Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Kaesang-Erina Masuk Bursa Calon Kepala Daerah: Pertarungan Wacana Dinasti Politik vs Konsolidasi Demokrasi

12 Maret 2024   05:28 Diperbarui: 12 Maret 2024   05:28 340
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Oleh: Sultani

Nama Ketua Umum DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Kaesang Pangarep dan istrinya Erina Gudono tiba-tiba mencuat dalam bursa calon kepala daerah. 

Nama sejoli suami istri ini langsung mendapat sorotan karena dituding sebagai kelanjutan dari dinasti politik Joko Widodo, Presiden Republik Indonesia yang ketujuh. 

Isu dinasti politik Jokowi kembali mencuat setelah sempat panas melalui penunjukan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden dalam Pemilihan Presiden 2024.

Kaesang -- Erina merupakan bagian dari nama-nama calon kepala daerah yang sudah masuk dalam bursa dan digadang-gadang oleh partai politik serta para pendukungnya. 

Munculnya nama kedua sosok fenomenal di dalam bursa calon ini disebut-sebut berasal dari lembaga survei dan partai politik. Nama Kaesang Pangarep mencuat ke permukaan berkat hasil jajak pendapat dari lembaga survei Solo Raya Polling yang dirilis pekan lalu. Sedangkan nama Erina Gudono diusung oleh Partai Gerindra, partai pengusung utama pasangan Prabowo -- Gibran dalam Pilpres 2024.

Nama Kaesang sendiri muncul bersamaan dengan belasan tokoh politik Solo yang disukai untuk menjadi Wali Kota Surakarta menggantikan Gibran Rakabuming Raka. 

Nama-nama lain yang sudah beken di Solo di antaranya adalah, Wakil Wali Kota Solo Teguh Prakosa, Ketua DPRD Surakarta Budi Prasetya, dan Her Suprabu. Ketiga rival Kaesang ini adalah kader utama PDIP Solo.

Selanjutnya ada juga nama yang cukup populer yaitu anggota DPR RI RA Yashinta Sekarwangi Mega yang merupakan putri politikus PDIP Aria Bima. Anak dari Ketua DPC PDIP Solo, FX Hadi Rudyatmo, Rheo Yuliana Fernandes juga disebut-sebut sebagai bakal calon wali kota. Selain kader PDIP, putri tokoh senior Golkar Akbar Tandjung yang sekarang menjabat sebagai Ketua DPD Partai Golkar Kota Surakarta, yakni Sekar Tandjung juga populer untuk menjadi pengganti Gibran.

Selain nama-nama itu, ada lagi politikus PKS Sugeng Riyanto yang menjadi Wakil Ketua DPRD Surakarta, Sekda Kota Surakarta Budi Murtono, Ketua FKUB HM Mashuri, Rektor UNSA Astrid Widayani, dan KGPAA Mangkunegara X Bhre Cakrahutomo Wira Sujiwo atau Gusti Bhre (cnnindonesia.com, Kaesang, Anak FX Rudy, dan Putri Akbar Tanjung Masuk Bursa Walkot Solo, 9/3/2024).

Erina Sofia Gudono atau Erina Gudono tiba-tiba saja muncul sebagai sosok yang didapuk sebagai bakal calon Bupati Sleman, DI Yogyakarta melalui usulan DPC Partai Gerindra Kabupaten Sleman. Nama menantu Presiden Joko Widodo ini muncul atas masukan internal partai Gerindra, baik dari pusat maupun di daerah sendiri. Pertimbangannya adalah Erina merupakan tokoh muda yang enerjik.

Hingga sekarang sosok istri Kaesang Pangarep ini disandingkan dengan beberapa nama kader Gerindra, yakni  Lisman Puja Kesuma, Danang Wicaksana Sulistya, dan Sukaptana. Nama pendamping Erina di luar Gerindra yang siap diprospek adalah mantan Sekda Kabupaten Sleman Harda Kiswaya.

Tribunnews
Tribunnews

Untuk meloloskan pengajuan nama Erina tersebut Partai Gerindra sudah membuka komunikasi dengan partai politik lain, karena partai besutan Prabowo Subianto ini hanya menguasai 6 kursi di DPRD Kabupaten Sleman. Untuk bisa mengusung calon kepala daerah Gerindra membutuhkan 4 kursi lagi (cnnindonesia.com, Erina Gudono, Menantu Jokowi Dilirik Maju di Pilkada Sleman Yogya, 9/3/2024).

Dinasti Politik Jokowi

Munculnya nama keluarga Presiden Jokowi --anak dan menantu -- dalam percaturan politik nasional pasca-Pilpres 2024 selalu membawa konotasi dinasti politik dalam benak publik. 

Konotasi negatif ini dipicu oleh lolosnya putra sulung sang Presiden, Gibran Rakabuming Raka sebagai calon wakil presiden, setelah terjadi kongkalikong untuk menyiasati aturan tentang syarat usia calon presiden dan/atau calon wakil presiden. 

Berkat campur tangan Anwar Usman, Ketua Mahkamah Konstitusi yang juga adalah Paman dari Gibran, urusan batas usia minimal bisa ditembus. Gibran pun lolos dan saat ini unggul sementara berdasarkan hasil quick count dan real count KPU.

Isu dinasti politik Jokowi bisa dipastikan akan memanas lagi jika Kaesang Pangarep dan istrinya Erina Gudono menerima pinangan partai politik untuk berkontestasi dalam pemilihan kepala daerah pada 27 November 2024. 

Hampir bisa dipastikan nama Presiden Joko Widodo akan dikait-kaitkan jika nama anak dan menantunya terpilih kelak. Bahkan, Gibran Rakabuming Raka yang sudah dilantik menjadi Wakil Presiden pada 20 Oktober nanti juga tidak luput dari serangan publik. Bahkan, mantan Wali Kota Solo itu kelak akan dijadikan sebagai contoh dari politik dinasti bentukan Jokowi.

Sumber: Solopos.com
Sumber: Solopos.com

Isu Kaesang menjadi wali kota sudah bukan hal baru lagi. Sebelumnya, Kaesang juga sudah digadang-gadang oleh PSI untuk menjadi calon Wali Kota Depok. 

Masih ingat dengan spanduk bergambar Kaesang sebagai calon Wali Kota Depok yang viral di media sosial pada Mei 2023? Munculnya spanduk tersebut langsung memicu pikiran publik kepada nama Jokowi. Mengapa harus nama Jokowi yang muncul?

Jawabannya bukan karena Presiden RI ketujuh ini adalah sosok ayah kandung dari Kaesang. Nama Jokowi menjadi relevan dengan wacana pencalonan putra bungsunya tersebut karena terkait dengan posisinya sebagai Presiden petahana. 

Ada dugaan bahwa sebuah dinasti politik sedang dibangun di bawah kekuasaan mantan Wali Kota Solo ini melalui keterlibatan anak-anak dan kerabatnya di dalam kekuasaan politik. Sehingga, begitu spanduk pencalonan Kaesang tersebut viral, orang-orang langsung berpikir bahwa Jokowi sedang menyusun kekuatan politiknya melalui dinasti politik yang dirintis melalui anak dan menantunya.

Secara umum dinasti politik bisa diartikan sebagai kekuasaan politik yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih memiliki hubungan darah atau kekerabatan. 

Dalam sistem kekuasaan ini rekrutmen politik dan sirkulasi kekuasaan hanya berputar pada kerabat dan keluarga petahana. Jika Jokowi memang berniat untuk membangun dinasti politiknya, maka orang nomor satu di republik ini sedang membangkitkan kembali model kekuasaan politik yang populer pada zaman kerajaan berabad-abad silam.

Dinasti politik menganut patrimonialisme dimana regenerasi politiknya lebih mengutamakan ikatan genealogis ketimbang merit sistem yang berbasis prestasi. Karena itulah dinasti politik ini terbilang awet dalam sistem kerajaan yang sirkulasi kekuasaannya diwariskan secara turun temurun dari raja kepada anak dan keturunannya. Tujuan dinasti politik adalah agar kekuasaan tetap langgeng dalam keluarga penguasa.

Untuk zaman sekarang, praktik dinasti politik sudah dianggap kuno atau primitif. Akan tetapi, pandangan ini tidak berlaku untuk beberapa kalangan. Mereka menggandrungi dinasti politik di alam demokrasi yang modern. 

Fenomena ini marak kembali ketika sistem pemerintahan Indonesia bergerser dari sistem sentralisasi menjadi desentralisasi berbasis otonomi daerah. 

Sejarah telah mencatat, sejak otonomi daerah berlaku pada 2001 yang diikuti dengan pemilihan kepala daerah langsung tahun 2005, sejumlah kepala daerah berhasil memperkuat kedudukan mereka melalui dinasti politik.

Sumber: Kompas.com
Sumber: Kompas.com

Daerah-daerah yang dikenal memiliki hubungan yang kuat dengan politik kekerabatan melahirkan dinasti politik yang luas dan kuat dalam mencengkeram kekuasaan di daerahnya. 

Sebut saja Banten yang berhasil mempertahankan dominasi kekuasaan di tangan keluarga Ratu Atut, Gubernur Banten yang menjabat dari 2007 hingga 2015 (dua periode). 

Selain Banten, di Pulau Kalimantan ada di Kalimantan Timur, Kalimantan Barat. Sementara di Sulawesi, Sumatera, Maluku, dan Papua  juga mencatat munculnya penguasa-penguasa lokal dengan dinasti politiknya masing-masing.

Meskipun selalu dikritik dan dikecam oleh publik, fenomena dinasti politik tetap saja mencuat. Data terakhir dalam Pilkada serentak 2020 mengungkapkan, 55 pasangan calon kepala daerah dari 124 kandidat (44 persen) yang tercatat dalam sistem informasi dan rekapitulasi KPU ternyata terafiliasi dengan dinasti politik pejabat dan mantan pejabat. Tren politik kekerabatan ini menunjukkan munculnya gejala patrimonial lama yang dibungkus dengan strategi baru atau neopatrimonialistik.

Menurut Dosen Ilmu Politik Fisipol UGM, A.G.N. Ari Dwipayana,  dinasti politik sekarang disebut neopatrimonial karena dulu pewarisan kuasa ditunjuk langsung, sekarang lewat jalur politik prosedural. Patrimonialistik terselubung dalam jalur prosedural, seperti anak atau keluarga para elite masuk partai politik sebagai institusi yang disiapkan.

Dari semua penjelasan tersebut, dinasti politik yang marak di Indonesia ternyata bukan sekadar fenomena biasa, tetapi juga sudah menjadi tradisi, bahkan strategi. Semua itu bermuara pada upaya untuk melanggengkan kekuasaan. 

Dalam konteks Kaesang dan istrinya yang muncul di bursa calon kepala daerah menggambarkan narasi politik dinasti yang hendak melanggengkan kekuasaan keluarga Presiden Joko Widodo.

Relevansi isu politik dinasti pada Pilpres dengan Pilkada serentak 2024 terletak pada pola perekrutan dan penempatan anggota keluarga Jokowi dalam posisi politik strategis. 

Pada tingkat nasional, pencalonan Gibran sebagai calon wakil presiden menggambarkan kekuatan politik keluarga Jokowi yang ingin memperkuat posisinya di tingkat nasional. Sementara, pada tingkat lokal, munculnya Kaesang dan Erina sebagai calon kepala daerah mencerminkan upaya keluarga Jokowi untuk memperluas pengaruh politiknya di daerah.  

Konsolidasi Demokrasi

Pertanyaan mengenai apakah munculnya Kaesang dan Erina merupakan refleksi dari politik dinasti Jokowi yang semakin kuat atau murni karena konsolidasi demokrasi adalah perdebatan yang kompleks. 

Di satu sisi, keterlibatan Kaesang dan Erina dalam dunia politik sangat kentara memanfaatkan nama besar keluarga Jokowi, yang dapat memberikan mereka keunggulan dalam kontestasi politik. 

Namun, di sisi lain, aspirasi politik lokal juga bisa menjadi faktor determinan, di mana masyarakat setempat bisa saja melihat Kaesang dan Erina sebagai tokoh yang mampu mewakili kepentingan mereka dengan baik.

Munculnya Kaesang dan Erina Gudono dalam bursa calon kepala daerah memang bisa menimbulkan pertanyaan tentang normalisasi dinasti politik, di mana anggota keluarga politisi terkenal dianggap memiliki keunggulan dalam kompetisi politik berdasarkan hubungan keluarga mereka, bukan kualifikasi atau prestasi mereka sendiri. 

Hal ini bisa menjadi tanda bahwa masyarakat lebih terbiasa atau kurang kritis terhadap praktik politik dinasti, dan lebih memmerhatikan faktor nama besar atau hubungan keluarga dalam memilih pemimpin.

Fenomena ini juga bisa menunjukkan kurangnya konsolidasi demokrasi dalam proses pemilihan kepala daerah, di mana kualitas kandidat dan platform politik mereka bisa saja tidak menjadi fokus utama pemilih. 

Pentingnya konsolidasi demokrasi dalam memilih kepala daerah memang tidak boleh terlewatkan. Proses pemilihan yang sehat dan transparan harus mengutamakan kualifikasi, integritas, dan visi calon pemimpin, bukan hanya hubungan keluarga atau nama besar. 

Dalam konsolidasi demokrasi, masyarakat perlu dilibatkan secara aktif dalam memahami dan mengevaluasi calon berdasarkan program kerja, rekam jejak, dan kompetensi mereka.

Sumber: Koran-jakarta.com
Sumber: Koran-jakarta.com

Jika masyarakat lebih memilih untuk menormalkan dinasti politik dan mengabaikan konsolidasi demokrasi, hal ini bisa merugikan demokrasi itu sendiri, karena akan mengurangi pluralisme, akuntabilitas, dan kualitas kepemimpinan. 

Oleh karena itu, penting bagi masyarakat untuk terus mengkritisi dan mengevaluasi proses politik, serta memilih pemimpin berdasarkan pertimbangan yang substansial dan bukan hanya hubungan keluarga.

Namun demikian, walaupun ada argumen yang bisa menyatakan bahwa munculnya Erina dan Kaesang merupakan refleksi dari politik dinasti yang semakin kuat, penting untuk diingat bahwa akhirnya keputusan ada di tangan pemilih. 

Pilpres dan Pilkada serentak 2024 akan menjadi ajang di mana keputusan rakyat akan menentukan arah politik selanjutnya, dan hal ini memperlihatkan pentingnya partisipasi aktif dari masyarakat dalam proses demokrasi.

Fenomena dinasti politik sudah pasti bisa menghambat konsolidasi demokrasi. Partai politik sebagai salah satu pilar demokrasi gagal mempromosikan prinsip-prinsip demokratis dalam kontestasi politik karena tidak mampu mengadang dinasti politik. 

Alih-alih mengoptimalkan fungsi kelembagaannya dalam rangka konsolidasi demokrasi, partai politik justru menjadi agen dari dinasti politik itu sendiri.

Depok, 12/3/2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun