Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis Lepas

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Aksara Latin, Peradaban Kolonial dan Proses Modernisasi Indonesia

4 Januari 2024   16:53 Diperbarui: 5 Maret 2024   17:11 1472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sekolah Kartini di Bogor sekitar tahun 1920.(Tropenmuseum via kompas.com)

Di samping menjadikan sekolah sebagai sarana untuk menyebarluaskan Injil, sekolah misi atau zending juga menawarkan keuntungan lain bagi para pengikut barunya, terutama dalam akses terhadap ilmu pengetahuan dan peradaban modern. 

Kelak, ketika pemerintah kolonial mulai lebih memperhatikan urusan pendidikan kaum pribumi, sekolah-sekolah misi berperanan sebagai dasar pijakan bagi perkembangan lebih jauh dari dunia pendidikan kaum pribumi.

Van Lith (depan, tiga dari kiri) bersama para pendiri Xaverius College Muntilan. (Sumber: Nederlandsch-Indie Oud En Nieuw via kompas.com)
Van Lith (depan, tiga dari kiri) bersama para pendiri Xaverius College Muntilan. (Sumber: Nederlandsch-Indie Oud En Nieuw via kompas.com)

Politik Etis

Setelah mendirikan sekolah bergaya Eropa yang dikenal sebagai Europesche Lagere School (ELS) sebagai sekolah model Eropa di Hindia Belanda, pemerintah melanjutkan pendirian sekolah untuk kalangan pribumi yang dibuat berjenjang berdasarkan ras dan status sosial ekonomi. 

Pendirian sekolah-sekolah untuk kalangan pribumi ini mulai populer seiring dengan dicanangkannya Politik Etis pada awal abad ke-20. 

Sekolah-sekolah yang populer untuk rakyat yang dikenal dalam sejarah seperti Sekolah Rakyat, HIS, MULO tumbuh subur hingga pertengahan abad.

Sekolah-sekolah formal yang didirikan pemerintah Belanda ini menjadi saingan dari sistem pendidikan tradisional, terutama di wilayah-wilayah di mana Islam memiliki pengaruh yang kuat, terutama di Jawa dan Sumatera. 

Di sini, anak-anak dari golongan bangsawan, pedagang Muslim, dan keluarga-keluarga yang taat agama lainnya dikirim ke lembaga-lembaga pendidikan Islam tradisional seperti pesantren, surau, meusanah, atau dayah. Lembaga pendidikan Islam tersebut merupakan warisan institusi pendidikan sistem religio-politik tradisional sebelum diperkenalkannya sistem pendidikan modern dari Eropa.

Dekade awal abad ke-20 menjadi awal bagi pendidikan modern yang merupakan sinar penerang dari Politik Etis. Akses pendidikan bagi petani dan orang-orang desa mulai terbuka meskipun level pendidikan dan pengajarannya jauh tertinggal dengan anak-anak dari keluarga yang lebih mampu. 

Meski demikian, pemerintah mewajibkan semua sekolah tersebut menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar dan huruf Latin sebagai ejaan baku yang diajarkan untuk semua jenis dan jenjang pendidikan di Hindia Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun