Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Megawati-Prabowo: Dua Sosok Penentu Titik Temu Kepentingan Nasional

27 Maret 2024   09:55 Diperbarui: 13 April 2024   20:44 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Megawati-Prabowo: Dua Sosok Penentu Titik Temu Kepentingan Nasional

Oleh: Sultani

Pertemuan antara Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri dengan presiden terpilih Prabowo Subianto memiliki potensi untuk menghasilkan dampak positif yang signifikan bagi masyarakat Indonesia dalam mengatasi rivalitas politik yang belum selesai.

Politik memang unik, kalau tidak mau dibilang aneh. Hari ini musuh besok jadi kawan. Begitu juga sebaliknya. Pagi tengkar sore langsung baikan lagi. Benar kata orang, politik itu fana, tidak abadi. Semua bisa berubah entah cepat, entah lama waktunya. Intinya tidak ada teman atau musuh yang abadi.

Selama ini kita selalu disuguhkan dengan berita-berita tentang rivalitas antartokoh politik yang berimbas pada polarisasi kekuatan berbasis partai, afiliasi politik, atau aliran politik. Masih segar sekarang adalah rivalitas antara pemenang Pilpres 2024, Prabowo - Subianto dengan dua rivalnya, Anies -- Muhaimin dan Ganjar -- Mahfud.

Babak terbaru dari drama rivalitas tersebut adalah pengajuan perkara sengketa Pilpres oleh kedua mantan capres tersebut ke Mahkamah Konstitusi. Tuntutan mereka tidak main-main, batalkan hasil Pilpres dan diskualifikasi pemenangnya. Meski terkesan lebay dan cengeng --sebagaimana yang diungkapkan oleh Hotman Paris Hutapea --MK tetap menghargai perkara ini dan akan menyelesaikannya seadil mungkin.

Sebelumnya, pertikaian tentang hasil Pilpres sudah panas dan mengganggu ketertiban masyarakat melalui aksi demo penolakan hasil pilpres dan tuduhan pemilu curang. Aksi unjuk rasa tersebut memperlihatkan perbedaan sikap terhadap hasil pilpres yang disertai dengan tindakan provokatif untuk mendiskreditkan pelaksanaan Pilpres.

Ilustrasi TPN Ganjar-Mahfud di Mahkamah Konstitusi (Sumber: CNNIndonesia.com)
Ilustrasi TPN Ganjar-Mahfud di Mahkamah Konstitusi (Sumber: CNNIndonesia.com)

Aksi tolak hasil pemilu yang berlebihan tersebut mengindikasikan adanya kebencian dan amarah yang berpotensi memicu gejolak yang lebih besar terhadap ketertiban masyarakat dan keamanan negara. Kondisi ini didukung oleh sikap diam dua capres yang terkesan membiarkan pendukungnya marah dan mengamuk di jalanan.

Apakah masuknya perkara sengketa hasil Pilpres 2024 akan memulihkan stabilitas nasional yang terkoyak saat ini? Saya yakin belum, karena kelihatannya kedua kubu yang kalah ini sedang mengatur siasat politik untuk menggulirkan tuntutan mereka menjadi hak angket di DPR.

Motif ini sangat kentara karena sampai saat ini masih enggan untuk menerima hasil Pilpres dan mengakui kemenangan Prabowo -- Gibran yang diyakini bisa meredakan amarah pendukung mereka. Jadi, sikap kedua capres yang kalah ini masih potensial untuk memancing instabilitas politik.

Baca juga:

Wacana Hak Angket dan Politisasi Hasil Pilpres 2024

Pertanyaannya, sampai kapan persoalan sengketa hasil Pilpres 2024 dimanfaatkan untuk mengakomodasi kepentingan pihak-pihak yang jelas-jelas sudah dinyatakan kalah dalam Pilpres 2024?

Jawabannya hanya satu, yaitu rekonsiliasi, terutama para tokoh yang terlibat langsung dalam Pilpres 2024, yaitu Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo. Rekonsiliasi ini juga perlu melibatkan wakilnya masing-masing, yaitu Gibran Rakabuming Raka, Muhaimin Iskandar, dan Mahfud MD.

Rekonsiliasi Pasca-Pilpres

Sejauh ini, tahapan rekonsiliasi sudah mulai dibangun oleh beberapa tokoh penting yang dianggap memiliki pengaruh yang strategis di balik pelaksanaan Pilpres selama ini. Pertemuan Surya Paloh dengan Presiden Joko Widodo di Istana Kepresidenan pada 18 Februari 2024 merupakan sinyal awal dimulainya rekonsiliasi antartokoh politik.

Pertemuan Presiden Joko Widodo dengan dua menterinya yang berasal dari PKB, yaitu Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah dan Menteri Desa Abdul Halim Iskandar meski ditengarai sarat kepentingan politik, namun memiliki pesan rekonsiliasi. Presiden tampaknya ingin segera mengakhiri konflik terkait hasil Pilpres dan mengajak PKB untuk sama-sama menciptakan stabilitas politik.

Keinginan untuk segera mengakhiri persaingan dalam Pilpres 2024 juga ditunjukkan oleh capres terpilih Prabowo Subianto ketika bertemu dengan Ketua Umum DPP Partai Nasdem Surya Paloh di markas utama partai ini. Pertemuan pada 22 Maret lalu ini bisa saja multi tafsir, namun mengandung pesan rekonsiliasi yang kuat.

Ilustrasi pertemuan Prabowo Subianto dan Surya Palo (Sumber: rm.id)
Ilustrasi pertemuan Prabowo Subianto dan Surya Palo (Sumber: rm.id)

Sikap Nasdem yang memberikan karpet merah untuk Prabowo ke kantornya bukanlah sesuatu yang berlebihan. Justru sikap tersebut menunjukkan ketulusan hati partai ini untuk melakukan rekonsiliasi setelah bersaing ketat dalam Pilpres. Sebelum pertemuan tersebut, Partai Nasdem sudah menyatakan menerima hasil Pilpres dan memberi ucapan selamat kepada Prabowo -- Gibran sebagai paslon terpilih.

Pertemuan Prabowo dengan Surya Paloh juga menjadi sinyal rekonsiliasi yang semakin kuat, setelah merebak adanya isu penggalangan hak angket DPR yang didorong oleh Partai Nasdem, PKB, dan PKS.

Baca juga:

Oposisi Rasa Koalisi

Sudah menjadi rahasia umum  bahwa pertemuan antar tokoh politik selama ini sangat sarat dengan muatan politik dari kepentingan politik mereka masing-masing. Dalam konteks Pilpres 2024, muatan politik tersebut selalu bermuara pada bagi-bagi jatah kekuasaan, dalam hal ini adalah kursi kementerian.

Dalam situasi politik yang masih rawan seperti sekarang, pertemuan politik antar tokoh bangsa menjadi penting dan urgen karena kedudukan mereka sebagai tokoh sentral dalam kelompok politiknya masing-masing. Peran mereka untuk meredam potensi pertikaian dalam politik lebih utama ketimbang motif politik untuk mendapatkan jatah kekuasaan dari pemenang Pilpres.

Pertemuan Megawati -- Prabowo

Beredar berita di media massa beberapa hari ini bahwa sebuah agenda rekonsiliasi juga sedang diinisiasi oleh sejumlah tokoh yang berada di balik Megawati sebagai parpol pemenang Pemilu dan Prabowo Subianto sebagai pemenang Pilpres. Pertemuan ini dinilai sangat strategis karena bisa membawa dampak rekonsiliasi yang nyata.

Megawati selama Pilpres merupakan tokoh yang berada di balik capres Ganjar Pranowo yang tidak lain adalah rival dari Prabowo. Megawati melalui PDIP sebagai partai penyokong utama Ganjar dengan sendirinya juga menjadi lawan dari Prabowo. Rivalitas Prabowo dengan Mega melalui persaingan dirinya dengan Ganjar diperkuat dengan kehadiran Jokowi yang berada di pihaknya.

Hasil Quick Count yang memenangkan Prabowo -- Gibran tetapi gagal menenggelamkan PDIP membuat rivalitas Prabowo Mega tidak surut. Alih-alih surut, Mega justru mendorong agar kader-kadernya yang terpilih di DPR harus menjadi oposisi yang kritis terhadap pemerintah. Bahkan, Mega juga disebut-sebut telah merestui digulirkan hak angket DPR untuk menyelidik penyelenggaran Pilpres dan Pemilu yang curang.

Setelah KPU mendeklarasikan hasil rekapitulasi hasil Pilpres dan Pemilu 2024, suara Megawati jarang terdengar lagi menyuarakan aspirasi partainya untuk melaksanakan hak angket. Sikap Megawati dan partainya terhadap hak angket hanya disampaikan oleh para kadernya. Diamnya Mega dalam kasus hak angket ini lalu membuat tensi politik hak angket di DPR agak mereda.

Tidak ada angin tidak ada hujan, tiba-tiba saja muncul berita akan adanya pertemuan Megawati dengan Prabowo yang sedang diagendakan waktunya. Pertemuan kedua tokoh penting Indonesia sekarang memang sedang dinanti oleh mayoritas rakyat Indonesia yang ingin melihat tokoh-tokoh politik bergandengan tangan kembali dalam membangun negara.

Baik Megawati maupun Prabowo saat ini merupakan dua tokoh sentral bangsa Indonesia. Megawati adalah pemimpin tertinggi dari partai pemenang Pemilu 2024 sedangkan Prabowo Subianto adalah pemenang Pilpres yang akan dilantik pada Oktober 2024. Dengan kedudukan sebagai puncak pemimpin nasional, pertemuan keduanya bisa menjadi momentum sebenarnya dari semangat rekonsiliasi yang hendak dicapai.

Megawati dengan Prabowo sendiri sudah memiliki hubungan yang erat sejak Pilpres 2009. Dalam pemilu tersebut keduanya tampil sepaket sebagai calon presiden dan wakil presiden. Setelah Pemilu 2009 keduanya pecah kongsi karena Megawati mencalonkan Joko Widodo sebagai capres yang menjadi lawan Prabowo. Padahal, Megawati sendiri terikat dengan perjanjian Batutulis yang menyebutkan bahwa Mega akan mendukung Prabowo sebagai capres pada Pilpres 2014.

Kenyataannya, Pilpres 2014 Megawati berada satu kubu dengan Jokowi untuk mengalahkan Prabowo. Jokowi bisa mengungguli Prabowo dalam Pilpres 2014. Pertarungan politik berlanjut pada Pemilu 2019 dengan formasi politik yang sama. Megawati tetap mengusung Jokowi, sementara Prabowo tetap menjadi lawan politik Jokowi.

Titik Temu

Pertemuan antara Megawati Soekarnoputri dengan Presiden terpilih Prabowo Subianto memiliki potensi untuk menciptakan dampak positif yang signifikan bagi rakyat Indonesia, terutama dalam konteks mengatasi rivalitas politik yang belum selesai. Pertemuan ini dapat menjadi langkah awal untuk memulai proses rekonsiliasi politik antara dua kubu politik yang selama ini bersaing.

Dengan adanya dialog dan komunikasi langsung antara dua tokoh penting ini, harapannya adalah mereka dapat menemukan titik temu dan menciptakan kerja sama yang membangun demi kepentingan bersama.

Dampak positif yang diharapkan adalah terciptanya stabilitas politik yang lebih baik. Dengan berkurangnya ketegangan antara kedua kubu politik tersebut, akan ada ruang yang lebih besar untuk fokus pada pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan yang efektif.

Pertemuan ini juga dapat mengirimkan sinyal positif kepada masyarakat bahwa para pemimpin politik mampu bekerja bersama untuk kepentingan negara. Hal ini dapat meningkatkan kepercayaan publik terhadap institusi politik dan menunjukkan bahwa perbedaan politik tidak selalu menghalangi kerja sama yang produktif.

Pertemuan antara Megawati dan Prabowo ini juga dapat memperkuat fondasi demokrasi Indonesia dengan menunjukkan kematangan politik dalam menangani konflik dan perbedaan pendapat. Hal ini dapat menjadi contoh bagi generasi muda tentang pentingnya dialog, toleransi, dan kompromi dalam menjaga keutuhan bangsa.

Selain itu, pertemuan ini juga bisa membuka peluang untuk kolaborasi antara kedua pihak dalam hal kebijakan dan program-program pembangunan yang menguntungkan bagi rakyat. Dengan bekerja bersama, mereka dapat memanfaatkan keahlian dan sumber daya yang ada untuk mencapai tujuan bersama yang lebih besar.

Dampak Rekonsiliasi

Rekonsiliasi antara Presiden Joko Widodo dengan rivalnya dalam Pilpres 2019 di Stasiun MRT Lebak Bulus bukanlah aksi simbolik semata. Tindakan keduanya untuk segera mengakhiri pertikaian selama dua kali pemilihan presiden ternyata bisa memadamkan gejolak politik yang berbasis pada polarisasi dukungan keduanya.

Baca juga:

Membangun Rekonsiliasi di Tengah Perbedaan Pilihan Politik

Rekonsiliasi tersebut tidak gratis memang, karena setelah itu, Ketua Umum Partai Gerindra tersebut langsung diboyong Jokowi sebagai anggota kabinetnya di Kementerian Pertahanan. Sebagai imbalan untuk rekonsiliasi tersebut juga, Presiden Jokowi menambahkan satu pos kementerian lagi, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk partainya Prabowo.

Tujuan Jokowi mengajak Prabowo untuk menjadi bagian dari pemerintahannya saat itu sangat strategis dalam menciptakan stabilitas pemerintahan yang akan dikerjakan selama 5 tahun. Ancaman terhadap pemerintahannya yang paling rawan berasal dari pendukung Prabowo. Makanya, untuk mengendalikan gangguan terhadap kepemimpinannya kelak, Jokowi harus mengambil langkah-langkah rekonsiliasi dengan mengakomodasi Prabowo ke dalam pemerintahannya.

Hasilnya, selama 5 tahun memimpin, program pembangunan berhasil dilaksanakan dengan lancar dan tuntas. Prestasi Jokowi dalam membangun infrastruktur telah menghadirkan konektivitas antar wilayah yang semakin cepat dan lancar. Pertumbuhan ekonomi terjadi relatif stabil di tengah ancaman resesi dunia. Semua keberhasilan tersebut bisa dicapai oleh Jokowi karena kuncinya adalah rekonsiliasi.

Depok, 27 Maret 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun