlah kejadian baru. Untuk kejadian yang sama, beberapa waktu lalu sebuah kecelakaan bus juga menimpa pelajar Depok yang sedang beranjang sana ke Bali. Belum lagi daftar panjang kecelakaan bus yang sedang membawa rombongan penumpang untuk study tour, atau kegiatan pariwisata lainnya. 

Sudah jadi rahasia umum kalau terjadi kecelakaan bus yang sampai merenggut korban jiwa maka sopir dan awak bus yang bekerja yang akan menjadi tersangka utama. Ini sudah betul, karena sopirlah operator bus yang menjadi pengendali jalannya kendaraan besar ini sekaligus penanggung jawab keselamatan para penumpang bus yang dia angkut. 

Kesalahan yang kerap kali menjerat para sopir bus ini adalah kelalaiannya ketika menyetir sehingga menyebabkan gerak kendaraannya tidak terkontrol dan menimbulkan kecelakaan di jalan raya. Apalagi dari kelalaiannya ini sampai terjadi korban jiwa dari para penumpangnya. Proses hukum sudah menanti dan siap menjeratnya dengan pasal-pasal kelalaian yang mengakibatkan korban jiwa.

Mengapa sopir selalu menjadi tersangka utama dalam kecelakaan bus dan seolah hanya menjadi satu-satunya pihak yang disalahkan dalam sebuah kecelakaan bus? Pihak-pihak lain yang menjadi mata rantai dalam bisnis transportasi umum ini sepertinya lepas tangan dan bebas dari jerat hukum. Pihak-pihak lain di sini yang paling relevan adalah perusahaan otobus yang menaungi bus-bus yang dioperasikan sebagai angkutan umum, atau pemilik bus tersebut. 

Ilustrasi penyelidikan bus Putera Fajar (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi penyelidikan bus Putera Fajar (Sumber: Kompas.com)

Kejanggalan Bus

Jika kita merunut kembali dari hasil-hasil penyelidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional Kecelakaan Transportasi (KNKT), Dinas Perhubungan, dan Korlantas Polri terhadap kecelakaan transportasi yang melibatkan bus, banyak "kejanggalan" yang ditemui pada bus yang di luar kendali para sopir. Padahal, kejanggalan-kejanggalan tersebut turut berkontribusi terhadap kecelakaan yang terjadi meskipun bersifat tidak langsung. 

Kesalahan tersebut bisa berupa manipulasi data kelaikan bus, administrasi dan perijinan operasi, serta modifikasi bentuk yang ilegal. Semua kejanggalan ini seharusnya menjadi tanggung jawab perusahaan otobus atau pemilik dan pihak-pihak terkait lainnya. Artinya, kelalaian sopir sebagai operator bus di jalan memang tidak bisa diingkari sebagai bentuk pelanggaran hukum dan sudah sepatutnya dikenai status sebagai tersangka utama dalam kasus-kasus kecelakaan maut.

Akan tetapi, para penegak hukum juga melebarkan penegakan hukum ke pihak lain, minimal mereka yang terkait langsung dengan bisnis angkutan bus ini yang juga lalai secara administrasi dan hukum.

Melansir Tirto.id, 13/5/2024, di bawah tajuk berita: Fakta Bus Putera Fajar yang Kecelakaan di Subang, Punya Siapa? ternyata bus Putera Fajar yang membawa rombongan pelajar SMK Lingga Kencana Depok memiliki sejumlah catatan kejanggalan yang patut diduga turut berkontribusi terhadap kecelakaan yang terjadi di Ciater, Subang, pada 11 Mei lalu. 

Kejanggalan pertama adalah status kepemilikan bus Putera Fajar. Berdasarkan hasil penyelidikan dari Dinas Perhubungan (Dishub) dan pihak terkait, Bus Putera Fajar yang mengalami kecelakaan di Subang ini awalnya terdaftar sebagai unit bus milik PT Jaya Guna HG yang berbasis di Baturetno, Wonogiri, Jawa Tengah. Setelah berganti nama menjadi Putera Fajar setelah berganti kepemilikan di bawah PO Trans Putera Fajar. Sayangnya, pemindah-tanganan bus ke pemilik baru ini belum sah secara administrasi. 

Kejanggalan yang cukup mengagetkan lagi adalah, pernyataan Dishub Kabupaten Wonogiri bahwa Bus Putera Fajar masih berstatus sebagai angkutan antarkota dalam provinsi (AKDP) di wilayahnya. Ini sekaligus menjelaskan mengapa bus berplat AD itu beroperasi di luar wilayah Jawa Tengah.

Masa pakai bus yang sudah terlalu lama juga menjadi temuan mengagetkan dari penyelidikan yang dilakukan oleh Dinas Perhubungan. Bus ini sudah digunakan selama 18 tahun ketika dijual dan dijadikan sebagai bus pariwisata. Bus Putera Fajar boleh jadi tidak pernah mengikuti pemeriksaan berkala sehubungan dengan usianya yang sudah tua, sehingga pemiliknya dinilai tidak tertib administrasi.  

Untuk mengantisipasi kecelakaan di masa mendatang, Wakil Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Djoko Setijowarno mendesak agar pengusaha bus yang tidak mau tertib administrasi diperkarakan. "Selama ini, selalu sopir yang dijadikan tumbal setiap kecelakaan bus. Sangat jarang sekali ada perusahaan bus yang diperkarakan hingga di pengadilan," lanjut dia.

Sebelum berganti nama menjadi Putera Fajar, bus dengan nama sebelumnya Jaya Guna HG ini sudah melewatkan  uji kendaraan bermotor berkala atau KIR sejak Desember 2023.

Kepala Dishub Kabupaten Wonogiri Waluyo, mengonfirmasi dari dokumen uji KIR bus seharusnya berakhir Desember 2023, tapi statusnya itu masih AKDP. Uji KIR yang  dilakukan bus setiap enam bulan sekali merupakan prosedur untuk menguji kelayakan kendaraan dan legalitas administrasi. Bahkan, bus Putera Fajar ini juga terbukti melanggar perizinan karena ketahuan tidak mempunyai izin angkutan. Pelanggaran ini ada kaitannya dengan status lulus uji KIR yang sudah kedaluwarsa sejak 6 Desember2023.

Ilustrasi SAD, sopir bus Putera Fajar yang kecelakaan di Ciater, Subang (Sumber: Mediaindonesia.com)
Ilustrasi SAD, sopir bus Putera Fajar yang kecelakaan di Ciater, Subang (Sumber: Mediaindonesia.com)

Mengenai penyebab kecelakaannya sendiri para penyelidik masih berpegang pada keterangan sopir bus, yaitu rem blong. Sopir yang hanya mengalami luka ringan tersebut mengatakan bahwa rem blong terjadi ketika bus melaju di sebuah turunan sehingga bus kehilangan kendali yang membuat sopir membanting setir ke arah kanan.

Sayangnya, keputusan itu menyebabkan badan bus terguling dan menabrak sebuah mobil serta tiga motor yang terparkir di bahu jalan. B Namun, keterangan ini masih terus dikonfirmasi dengan fakta-fakta penyelidikan di lapangan. 

Dari hasil penyelidikan terbaru, bus Putera Fajar ternyata tidak hanya layak jalan, tetapi juga sudah mengalami modifikasi bodi secara ngawur. Bus itu dimodifikasi dengan bodi jenis SHD atau super high decker. Padahal sasis bus lansiran 2006 itu tidak mendukung penggunaan bodi dek tinggi (Detik.com, 14/5/2024).

Sejatinya perombakan bodi tidak bisa dilakukan secara asal, tetapi perlu memperhitungkan juga jenis dan kondisi bus tersebut. Bus PO Trans Putera Fajar menggunakan sasis Hino AK1JRKA yang masih pakai per daun, tidak cocok menggunakan bodi SHD yang tinggi. Perombakan bodi yang dilakukan pada bus ini sangat bertentangan dengan regulasi dan kenyamanan kendaraan saat beroperasi, terutama dari sisi keselamatannya

Sopir Sebagai Tumbal

Tanggal 14 Mei 2024 atau tiga hari setelah kecelakaan maut bus Putera Fajar di Ciater, Subang, polisi akhirnya menetapkan Sadira,  sopir bus tersebut sebagai tersangka tunggal dalam peristiwa yang merenggut 11 nyawa itu.

Putusan tersebut ditetapkan setelah polisi memeriksa 13 saksi dan 2 saksi ahli. Sadira terbukti lalai karena memaksa jalan bus yang dalam keadaan sudah rusak tak layak jalan. Sadira diancam dengan Pasal 411 ayat 5 Undang-undang No. 22 tahun 2009 tentang Lalulintas dan Angkutan Jalan dengan ancaman hukuman maksimal 12 penjara dan denda Rp24 juta 

Melansir Kompas.com, 14/5/2024, polisi menjelaskan beberapa penyebab kecelakaan bus, di antaranya: Oli sudah keruh karena sudah lama tidak diganti. Adanya campuran air dan oli di dalam kompresor yang seharusnya hanya berisi udara saja.

Hal ini terjadi karena ada kebocoran oli Jarak antara kampas rem di bawah standar yakni 0,3 mm. Seharusnya jarak minimalnya 0,45mm Terjadi kebocoran di dalam ruang relaypart dan sambungan antara relaypart dengan booster, karena adanya komponen yang sudah rusak sehingga saluran tidak tertutup rapat dan menyebabkan tekanan berkurang.

Kasus ini menjadi titik kritis membenahi sistem angkutan darat, khususnya bus pariwisata. Insiden ini membuka persoalan lebih luas tentang pihak-pihak yang ditengarai harus bertanggung jawab, selain sopir bus yang selama ini "selalu dijadikan tumbal setiap kecelakaan bus". Pihak-pihak yang tak bisa lepas dari kecelakaan ini maupun insiden yang berulang, antara lain: Perusahaan Otobus.

Sudah saatnya, pengusaha bus yang tidak mau tertib administrasi diperkarakan. Selama ini, selalu sopir yang dijadikan tumbal setiap kecelakaan bus. Perusahaan Otobus yang melanggar administrasi hingga berdampak terhadap hilangnya nyawa orang semestinya ikut diperkarakan sebagai efek jera. 

Setelah kecelakaan bus Putera Fajar di Subang, Kemenhub dan Polri langsung mengadakan cek massal kelayakan bus pariwisata di 6 provinsi. Tapi apa sanksinya?

Dalam regulasinya, pihak yang tidak mematuhi uji berkala ini hanya sebatas diberi sanksi peringatan tertulis dan denda administratif. Pemilik kendaraan yang mengabaikan peringatan ini paling banter diganjar Rp24 juta. Sanksi berat justru dibebani kepada pengemudi. 

Ilustrasi kerabat korban kecelakaan bus Putera Fajar di Subang (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi kerabat korban kecelakaan bus Putera Fajar di Subang (Sumber: Kompas.com)

Pakar transportasi mengatakan kecelakaan yang menewaskan 11 orang ini menjadi petanda bahwa kondisi keselamatan angkutan (darat) kita sudah gawat. Segeralah bertindak, sebab kalau terlambat tentu akan lebih gawat lagi. Korbannya bisa bertambah lagi dan bisa saja mengancam keluarga dan diri kita sendiri. 

Anggota Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas), Pudji Hartanto Iskandar mendorong kepolisian melakukan penelusuran terhadap pemilik bus. "Nah itu harus menjadikan momentum, apalagi KIR mati dan kendaraan tidak terdaftar. Memang ada indikasi bahwa
setelah penetapan Sadira, sopir bus Putera Fajar sebagai tersangka, polisi akan memintai keterangan dari pihak perusahaan.  

Kepala Korps Lalu Lintas (Kakorlantas) Polri, Irjen Pol Aan Suhanan, mengatakan pihaknya tidak menutup kemungkinan untuk memeriksa pemilik bus. "Apabila hasil penyelidikan mengarah ke tersangka lain, seperti contoh pengusaha. Itu kita juga akan terapkan pasal terkait pengusaha yang mungkin ada kelalaian dan sebagainya, bisa dijadikan tersangka. Ini sangat memungkinan." kata Aan (Kompas.com, 16/5/2024). 

Kontrol Ketat

Menurut pengamat transportasi dari MTI, Djoko Setiwarjono,  kecelakaan yang berulang dengan faktor mengantuk dan rem blong menunjukkan ada yang salah dengan sistem kita. Masalah rem blong ini terkait dengan kelayakan bus yang semestinya sudah selesai terperiksa melalui KIR. Persoalan ini selalu muncul karena pengawasan di lapangan masih lemah. Kalau pemerintah tidak sanggup, carikan pihak ketiga untuk mengawasinya dan rutin mengecek bus-bus pariwisata yang beroperasi. 

Jumlah sopir bus yang semakin berkurang berdampak terhadap tuntutan jam kerja tinggi yang membuat sopir kelelahan dan berisiko mengantuk dan celaka di jalan. Hal ini tak lepas dari perhatian pemerintah terhadap kesejahteraan sopir bus, seperti penentuan standar upah dan waktu libur bagi sopir bus atau truk. Khusus bus pariwisata, tak banyak destinasi wisata yang menyediakan tempat peristirahatan yang layak buat sopir. 

Sementara itu, Direktur Angkutan Jalan Kemenhub, Suharto mengatakan dari temuan di lapangan pihak pengusaha bus yang akan diperkarakan. Kemenhub memastikan bahwa bus yang digunakan tidak punya izin menjadi bus pariwisata, kir kadaluarsa, dan pemilik bus mengubah bentuk bodi dan interior maka pemiliknya juga akan dijerat, selain sopir bus tersebut. 

Sayangnya, pemilik hanya sebatas diberi sanksi administrasi, peringatan atau paling banter kena denda paling banyak Rp24 juta, sesuai peraturan Menteri Perhubungan. Sanksi dengan nilai tersebut tentu tidak terlalu relevan dan juga tidak terlalu memberatkan. 

Namun, kasus ini bisa menjadi pesan bahwa masyarakat harus lebih bijak dalam memilih armada bus. Pemerintah hanya menyediakan aplikasi bernama 'MitraDarat' yang berguna untuk memeriksa izin dan kelayakan bus sewa. Kalau armada yang dicari sudah sudah tidak muncul di aplikasi, maka dapat dikategorikan sebagai kendaraan ilegal karena sudah tidak terdaftar.

Dengan proses yang ketat tersebut, masyarakat melakukan seleksi alam sehingga ke depannya bus-bus tidak berizin dan bermasalah secara administrasi lainnya akan berhenti beroperasi dengan sendirinya. 

 ***

Depok, 16/5/2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun