Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Pesona Selebriti dalam Politik Elektoral

29 Februari 2024   05:43 Diperbarui: 5 Maret 2024   15:50 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pesona Selebriti dalam Politik Elektoral 

Oleh: Sultani

Fenomena maraknya selebriti atau artis di Indonesia yang memilih untuk menjadi anggota DPR selama dua dekade terakhir ini merupakan refleksi dari dinamika politik dan budaya di negara ini. Motivasi di balik keterlibatan artis dalam politik dapat bervariasi, namun ada dua motif utama yang sering menjadi sorotan, yaitu memiliki visi tentang politik negara ke depan atau sekadar memanfaatkan ketenaran mereka untuk kepentingan pribadi.

Harus diakui bahwa semenjak Pemilu 2004 wajah-wajah artis sudah mulai bermunculan menjadi calon anggota legislatif dari beberapa partai. Popularitas sosok mereka membuat wajah dan nama mereka sangat mudah dikenali sehingga sangat berpeluang untuk terpilih dan lolos menjadi anggota DPR. Peluang tersebut diperbesar dengan adanya perubahan sistem pemilu dari proporsional tertutup menjadi proporsional terbuka. Sistem pemilu yang baru ini menghitung kemenangan berdasarkan suara terbanyak yang dikumpulkan oleh masing-masing calon anggota legislatif.

Sekadar mengingatkan, dalam pemilu rezim Orde Baru, hampir tidak ada selebriti yang berminat untuk menjadi anggota dewan. Selain sistemnya yang tertutup, peluang untuk menjadi calon jadi sudah dijatah oleh partainya masing-masing. Contohnya Rhoma Irama yang memulai debut politiknya pada Pemilu 1977. Selama 3 pemilu raja dangdut ini hanya berperan sebagai juru kampanye Partai Persatuan Pembangunan (PPP) karena kehadirannya dapat menarik perhatian massa terhadap partai.

Setelah absen cukup lama dari panggung politik, Pemilu 1987 Rhoma tampil kembali sebagai juru kampanye Golkar. Ternyata, di sinilah Rhoma Irama mendapat jatah menjadi anggota dewan mewakili utusan Golongan untuk kalangan seniman dan artis. Kiprah Rhoma Irama sebagai anggota dewan yang mewakili artis berakhir tahun 1997 seiring dengan mundurnya kekuatan Orde Baru.

Sumber: Antarafoto.com
Sumber: Antarafoto.com

Ketika  gerakan reformasi berhasil menggulingkan kekuasaan Orde Baru tahun 1998, sistem Pemilu diubah lebih terbuka dan demokratis sehingga memberi kesempatan kepada seluruh warga negara untuk berpartisipasi dan mendaftarkan diri sebagai calon anggota legislatif. Pada Pemilu pertama era reformasi tahun 1999, minat artis untuk terjun ke politik masih rendah sehingga nyaris tidak satu pun nama para pesohor terdaftar sebagai caleg.

Seiring dengan perubahan sistem kepartaian dan sistem Pemilu 2004, sejumlah artis nasional mulai menunjukkan minat untuk berpolitik dengan bergabung menjadi kader partai politik. Sebut saja Adjie Massaid (almarhum) dan Angelina Sondakh yang bergabung dengan Partai Demokrat, Marissa Haque dengan PDI Perjuangan, Dede Yusuf dengan PAN, dan Nurul Arifin dengan Golkar. Berdasarkan hasil Pemilu 2004, nama para pesohor ini terpilih dan lolos melenggang ke Senayan sebagai wakil rakyat hingga tahun 2009.

Kebanjiran Caleg Artis

Di bawah iklim politik yang terbuka dan semakin bebas setelah satu dekade reformasi, partai politik semakin agresif mengadu strategi dalam merekrut kader dan caleg yang akan menjadi ujung tombak untuk menambah insentif elektoral dalam pemilu. Beberapa partai politik secara terang-terangan membuka pintu bagi para pesohor yang tenar dalam bidang olahraga, kemasyarakatan, hingga seni. Di sinilah hasrat politik para artis terus digoda oleh partai politik melalui iming-iming kursi caleg yang prospektif.

PAN dan Demokrat yang sudah getol menerima artis dari Pemiu 2004 membuka peluang yang lebih besar lagi kepada para artis setelah beberapa artis sukses menjadi anggota DPR tahun 2004. Partai pendatang baru Nasdem pun tidak mau ketinggalan "menggoda" para artis melalui program pendaftaran caleg yang sangat mudah.

Menghadapi aksi "promo" kursi caleg yang sangat mudah dari partai politik ini hasrat untuk terjun ke dunia politik para artis pun tidak terbendung. PAN, Demokrat, Nasdem pun  mengalami kebanjiran caleg artis. PDIP yang selama ini terkesan menutup diri terhadap para artis pun ikut-ikutan membuka pintu pendaftaran caleg untuk artis. PKB dan PPP yang terkesan jauh dari dunia glamor yang akrab dengan dunia hiburan juga tidak bisa menampik kehadiran artis dalam deretan daftar caleg mereka.

Berdasarkan catatan Kompas, pada Pemilu 2004 jumlah selebriti atau pesohor yang melamar untuk menjadi caleg sebanyak 38 orang, yang berhasil jadi caleg 7 orang. Lima tahun kemudian, jumlah pendaftar caleg dari kalangan artis ini bertambah menjadi 59 orang. Dari jumlah pesohor yang ikut serta dalam bursa pemilu legislatif 2009 ini, yang berhasil menjadi anggota dewan sebanyak 18 orang. Selanjutnya, pada Pemilu 2014 selebriti yang mendaftar untuk menjadi caleg jumlahnya sama dengan pemilu sebelumnya, yaitu 59 orang. Caleg pesohor yang lolos ke Senayan jumlahnya nyaris sama yaitu 17 orang. Jumlah selebriti yang mendaftar pada Pemilu 2019 melonjak menjadi 96 orang. Dari jumlah tersebut, yang lolos sebanyak 14 orang.  Sedangkan Pemilu 2024 jumlah selebriti yang mendaftar sebanyak 97 orang.

Sumber: Kompasdata
Sumber: Kompasdata

Jumlah selebriti yang terpilih memiliki rasio yang sangat kecil dibanding dengan caleg non-selebriti. Elektabilitas para caleg artis yang telah berhasil menjadi anggota di parlemen justru menunjukkan tren menurun setelah Pemilu 2009 yang sempat mencapai 3,2 persen. Pemilu 2014 tingkat keterpilihan caleg artis ini turun menjadi 2,8 persen lalu turun lagi menjadi 2,4 persen pada Pemilu 2019. (Kompas.id, Caleg Artis Belum Dibarengi Kapabilitas Politik sebagai Legislator, 24/5/2023).

Rasio selebriti yang terpilih sebagai anggota dewan tersebut menunjukkan adanya kesenjangan yang signifikan antara popularitas selebriti di kalangan masyarakat dan kemampuan mereka untuk mendapatkan dukungan politik yang cukup untuk terpilih. Tidak semua dari mereka memiliki kualifikasi atau pengalaman yang cukup dalam politik untuk mendapatkan dukungan yang dibutuhkan untuk terpilih.

Caleg selebriti yang terpilih boleh jadi telah memiliki pemilih fanatik yang tetap setia kepada mereka. Pada umumnya pemilih fanatik ini cenderung memilih berdasarkan popularitas dan kedekatan emosional dengan selebriti yang mereka dukung, tanpa memerhatikan aspek politik yang lebih substansial.

Sumber: Kompas.com
Sumber: Kompas.com

Meski demikian, ada beberapa selebriti yang memiliki kompetensi politik setara atau bahkan di atas rata-rata kompetensi politisi yang kinerja politiknya sangat baik. Sebut saja Nurul Arifin dari Golkar, Rieke Diah Pitaloka dari PDIP, Dede Yusuf dari Demokrat, dan Rano Karno dari PDIP. Keberadaan para pesohor ini di DPR membuktikan bahwa para pemilih caleg selebriti juga melihat kompetensi politik, rekam jejak, dan agenda politik dari caleg selebriti.

Oleh karena itu, eksistensi selebriti di DPR tetap bertahan meskipun rasionya sangat kecil dibandingkan dengan anggota DPR non-selebriti, hal ini tidak selalu mencerminkan bahwa pemilih selebriti tidak lagi mempertimbangkan kompetensi politik. Sebaliknya, fenomena ini dapat lebih berkaitan dengan kompleksitas dinamika politik dan preferensi pemilih yang beragam. Pada akhirnya preferensi pemilih caleg selebriti tetap akan mempertimbangkan aspek kapabilitas politik, latar belakang, rekam jejak, dan kontribusi nyata untuk masyarakat.

Preferensi terhadap Selebriti

Membanjirnya caleg selebriti dalam pemilu menunjukkan bahwa kehadiran mereka tetap memiliki pasar politik tersendiri dalam bursa caleg. Meski elektabilitasnya fluktuatif, mereka tetap eksis dengan gaya dan karakter politiknya sendiri. Eksistensi mereka di DPR selama dua dekade mencerminkan dinamika budaya dan politik yang berkembang di masyarakat. Budaya Indonesia yang kaya akan tradisi hiburan, popularitas artis, dan persepsi terhadap kesuksesan seringkali memainkan peran penting dalam pemilihan umum.

Budaya hiburan yang kuat di Indonesia memiliki dampak besar terhadap persepsi masyarakat dalam menilai selebriti. Selebriti sering dipandang sebagai sosok yang memiliki daya tarik dan ketenaran, sehingga memperoleh perhatian yang luas dari masyarakat. Popularitas mereka di dunia hiburan sering kali dianggap sebagai modal politik yang kuat dalam konteks pemilihan umum. Dalam budaya di mana popularitas sering dianggap sebagai indikator keberhasilan dan kualitas seseorang, artis memiliki keunggulan dalam menarik perhatian dan mendapatkan dukungan elektoral.

Karakter masyarakat Indonesia yang cenderung hedon dan permisif juga dapat memengaruhi preferensi politik mereka. Dalam kebiasaan mengejar kesenangan dan memperbolehkan berbagai bentuk perilaku yang dianggap "bebas", persepsi terhadap sosok pemimpin pun dapat diproyeksikan pada pesohor yang dianggap memiliki gaya hidup glamor dan menarik. Ketika masyarakat mengidentifikasi diri mereka sebagai konsumen hiburan yang aktif, kemungkinan besar mereka akan cenderung memilih pemimpin yang mencerminkan gaya hidup dan nilai-nilai yang mereka kagumi.

Di sinilah popularitas selebriti menjadi komoditas politik yang sangat berguna bagi diri mereka sendiri maupun partai politik. Munculnya tawar-menawar politik antara parpol dengan selebriti terkait kursi caleg dalam pemilu menunjukkan keunggulan popularitas bagi insentif elektoral.

Sumber: Jawapos.com
Sumber: Jawapos.com

Motif Menjadi Caleg 

Pada akhirnya kita semua akan bertanya tentang motif utama para selebriti mencalonkan diri sebagai anggota DPR, apakah sekadar memanfaatkan popularitasnya untuk kepentingan pribadi atau adanya visi dan komitmen politik yang hendak diperujuangkan melalui politik. Selebriti yang menjadi anggota DPR tentu memiliki motif yang kuat, dan itu terlihat dari kinerja mereka dalam menjalankan tugas sebagai anggota dewan selama 5 tahun.

Artis yang memilih untuk terlibat dalam politik memiliki kapasitas ketokohan yang dikenal luas dalam masyarakat, sehingga wajar jika mereka merasa memiliki tanggung jawab untuk menggunakan kedudukan mereka dalam membuat perubahan positif dalam masyarakat. Tanggung jawab tersebut adalah refleksi atas visi artis dalam berpolitik dan membangun negara. Artinya, dengan berpolitik, artis-artis ini dapat membawa pengalaman dan perspektif unik dari dunia hiburan ke dalam arena politik, yang akan menjadi cara baru dalam menyuarakan aspirasi masyarakat.

Artis-artis seperti Nurul Arifin, Rieke Diah Pitaloka, Dede Yusuf, Rano Karno, Eko Patrio adalah wajah-wajah selebriti yang sudah lama malang melintang sebagai wakil rakyat. Kiprah mereka sebagai anggota dewan diemban sebaik mungkin, sehingga kontribusi mereka dalam menyerap aspirasi rakyat tidak kalah kualitasnya seperti para wakil rakyat non-selebriti. Hubungan mereka dengan konstituennya sudah terjalin dengan baik selama menjadi anggota dewan beberapa periode. Ini menjadi prestasi kaum selebriti dalam menyuarakan aspirasi masyarakat.

Sumber: Jabar.Tribunnews.com
Sumber: Jabar.Tribunnews.com

Kiprah selebriti-selebriti ini dalam merealisasikan visi kenegaraan mereka terlihat melalui partisipasi aktif mereka dalam berbagai pembahasan dan legislasi di DPR. Mereka tidak hanya menggunakan popularitas mereka untuk mendapatkan dukungan elektoral, tetapi juga secara konsisten memperjuangkan isu-isu yang dianggap penting bagi pembangunan negara dan kesejahteraan rakyat. Dengan cara ini, mereka membuktikan bahwa artis-artis yang terlibat dalam politik elektoral tidak hanya menjadi figur dekoratif, tetapi juga agen perubahan yang berkontribusi secara positif dalam proses politik dan pembangunan negara.

Di sisi lain, ada juga artis yang terlibat dalam politik semata-mata untuk memanfaatkan popularitas mereka sebagai modal politik untuk mendapatkan dukungan elektoral atau untuk memperkuat posisi politik tertentu. Keterlibatan mereka dalam politik bersifat oportunis, yakni hanya memanfaatkan kesempatan untuk memperluas pengaruh dan kekuatan mereka di luar dunia hiburan.

Pesohor yang memanfaatkan popularitasnya ini seringkali terlihat memiliki tipikal yang berbeda dalam menangani urusan kenegaraan. Mereka lebih fokus pada citra publik dan popularitas mereka sebagai alat untuk mendapatkan dukungan elektoral. Kiprah mereka dalam menangani urusan kenegaraan seringkali dipandu oleh kepentingan pribadi atau politik partai daripada oleh kepentingan rakyat secara keseluruhan. Mereka condong untuk mengambil keputusan yang mendukung agenda politik tertentu meskipun tidak sejalan dengan kebutuhan atau kepentingan masyarakat.

Oleh karena itu, kiprah pesohor yang hanya bermodalkan popularitas dalam menangani urusan kenegaraan seringkali mencerminkan kurangnya komitmen dan kompetensi sebagai negarawan yang mengutamakan kepentingan rakyat daripada kepentingan pribadi. Posisi sebagai anggota DPR cenderung dimanfaatkan untuk kepentingan diri sendiri atau kelompok tertentu.

Lalu, mengapa masih ada rakyat yang memilih selebriti untuk menjadi anggota DPR hanya karena popularitasnya. Ada beberapa alasan yang bisa saya kemukakan di sini, yaitu:

Keterpaparan media dan pengaruh budaya pop. Eskposur media yang masif terhadap selebriti membuat figur mereka langsung dikenal masyarakat luas melalui dunia hiburan. Pengaruh budaya populer seperti ini seringkali membuat masyarakat cenderung untuk memberikan dukungan kepada artis tanpa mempertimbangkan secara mendalam tentang kompetensi atau visi politik mereka.

Selanjutnya karena kurangnya informasi dan pendidikan politik. Aspek ini terkait dengan minimnya akses bagi masyarakat Indonesia tentang isu-isu politik dan kenegaraan. Kurangnya pendidikan politik dan informasi yang memadai dapat membuat mereka lebih rentan terhadap pengaruh popularitas dan citra publik daripada substansi politik.

Aspek berikutnya adalah pemilihan berdasarkan emosi dan identifikasi. Hubungan emosional yang kuat antara pesohor dengan sejumlah pemilih menjadi dasar dalam mengidentifikasi diri dengan karakter atau karya mereka dalam dunia hiburan. Hal ini membuat mereka lebih cenderung untuk memberikan dukungan tanpa mempertimbangkan dengan seksama kualifikasi atau visi politik para artis.

Aspek terakhir yang tidak kalah seru adalah tidak ada caleg alternatif yang memadai. Dalam beberapa kasus, para pemilih mungkin merasa bahwa tidak ada kandidat yang lebih baik atau tidak ada pilihan alternatif yang memadai di antara kandidat yang tersedia. Hal ini bisa membuat mereka memilih artis hanya karena popularitas atau karena merasa bahwa mereka adalah pilihan terbaik dari yang ada.

Hal yang paling penting untuk diingat adalah tidak semua pemilih Indonesia memilih para artis hanya karena popularitas. Banyak pemilih yang juga mempertimbangkan kualifikasi, rekam jejak, dan visi politik calon anggota DPR sebelum memberikan suara mereka. untuk meningkatkan kesadaran politik dan kualitas pemilihan umum, pendidikan politik yang lebih baik dan akses yang lebih besar terhadap informasi politik sangat diperlukan. Hal ini dapat membantu memastikan bahwa pemilih membuat keputusan yang lebih cerdas dan berdasarkan pada pemahaman yang mendalam tentang isu-isu yang dihadapi negara.

Depok, 28/2/2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun