Pada tanggal 20 Agustus 2023 , Elon Musk mengumumkan rencananya untuk memproduksi Teslabot, sebuah robot dengan bentuk menyerupai manusia. Bisakah AI benar-benar menggantikan segala pekerjaan manusia? Apakah kita, sebagai manusia, termasuk dalam kategori Useless Class, yakni mereka yang dalam 20-30 tahun ke depan tidak lagi memiliki nilai dan tidak dapat bekerja karena semua telah digantikan oleh robot dan kecerdasan buatan (AI)?
Hype terbesar pada bulan Februari 2023 adalah seputar ChatGPT OpenAI. Chatbot yang didukung AI berhasil lulus Ujian Lisensi Medis Amerika Serikat (USMLE), dan popularitasnya melonjak hingga 100 juta pengguna unik. Menyikapi fenomena ChatGPT, Google memperkenalkan Bard AI sebagai tambahan baru dalam lanskap percakapan AI. Microsoft juga meluncurkan Mesin Pencari Bing baru yang terintegrasi dengan ChatGPT.
Riwayat dari Kompas.com melaporkan bahwa Presiden Joko Widodo menyatakan bahwa dunia kini memasuki era pertempuran kecerdasan buatan. Berbagai negara, termasuk Indonesia, tengah bersaing untuk menguasai teknologi AI.Â
Banyak pihak kini mulai merasa khawatir, bahkan pemerintah tengah bersaing untuk mengatasi cara menguasai dan mengatur kecerdasan buatan. Â Studi oleh McKinsey Global Institute pada tahun 2018 memperkirakan bahwa AI dapat menggantikan hingga 800 juta pekerjaan di seluruh dunia pada tahun 2030. Namun, studi ini juga memperkirakan bahwa AI dapat menciptakan hingga 970 juta pekerjaan baru di periode yang sama.
Pekerjaan sederhana seperti kasir, operator telepon, dan pegawai bank juga dapat digantikan oleh AI. Jika semuanya sudah tergantikan, apa peran manusia? Apakah manusia akan menjadi Useless Class atau tidak?
Useless Class adalah istilah yang dipopulerkan oleh Yuval Noah Harari, seorang sejarawan terkenal di abad ini, merujuk pada kelas sosial yang tidak memiliki nilai atau fungsi dalam masyarakat. Harari menyatakan bahwa hal ini terjadi karena teknologi yang semakin canggih.
Mungkin sebelumnya kita berpikir bahwa hanya pekerja kasar yang akan digantikan oleh AI, namun kini pekerjaan kantor yang memerlukan pemikiran analitis juga dapat tergantikan oleh AI. Orang dengan keterampilan medioker mereka berisiko terdisrupsi dan kehilangan kesempatan untuk bekerja lagi di era penuh dengan teknologi AI.
Siapa yang masuk ke dalam kategori Useless Class?
1. Orang yang tidak bisa menyesuaikan diri dengan teknologi.
2. Sulit belajar keterampilan baru.
Yuval Noah menulis dalam bukunya "Sapiens" bahwa orang dengan kemampuan berpikir kritis yang biasa saja dapat masuk ke dalam Useless Class. Bagaimana agar tidak menjadi bagian dari Useless Class? Teruslah belajar hal baru.
Apakah kecerdasan buatan benar-benar akan menggantikan peran manusia? Saat ini, batas antara pekerjaan manusia dan AI sudah sulit untuk dibedakan. Media sosial sudah menggunakan teknologi AI dalam berbagai konten seperti gambar miniatur YouTube (thumbnails), naskah video, aliran Instagram (IG feeds), dan video pendek.
Pada saluran YouTube Satu Persen, beberapa individu telah mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dengan alasan bahwa pekerjaan mereka telah digantikan oleh kecerdasan buatan. Perubahan ini tidak hanya berlaku untuk pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik, melainkan juga untuk pekerjaan yang melibatkan pemikiran, seperti karyawan front desk, editor, proofreader, telemarketing, dan bidang akuntansi. Â
Hal ini terjadi dalam beberapa bulan saja sejak pertama kali peluncuran ChatGPT. Semua Geger, bahkan sekarang ada salah satu company di dunia yang menjadi terbesar. Mengutip dari pemberitaan Bloomberg, Nvidia adalah perusahaan produsen chip komputer terbesar di dunia. Kini perusahaan merambah ke produksi chip yang dibutuhkan untuk menggerakan produk kecerdasan buatan atau AI. Nvidia sempat mencapai valuasi US$1 triliun sebelum akhirnya mengalami penurunan pada siang hari. Hal tersebut menunjukan bahwa Nvidia sempat bergabung dengan empat perusahaan AS lainnya yang memiliki valuasi triliunan dolar, yakni Alphabet, Amazon, Apple, dan Microsoft.Â
Menurut keterangan dari salah satu mahasiswa Universitas Negeri Jakarta, Abdan Syakiri menyampaikan penjelasannya bahwa jika dikatakan kecerdasan buatan akan sepenuhnya mengambil pekerjaan kita, menurutnya tidak.
 "Masih banyak pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh manusia, setidaknya dalam 5 hingga 10 tahun mendatang.     Contohnya, profesi sebagai perawat atau pengasuh dan lain sebagainya. Namun, masalah utamanya adalah ketidaktahuan orang terhadap potensi bahaya kecerdasan buatan. Ketika seseorang tidak menyadari risikonya, tiba-tiba merasa sedih karena dipecat, muncul pertanyaan, "Mengapa saya dipecat?" Itulah yang menjadi perhatian saya," ujarnya saat diwawancarai pada Sabtu, 30 Desember 2023.
Ia menambahkan bahwa bahayanya kecerdasan buatan akan dilakukan oleh orang-orang yang memanfaatkan kecerdasan buatan.
"Bahaya lainnya adalah perilaku orang yang memanfaatkan kecerdasan buatan, namun tidak dengan cara etis, contohnya dengan melakukan tindakan seperti peretasan untuk kepentingan yang tidak baik. Jadi, jika membahas kemungkinan penggantian pekerjaan manusia oleh kecerdasan buatan, memang benar, tetapi menurut pandangan saya, perubahan tersebut masih memerlukan waktu yang cukup panjang. Meskipun ada banyak ahli yang berpendapat bahwa ini mungkin terjadi dalam 10 tahun mendatang, namun masih ada ketidakpastian. Mungkin kita akan mengalami situasi seperti dalam permainan video "Detroit: Become Human", di mana peran kecerdasan buatan semakin meningkat," tambahnya.
Namun demikian, akhirnya saya akan mencoba menggali lebih dalam mengenai kecerdasan buatan, dan saya sampai pada kesimpulan bahwa dalam 1-2 tahun mendatang, manusia yang menggunakan kecerdasan buatan akan cenderung mengeksploitasi teknologi tersebut. Dapat dengan mudah mengungguli mereka yang tidak menggunakan kecerdasan buatan sama sekali. Melihat perkembangan kecerdasan buatan yang begitu mengkhawatirkan, tampaknya para tokoh terkemuka mulai bergerak untuk pertama kalinya menghentikan perkembangannya.
Bahkan, terdapat saran untuk mengenakan pajak sebesar 98% terhadap kecerdasan buatan. Sebagai contoh, seperti yang dilaporkan oleh CNBC Indonesia, Sam Altman, pencipta ChatGPT, telah mengajukan regulasi segera terhadap kecerdasan buatan. Hal ini mengejutkan, mengingat jarang sekali seorang CEOÂ yang meminta regulasi untuk produknya sendiri, namun juga menunjukkan tingkat kekhawatiran yang ada.
Sejak kapan seorang CEO meminta regulasi terhadap produknya sendiri tanpa rasa takut? Para ahli, termasuk salah satu pendiri ChatGPT, Geoffrey Hinton, seorang pakar kecerdasan buatan dari Google, memberikan peringatan secara massal. Hinton, yang berperan besar dalam pengembangan ChatGPT dengan menciptakan mesinnya, yaitu Engine OpenAI: Transformers, juga turut memberikan peringatan. Pencipta dan pengembang Transformernya berasal dari Google, salah satunya adalah Hinton. Pada tahun 2018, Hinton bahkan mendapatkan Turing Award, sebuah penghargaan bergengsi di bidang ilmu komputer.
Namun, yang menarik adalah Hinton telah mengundurkan diri dari Google. Alasannya ada dua, pertama, untuk mengguncangkan dunia kecerdasan buatan dan memberikan peringatan akan bahayanya. Kedua, agar ia bisa berbicara lebih bebas tentang kecerdasan buatan tanpa terikat oleh kepentingan perusahaan seperti Google.
Cara bertahan di era kecerdasan buatan, menurut pemikiran saya, terutama terkait dengan ChatGPT yang baru dirilis, sungguh menakjubkan bagaimana perkembangannya begitu cepat hingga menimbulkan ketakutan di kalangan banyak orang. Meskipun saya sendiri merasa takut, di sisi lain, saya merasa antusias dan penasaran. Bagaimana sebenarnya cara bertahan di dunia di mana semua orang menggunakan kecerdasan buatan?
Sebenarnya kita tidak perlu takut terhadap kecerdasan buatan. Sudah jelas ada satu cara utama yang bisa diambil sebagai individu di era kecerdasan buatan, yaitu menerima dan menggunakan kecerdasan buatan sebaik mungkin. Mengapa demikian? Karena kecerdasan buatan dapat membantu kita menyelesaikan pekerjaan yang sebelumnya sulit atau bahkan tidak mungkin kita lakukan secara cepat. Saya pribadi merasakan manfaatnya, terutama dalam mencari inspirasi. Banyak konten kreator sekarang dibuat dengan dukungan 90% hingga 100% oleh kecerdasan buatan.
Meskipun kecerdasan buatan akan terus berkembang, hal ini tidak berarti sepenuhnya menggantikan peran manusia dalam pekerjaan. Banyak pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh manusia, terutama yang melibatkan aspek kecerdasan emosional, kreativitas, dan interaksi sosial.
Dalam menghadapi perubahan ini, penting untuk terus belajar dan beradaptasi dengan perkembangan teknologi. Meskipun ada ketidakpastian, kesadaran akan potensi dan risiko kecerdasan buatan dapat membantu manusia dalam mengambil langkah-langkah yang bijak untuk memastikan keberlanjutan dan keseimbangan dalam hubungan antara manusia dan teknologi.
Sultan Dhia El-Fajar , mahasiswa semester 5 Program Studi Jurnalistik, Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H