Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi, Netralitas, dan Etika Politik

25 Januari 2024   13:28 Diperbarui: 5 Maret 2024   16:56 488
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jokowi, Netralitas, dan Etika Politik

Oleh: Sultani

Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa Presiden boleh berkampanye dalam pemilihan umum. Karena itu seorang Presiden juga boleh memihak kepada calon tertentu dalam kontestasi.

"Presiden itu boleh loh memihak. Boleh. Tapi yang paling penting waktu kampanye tidak boleh menggunakan fasilitas negara," kata Kepala Negara (Kompas.com, 25/1/2024)

Pernyataan Presiden Indonesia ketujuh ini sontak memantik reaksi publik, terutama dari kubu pasangan Calon Presiden nomor urut 1 (Anies Baswedan -- Muhaimin Iskandar) dan pasangan Calon Presiden nomor urut 3 (Ganjar Pranowo -- Mahfud MD). Kedua kubu paslon ini akan menjadi pihak yang paling dirugikan kalau Presiden membolehkan dirinya untuk kampanye dan memihak kepada kontestan pemilu. Pasalnya, selama ini semua gestur politik yang diperlihatkan oleh Presiden Jokowi sudah bisa ditafsirkan sebagai bentuk dukungan kepada paslon nomor urut 2, Prabowo Subianto -- Gibran Rakabuming Raka.

Pernyataan Presiden pada saat-saat krusial menjelang Pemilihan Presiden pada 14 Februari 2024 bisa dikatakan sangat sarat kepentingan politik karena sudah mengabaikan prinsip kontrol terhadap konflik kepentingan (conflict of interest). Keterlibatan Presiden secara mendalam dalam proses kontestasi Pilpres 2024 sangat rentan dengan keberpihakan, karena Presiden sudah mengabaikan berbagai aturan legal-formal tentang netralitas kepala negara dan semua aparatur penyelenggara negara dalam pemilu.

Apa motif Presiden Joko Widodo dengan pernyataan politiknya yang kontroversial dan berpotensi mengancam kedudukannya sendiri?

Joko Widodo adalah seorang Presiden yang dipilih secara demokratis selama dua periode melalui Pipres 2014 dan 2019. Hingga Desember approval rating Jokowi masih berada di atas 80 persen, yang artinya mayoritas rakyat masih menyukai dan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap Presiden Jokowi. Konsekwensi dari nilai approval rating yang tinggi tersebut adalah dukungan politik yang masih solid terhadap kekuasaan Presiden.

Dukungan politik tersebut menjadi kekuatan politik yang besar bagi Jokowi sehingga memberi peluang kepada dirinya untuk dipilih kembali sebagai Presiden jika konstitusi membolehkan. Karena tidak ada peluang dari konstitusi terhadap ambisi politiknya, kekuatan politik Jokowi tersebut tidak akan memberi keuntungan apa pun bagi dirinya jika tidak dikelola secara rasional. Salah satu manajemen kekuatan politik yang hendak dimanifestasi oleh Jokowi adalah menggunakan pengaruh kekuasaannya melalui suksesi politik nasional melalui Pilpres 2024.  

Makanya, jauh-jauh hari sebelum bursa capres menajam pada sosok tertentu, Presiden Joko Widodo sudah memberi isyarat akan terlibat dalam kontestasi politik nasional. Bahasa yang digunakan Presiden saat itu adalah cawe-cawe sebagai simbolisasi keinginan untuk ikut menentukan sosok capres yang dikehendakinya. Sikap cawe-cawe ini didasarkan pada pertimbangan bahwa bangsa ini membutuhkan pemimpin yang bisa menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada 2030. Kebijakan dan strategi kepemimpinan berikutnya akan menjadi penentu Indonesia untuk menjadi negara maju atau tidak.

"Karena itu saya cawe-cawe. Saya tidak akan netral karena ini kepentingan nasional... Kesempatan kia hanya 13 tahun ke depan. Begitu kita keliru memilih pemimpin yang tepat untuk 13 tahun ke depan, hilanglah kesempatan untuk negara maju," kata Presiden Joko Widodo ketika bertemu dengan sejumlah pemimpin redaksi media massa nasional di Istana, Jakarta, pada Senin, 29 Mei 2023 sore (Kompas.com, 4/6/2023).

Pernyataan Presiden tentang cawe-cawe politik berbuntut panjang dalam konstelasi politik nasional, terutama proses kontestasi dalam pemilihan sosok yang akan masuk ke dalam bursa calon presiden. Drama kongsi politik antara Presiden Joko Widodo dengan dua partner politiknya, Prabowo Subianto dan Ganjar Pranowo, pun langsung mencuat dengan berbagai analisa yang bermuara pada pendapat, bahwa Presiden sedang melakukan tawar-menawar posisi untuk posisi RI 1 atau RI 2 kepada kedua tokoh tersebut.

Sumber: Tribunnnews.com
Sumber: Tribunnnews.com

Alih-alih menjodohkan keduanya menjadi satu pasangan calon dalam pilpres, skenario kongsi politik yang diinisisai Jokowi malah bubar lantaran Ganjar Pranowo keluar dari kubu tiga serangkai tersebut. Sekuen drama politik berikutnya adalah Ganjar memilih pinangan Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk menjadi capres dari partai Moncong Putih.

Singkat cerita, konstelasi politik dalam bursa paslon capres pun langsung berubah drastis ketika Presiden membiarkan putra sulungnya dipinang oleh Koalisi Indonesia Maju untuk menjadi calon wakil presiden mereka, Prabowo Subianto. Maka lahirlah paslon ketiga, yaitu Prabowo Subianto -- Gibran Rakabuming Raka, setelah paslon Anies Baswedan -- Muhaimin Iskandar dan paslon Ganjar Pranowo -- Mahfud MD dideklarasikan.

Lahirnya pasangan Prabowo -- Gibran sempat memicu kontroversi karena dianggap cacat konstitusional yang dipicu oleh adanya dugaan campur tangan kekuasaan Presiden Jokowi terhadap keputusan Mahkamah Konstitusi yang meloloskan Gibran sebagai cawapres. Masalahnya, Keputusan MK tersebut dianggap melabrak ketentuan tentang syarat batas minimal usia capres atau cawapres 40 tahun. Usia Gibran Rakabuming Raka ketika mendaftarkan diri sebagai cawapres baru 36 tahun.

Selain itu, sikap Jokowi yang terkesan memberi restu untuk putranya menjadi pendamping Prabowo saat itu langsung memicu migrasi dukungan politik para pemilih Jokowi kepada paslon yang mendapat nomor urut 2 ini. Akibat dari migrasi tersebut, kekuatan politik Prabowo dan pasangannya ini pun langsung menguat. Berbagai hasil survei pun menguatkan fenomena ini dengan menunjukkan pergerakan elektabilitas Prabowo -- Gibran yang melambung drastis, jauh meninggalkan rival politiknya.

Sumber: CNNIndonesia.com
Sumber: CNNIndonesia.com

Konfigurasi 3 paslon capres ini lalu diterima dan disahkan oleh KPU sebagai peserta Pipres 2024 yang akan segera mengikuti semua rangkaian kegiatan dari sosialisasi, debat capres, kampanye terbuka, hingga pemilihan. Kehadiran sosok Jokowi dalam rangkaian kegiatan Pilpres 2024 hanya bisa dirasakan dari menguatnya dukungan terhadap pasangan Prabowo -- Gibran yang terus menggerus basis pendukung lawannya, terutama Ganjar Pranowo -- Mahfud MD.

Fenomena tergerusnya suara dukungan untuk Ganjar Pranowo selama masa kampanye Pilpres 2024 menguatkan julukan untuk Jokowi sebagai King Maker dalam politik Indonesia saat ini. Posisinya sebagai tokoh terkuat di atas panggung politik nasional sekarang terlihat dari kemampuannya untuk menekan para Ketum Parpol di Koalisi Indonesia Maju untuk memasang Gibran sebagai cawapres Prabowo. Selain itu, Jokowi juga menguasai kekuasaan di semua jajaran pemerintahannya yang terkait dengan penegakan hukum, kesejahteraan sosial, dan layanan publik.

            Kekuatan politik Jokowi yang paling fenomenal adalah kemampuannya memobilisasi para pendukung loyalnya untuk mendukung Prabowo -- Gibran secara simbolik sehingga bisa tersamar dari sikap politiknya yang berpihak. Mobilisasi pendukung Jokowi ini jelas berpengaruh buruk terhadap kekuatan Ganjar Pranowo. Bahkan, PDI Perjuangan yang sudah menjadi pemenang pemilu 2 kali berturut-turut suaranya pun tergerus. Sebaliknya, Partai Gerindra, dan PSI sebagai penyokong utama Prabowo -- Gibran mengalami eskalasi dukungan yang signifikan.

Sumber: VOAIndonesia.com
Sumber: VOAIndonesia.com

Sosok Jokowi sebagai maestro politik Indonesia akan diuji kembali melalui pernyataan kontroversialnya baru-baru ini yang dianggap berpotensi akan menampar dirinya sendiri kelak. Kita akan menyaksikan bagaimana kelihaian mantan Gubernur DKI Jakarta ini mengelola isu keberpihakan secara terbuka seorang presiden dalam Pilpres dengan manifestasi perilaku politiknya dalam memberikan dukungan. Para pengamat masih berdebat soal potensi pelanggaran konstitusi di balik tindakan Presiden ini, namun kita sepakat bahwa apa yang ditunjukkan oleh Joko Widodo tentang keberpihakan seorang kepala negara dalam Pilpres kali ini sudah berlebihan.

Atraksi politik Jokowi yang diekspresikan secara simbolik maupun terbuka sudah cukup untuk membuat publik mengerti tentang aspirasi atau pilihan politik Presiden dalam Pilpres kali ini. Approval rating yang tinggi tidak serta merta bisa melegitimasi perilaku politik Jokowi yang tanda-tandanya sudah jelas hendak memenangkan salah satu paslon yang melibatkan putra sulungnya Gibran Rakabuming Raka.

Presiden harus bisa membatasi perilaku politiknya dalam kontestasi kepemimpinan nasional yang nyata-nyata diikuti oleh putranya sendiri. Ketaatan Presiden dalam mengikuti aturan main pemilihan presiden akan menjadi teladan sekaligus etika pemimpin dalam menjaga asas pemilu yang jujur dan adil. Daulat Presiden untuk berkuasa merupakan daulat rakyat di negeri ini.

Netralitas

Presiden, dalam kapasitas sebagai warga negara memiliki hak untuk memilih dalam pemilu. Namun, implementasi hak memilih tersebut harus didasarkan pada asas netralitas atau tidak berpihak pada salah satu peserta pemilu. Netralitas menjadi asas yang akan menentukan kualitas penyelenggaraan pemilu dan hasilnya karena mengandung nilai kejujuran dan keadilan.

Presiden dan seluruh jajaran pemerintahan memang diatur oleh undang-undang dan aturan penyelenggaraan pemilu untuk menjunjung tinggi asas netralitas dalam pemilu maupun pilpres. Kewajiban ini melekat pada Presiden karena presiden adalah pemegang kekuasaan pemerintahan kepala negara berdasarkan mandat konstitusi. Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sudah mengatur dengan tegas terkait sikap netral  presiden dan para penyelenggara negara. Ketentuan tersebut tertulis pada Pasal 48, Pasal 22, dan Pasal 74.

Isu netralitas Presiden dalam pemilu mencuat lagi setelah Presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan yang menyatakan bahwa seorang Presiden boleh berkampanye dan berpihak kepada salah satu kandidat, asal selama kampanye tidak menggunakan fasilitas negara. Pernyataan yang mengundang polemik di masyarakat ini akan berbuntut kontroversi terhadap Presiden Jokowi yang selama ini dikenal cukup netral.

Salah satu kontroversi dari pernyataan Presiden tersebut adalah adanya indikasi bahwa Presiden akan memihak kepada pasangan Prabowo -- Gibran, kandidat yang selalu diuntungkan oleh Jokowi melalui dukungan politik yang diberikan secara simbolik. Pernyataan Jokowi untuk berpihak juga bertentangan dengan pesan politiknya ketika makan siang bersama tiga capres di Istana.

"Iya saya mengajak untuk menjaga bersama-sama agar pemilu berjalan damai... Tidak ada saling fitnah-memfitnah, tidak ada kampanye negatif, tidak ada saling menjelekkan, tidak ada saling merendahkan, tetapi dengan adu program, adu gagasan," kata Presiden Jokowi (CNNIndonesia.com, 31/10/2023).

Sumber: Detik.com
Sumber: Detik.com

Bagi pendukung Jokowi, netralitas Jokowi masih terukur meskipun ada pernyataan terbuka tentang keberpihakannya dalam pilpres, karena tidak dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan atau pun keputusan tertentu dengan menggunakan fasilitas negara atau menggunakan kekuasaannya untuk memenangkan salah satu peserta pemilu. Jika keberpihakan Jokowi dalam pilpres sampai dimanifestasikan dalam bentuk kebijakan atau fasilitas negara untuk memenangkan Prabowo -- Gibran, baru bisa dipermasalahkan netralitasnya karena berpotensi untuk menjadi penyalahgunaan wewenang.

Penyalahgunaaan wewenang (abuse of power) adalah salah satu tindakan menyimpang badan/pejabat administrasi berdasarkan prinsip melampaui batas kekuasaan dalam konteks negara hukum (rechtstaat). Titik berat dalam mengukur penyalahgunaan wewenang terletak pada apakah keputusan/tindakan pejabat tata usaha negara sesuai dengan motivasi atau alasan dikeluarkannya keputusan/tindakan tersebut (Hukumonline.com, 11/12/2023).

Penyalahgunaan wewenang Presiden sebagai kepala negara sekaligus kepala pemerintahan dalam pemilu dapat dikategorikan sebagai mencampuradukkan wewenang, yaitu berupa tindakan yang dilakukan oleh pejabat pemerintahan di luar cakupan bidang atau materi wewenang yang diberikan dan/atau bertentangan dengan tujuan wewenang yang diberikan. Karena bertentangan dengan ketentuan undang-undang, maka penyalahgunaan wewenang tersebut bisa dikategorikan sebagai tindakan melampaui wewenang.

Ternyata dampak dari keberpihakan yang berlebihan dalam pemilu bisa berpotensi merusak citra presiden karena bisa terpancing untuk melakukan tindakan yang melampaui wewenang. Undang-undang membatasi sikap dan perilaku politik Presiden dalam pemilu bukan untuk mengekang hak asasi warga negara, tetapi justru melindungi tindakan Presiden dari potensi tindakan yang sewenang-wenang.

Kesewenangan Presiden dalam menggunakan kekuasaannya bisa saja diekspresikan melalui kebijakan-kebijakan populis yang didesain dengan kepentingan politik tertentu. Misalnya tindakan membagi-bagi bantuan sosial menjelang pemilu yang memicu polemik beberapa waktu lalu. Bansos tersebut dikritik karena momentum pembagiannya menjelang Pilpres yang dinilai sangat kental muatan kepentingan politik dan keberpihakan pada paslon nomor urut 2.

Sumber: Kontan.co.id
Sumber: Kontan.co.id

Etika Politik

Apakah pernyataan Presiden Joko Widodo tentang keberpihakan Presiden dalam pemilu merupakan tindakan melanggar etika politik? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu kita harus kembali kepada asas paling mendasar dari keberpihakan politik oleh Presiden, yaitu netralitas. Netralitas presiden dan penyelenggara negara dalam pemilu adalah salah satu aspek kritis dari etika politik. Netralitas ini mencerminkan sikap dan perilaku yang adil dan tidak memihak dari pihak pemimpin dan lembaga-lembaga negara selama proses pemilihan umum.

Netralitas mencerminkan etika politik yang tinggi karena bisa menjamin keadilan dan kesetaraan dalam kontestasi politik. Perilaku netral Presiden bisa menjamin bahwa semua capres dalam Pilpres 2024 diperlakukan dengan adil dan setara oleh negara. Sikap ini penting agar pemilih memiliki kepercayaan bahwa proses pemilu tidak didominasi atau dimanipulasi oleh pihak tertentu, sehingga hasilnya mewakili kehendak sebenarnya dari masyarakat.

Etika yang ditunjukkan Presiden dari netralitas akan memancarkan kredibilitas demokrasi. Netralitas adalah perilaku pemerintah untuk menjamin dan melindungi hak-hak politik warga negara sebagai bentuk penegakan demokrasi. Presiden bisa dianggap menyimpang dari etika politik ketika ada indikasi memihak atau memanfaatkan kekuasaannya untuk kepentingan politik pribadi atau kelompok tertentu, yang berpotensi merusak integritas dan kepercayaan masyarakat terhadap demokrasi.

Sikap netral Presiden juga mencerminkan etika politik dalam menjaga legitimasi pemerintahan. Salah satu tujuan etika politik adalah menegakkan legitimasi pemerintah hasil pemilu sehingga memiliki keabsahan untuk memerintah negara. Jika proses pemilihan dipandang adil dan netral, pemerintahan yang terbentuk setelahnya lebih mungkin diakui dan dihormati oleh masyarakat, baik di tingkat nasional maupun internasional.

Perlu saya garis bawahi di sini bahwa netralitas politik merupakan aktualisasi dari etika politik ke dalam perilaku politik Presiden, elit politik, dan para penyelenggara negara yang memiliki sumber daya untuk mengintervensi hasil pemilu. Dalam konteks etika politik, netralitas presiden dan penyelenggara negara selama pemilu menciptakan dasar yang kuat untuk menjaga integritas dan keadilan dalam proses politik, menghasilkan pemerintahan yang berakar pada kehendak rakyat, dan memupuk nilai-nilai demokrasi. Etika ini mencakup pertimbangan moral dalam pengambilan keputusan politik, tindakan pemerintah, serta interaksi antarindividu dan kelompok dalam konteks politik.

Etika politik harus dihadirkan dalam situasi apa pun pada sebuah negara. Dalam situasi normal, etika politik dibutuhkan sebagai kode tingkah laku (code of conduct) untuk menyelaraskan sikap dan perilaku politik para penyelenggara negara dan elit politik dengan visi, misi, dan tujuan negara. (Handoyo, 2008: 60). Etika politik adalah pedoman untuk mengarahkan perilaku penyelenggara negara dan elite politik ke arah tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Depok, 25 Januari 2024

Referensi

Kompas.com,  Jokowi Cawe-cawe Pilpres 2024, Etika Bernegara Dipersoalkan, 4/6/2023.

Hukumonline.com, Alasan Hukum Presiden Harus Netral Dalam Pemilu, 11/12/2023.

CNNIndonesia.com, Pesan Netral Jokowi Lewat Makan Siang di Meja Bundar, 31/10/2023.

Handoyo, Eko. Et. al. 2008. Etika Politik: Edisi Revisi. Semarang: Widya Karya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun